Pembantaian Di Desa Soco: Kesaksian Kolonel Purn. H. Yoethi Alwi

Pembantaian Di Desa Soco[1]

(Kesaksian Kolonel Purn. H. Yoethi Alwi)[2]

Kolonel Purn. H. Yoethi Alwi adalah pejuang dan mantan Ketua DPRD Kota    Mojokerto .   Ketika    pecah Pemberontakan  PKI di Madiun  1948, ia tengah berada di kantong gerilya di sepanjang lereng barat Gunung Wilis, antara wilayah Kanigoro hingga wilayah Dagangan (arah tenggara dari Kota Madiun) . H. Yoethi Alwi saat itu berusia sekitar 21 tahun. Dalam jajaran TNI sudah mencapai pangkat Letnan dan tergabung dalam pasukan Brigade Suprapto Soekowati (S2/SS) . Di wilayah Banjarsari-Dagangan, ia bertemu dan bergabung dengan Letnan Kolonel Moech Koensyarwanie (kakaknya)–ketika itu menjadi Komandan Resimen I Brigade 17. Resimen ini tengah menggalang kekuatan bersama bekas anggota Laskar Hizbullah untuk melakukan penghadangan    terhadap   langkah   mundur pasukan  PKI yang sudah bercerai berai.

Kondisi waktu itu sudah demikian kacau. Tentara yang sebenarnya tengah berkonsentrasi di kantong-kantong pertahanan sungguh tidak siap menghadapi serangan dadakan dari dalam berupa Pemberontakan PKI ini. Letkol. Moech Koensyarwanie, misalnya, tidak sempat menggalang kekuatan empat batalyon yang ada di bawah kepemimpinannya . Mereka semua sating terpisah. Kepala stafnya, Mayor Sediono (terakhir pensiun dengan pangkat Brigjen TNI dan kini sudah almarhum), pada hari-hari pertama pecah Pemberontakan PKI, juga tidak jelas posisinya. Bahkan satu bataliyon, yaitu Bataliyon I Resimen I Brigade 17, telah tersusupi PKI. Komandan Bataliyon I ini, Mayor Wisnu Harsono, bergabung dengan PKI (akhirnya mati terbunuh) .

Koordinasi vertikal juga tak mungkin lagi sempat dilakukan dengan Komandan Brigade 17 Kolonel Oemar Djoy yang berkedudukan di Bojonegoro . Belakangan , diperoleh kabar, Kepala Staf Brigade 17, Kolonel Hambali (kemudian menjadi kakak ipar KH. M. Yusuf Hasyim) juga tertangkap PKI dan ditawan di penjara kota Ponorogo.

Sambil menunggu situasi memungkinkan untuk koordinasi dan konsolidasi seluruh kekuatan Resimen I Brigade 17, Letkol. Moech Koensyarwanie menyingkir dari kota Madiun dan menggalang kekuatan sisa-sisa Laskar Hizbullah dengan membangun basis pertahanan di sekitar Banjarsari, Jetis, Sewulan dan Dagangan. Hal inilah yang ketika itu memungkinkan dilakukan Koensyarwanie untuk mengantisipasi keadaan secara responsif.

Koensyarwanie adalah bekas Komandan Hizbullah tingkat Karesidenan Madiun. Turunnya pasukan Brigade SS dari kantong pertahanan gerilya, sungguh menjadi dukungan tersendiri bagi pertahanan yang telah dengan cepat dibangun Koensyarwanie di Banj.arsari dan Sewulan.

Dalam pertahanan ini, Koensyarwanie sempat duel satu lawan satu dengan Wongso Karno, gembong PKI dari Matsari­Beketok. Menurut catatan yang dibuat Koensyarwanie, keduanya semula saling menyapa “konco dewek” (teman sendiri). Namun, Wongso Karno kemudian mencabut pistol. Koensyarwanie melangkah mundur dan berlindung di tembok pagar sambil dua kali menembakkan pistolnya ke arah atas. Wongso Karno tetap merangsek maju dan duel satu Iawan satu tidak dapat dihindarkan. Dengan tangan kirinya, Koensyarwanie dapat meraih tangan kanan Wongso Karno yang berpistol, kemudian menembak perut Wongso Karno. Ketika ditangkap Wongso Karno belumlah tewas. Ia dibawa ke Sekolah Rakyat (SR) Banjarsari dan ditawan di sana. Beberapa hari kemudian Wongso Karno dieksekusi oleh prajurit dari Siliwangi.

Setelah PKI dapat dilumpuhkan pasukan TNI  dari Siliwangi, Kota Madiun dapat direbut untuk masuk kembali ke pangkuan Republik Indonesia. Letnan Yoethi Alwi mengawal Letkol. Moech. Moech. Koensyarwanie masuk kembali ke Kota Madiun. Saat itu, kecuali telah mendengar puluhan ·hingga ratusan tokoh keagamaan dan pemimpin pesantren di sekitar Madiun menjadi korban kebiadaban PKI, yang sangat mengejutkan adalah kabar hilangnya Ridwan, Ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan.

Ridwan adalah kemenakan Moech. Koensyarwanie dan Yoethi Alwi, putra bungsu dari Nyi Djuariyah–kakak perempuannya yang lain ibu. Ridwan diculik PKI dan dibunuh di Desa Soco, Kecamatan Bendo. Jazadnya dimasukkan ke dalam salah satu sumur. Setelah dievakuasi bersama seratusan korban lain, kerangka yang ditemukan kemudian dipindahkan ke makam massal di lingkungan Taman Makam Pahlawan Kota Madiun.

Makam  massal yang kemudian  disebut Makam  Soco ini,berisi 108 jenazah. Sejumlah 67 jenazah diketahui namanya, 41 jenazah  selebihnya tidak dikenal. Ridwan pada prasasti nisan makam massal ini tercatat sebagai korban pada urutan ke-34.

Salah satu sumur yang paling banyak memuat timbunan jenazah di ladang pembantaian di Desa Soco, kemudian dijadikan monumen. Satu gerbong lori yang dijadikan pengangkut tawanan juga dijadikan monumen peringatan. Monumen yang menjadi saksi dan bukti kekejaman  PKI  1948 diresmikan  Letjen  Pum. M. Kharis Suhud pada  15 Oktober 1989.

Mengapa Kharis Suhud? Disamping kapasitasnya sebagai Ketua DPR/MPR ketika itu, juga karena Moech. Soehoed, ayahnya, telah menjadi salah satu korban kekejaman yang dilakukan PKI ini. Soehoed, adalah keluarga Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM) di Takeran Kabupaten Magetan.

Pesantren ini diserbu dan diobrak-abrik oleh PKI. Disamping Moech. Soehoed, 14 orang lainnya, terdiri atas pimpinan pesantren, para Kiai, ustadz, dan beberapa pengikut, menjadi korban. Mereka diculik dan setelah disekap di Gorang-Gareng kemudian dihabisi di Desa Soco ini.

Dari keluarga PSM ini, tercatat sejumlah .14 orang menjadi korban. Mereka selengkapnya. adalah Kiai Imam Mursyid Imam Muttaqien (pemimpin PSM yagg saat itu masih perjaka) putra pendiri PSM KH Imam Muttaqien. Kemudian sesepuh pesantren: Kiai Noor, Kiai Achmad BaidloWr dan Kiai Muhammad Nurun. Para ustadz diantaranya Ustadz Imam Faham, Ustadz Hadi Addaba, dan Ustadz Moech. Maidjo:, Kemudian para keluarga dekat dalam lingkungan pesantren, diantaranya: Moech Soehoed, Rekso Siswojo, Hartono, Kadimitr, Prijo Oetomo, Rofi’i Tjiptomartono dan Hussein.

Setelah 13hari berkuasa, PKI sudah kocar-kacir dan Pasukan Siliwangi dapat dengan segera mengembalikan Kota Madiun ke pangkuan Pemerintahan Republik Indonesia. Setelah pengambil alihan kekuasaan itu, seluruh pasukan kembali ke kantong­kantong  pertahanan,  berkonsentrasi  penuh  untuk  menghadapi ancaman  Belanda  yang ingin kembali masuk menjajah  Indonesia.

Situasi negara masih demikian kacau. Disamping menghadapi ancaman Belanda, negara juga pecah. Ada RI dan ada pula terbentuk RIS. Agaknya, Presiden Soekarno tidak lagi bersedia pusing-pusing memikirkan PKI, walaupun sebenamya sempat memberontak demikian keji dan nyaris menghancurkan kedaulatan Pemerintahan RI. Perhatian utama pemerintah ketika itu memang menghadapi Belanda yang ingin kembali berkuasa di  Indonesia.

Berbagai pihak ada yang menud.ing pemerintah saat itu lengah sehingga dengan sangat mudah memberikan pengampunan (amnesti) kepada PKI. Akibatnya, sisa-sisa pimpinan PKI yang d.iampuni tersebut segera dapat melakukan konsolidasi, sehingga dalam waktu relatif singkat, tujuh tahun saja, PKI sudah mampu tampil ikut menjadi kontestan Pemilu pertama tahun 1955. Secara nasional dalam Pemilu itu, PKI memang tidak tampil sebagai pemenang. Tapi di banyak daerah, PKI  masih cukup kuat dan keluar sebagai pemenang Pemilu.

Itu menggambarkan demikian solidnya PKI. Kendati sudah tak diberi kesempatan berdiri 40 tahun, namun diyakini, orang­orang PKI tidak benar-benar habis. Sisa-sisa mereka terus­menerus menggunakan dan memanfaatkan berbagai momen dan kesempatan  untuk  berusaha  bangkit  kembali.

[1]    Dikutip dari buku “KESAKSIAN KORBAN KEKEJAMAN PKI 1948, Kesaksian KH. Roqib “, Komite Waspada Komunisme, Jakarta:2005, hal 37-43

[2]    Muslich Rizza:, BA adalah mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)  Kabupaten/Kota   Madiun

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.