PENDAPAT D.N. AIDIT

PENDAPAT D.N. AIDIT [1]

 

 

27 Maret 1963

 

Besok malam pukul 8 melalui radio dan televisi Presiden mengucapkan apa yang dinamakan Deklarasi Ekonomi. Di depan para undangan, pembesar pembesar tinggi dari lembaga-lembaga negara Presiden akan menjelaskan jalan yang akan ditempuh oleh pemerintah dalam mengatasi kesulitan ekonomi keuangan . Publik menduga kemarin tanggal 26 Maret Presiden sudah mengucapkan Deklarasi Ekonomi. Rupanya ada hal terjadi yang menyebabkan penundaan.

Ada yang bilang Djuanda tidak hadir pada sidang  Musyawarah Pimpinan Negara kemarin sebab ia sedang mutung atau ngambek. Menurut cerita Subandrio kepada Koko, dalam sidang Musyawarah Pimpinan Negara yang sebelumnya Djuanda tampak masih penuh kepercayaan dia bakal dipakai terus. Sebab sehabis rapat Djuanda berkata kepada Chaerul Saleh:

Zeg, je moet mij straks helpen bij de uitvoering” (Hei, kau harus menolong aku nanti pada pelaksanaannya).

Menakjubkan juga melihat gigihnya Djuanda bertahan pada kedud.ukannya selaku Menteri Pertama padahal Sukarno sudah lama mencari ganti Djuanda. Pada umumnya orang tidak begitu menaruh minat lagi terhadap pekerjaan “Panitia 13” untuk menanggulangi kesulitan ekonomi.

Orang bilang toh bakal tidak ada perubahan. Malam Minggu yang lalu saya berbicara sebentar dengan D.N. Aidit pada resepsi Kedutaan Besar Pakistan di Hotel Duta Indonesia. Saya tanyakan apakah ia puas dengan basil pekerjaan “Panitia 1”? Aidit menyahut dia puas karena devaluasi tidak jadi dilangsungkan dan karena soal minta bantuan dari Dana Moneter Internasional (IMF) tidak disebutkan secara khusus.

Saya pikir sikap Aidit sebagai orang komunis itu tentu dimengerti. Sebab bantuan Internasional Monetary Fund (IMF) baginya sama artinya dengan bantuan dari Amerika Serikat dan Aidit menolak setiap bantuan Amerika. Apakah ada hal yang tidak memuaskannya dalam pemutusan “Panitia 13”? Aidit menjawab sikap terhadap modal asing di sini tidak tegas dirumuskan oleh “Panitia 13”.

Aidit mau supaya sebagian saldo ekspor minyak ketiga maskapai minyak asing yang bekerja di Indonesia yaitu Shell, Stanvac dan Caltex yang menurut dia berjumlah $ 210 juta setahun haruslah diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Taruhlah umpamanya SO persen dari jumlah tadi, ini kan berarti $ 100 juta dan dengan itu dapat dibeli beras dari luar negeri. Sebab Aidit berpendapat beras menentukan segala-galanya. Kalau soal beras dapat dipecahkan, maka beres pula soal ekonomi keuangan, kata ketua PKI D.N. Aidit.

Adapun pikiran mengadakan persediaan beras untuk masa dua tahun itu berasal dari Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Pikiran itu kemudian diambil alih oleh “Panitia 13”. Yang menjadi penganjur utama pikiran itu ialah. Ali Sastroamidjojo dari PNI. Bahwa Aiditjuga menyokong pikiran itu menunjukkan mereka hendak memecahkan  kesulitan ekonomi dengan pemecahan-pemecahan secara sederhana.

Padahal harus dipikirkan di mana mencari devisanya, bagaimana dengan fasilitas gudang tempat menyimpan beras, apakah produksi beras di dunia begitu rupa hingga memungkinkan Indonesia memblokir kebutuhannya sejumlah 2,4 juta ton beras?

Perhatian publik tertarik pula oleh berita pers tentang laporan Panitia Lucius D. Clay (mengenai bantuan luar negeri) kepada Presiden Kennedy yang diumumkan tanggal 23 Maret Ialu. Dalam laporan itu dikatakan

“bantuan ekonomi Amerika Serikat kepada Indonesia harus dihentikan selama negara itu belum menertibkan keadaan di dalam negerinya (puts its internal house in order), selama belum memperlakukan dengan adil kreditur-kreditur dan perusahaan-perusahaan asing dan selama masih melakukan petualangan internasional”.

Sejak tahun 1945 Indonesia menerima sebanyak $ 671 juta dari Amerika. Sangatlah mengandung arti pula dalam laporan Clay itu Indonesia secara khusus disebutkan namanya sebagai salah satu dari negara-negara yang harus jangan lagi mendapat atau yang dikurangi dalam menerima bantuan -bantuan Amerika Serikat. (SA)

 

 

[1] Catatan wartawan senior Rosihan Anwar, suasana sosial politik bangsa Indonesia, menjelang peristiwa G30S-PKI 1965, antara tahun 1961-1965. Dikutip dari buku “Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965”, Jakarta : Sinar Harapan, 1980, hal. 354-356.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.