“KIRIMKANLAH LAGU-LAGU GUMARANG”

“KIRIMKANLAH  LAGU-LAGU  GUMARANG”[1]

 

8 Oktober 1961

Seorang tokoh Nahdatul Ulama (NU) menceritakan kepada saya menurut pengetahuannya memanglah dewasa ini Menteri Agama Wahib Wahab “berada di luar negeri”. Seterusnya dibenarkannya wahib wahab telah meminta berhenti sebagai Menteri.

Alasan yang diberikan oleh Wahab kepada teman-temannya di lingkungan NU ialah sebagai salah seorang menteri tidak dapat turut bertanggung jawab atas keadaan ekonomi dewasa ini dan penderitaan rakyat di dalamnya. Akan tetapi alasan sebenarnya ialah ia merasa dirinya kurang aman dalam rangka pencetakan Quran di Jepang.

Ia kuatir akan diperiksa oleh Kejaksaan Agung berhubung dengan nang komisi yang diterimanya dari pencetakan Quran itu dan oleh karena itu sebelum ditanyai lebih baiklah siang-siang menyingkir.

Tokoh NU yang jadi informan saya itu meneruskan ceritanya bahwa Wahib Wahab beberapa waktu yang lalu berniat jadi benar-benar seorang “Menteri Nasakom”. Ketika saya tanya apa maksudnya, maka dijawabnya bahwa Wahab kini mau mencetak pula Kitab lnjil di Jepang. Untuk itu Wahab telah menanyakan pendapat Presiden Sukarno. Tetapi Presiden tidak begitu antusias dengan gagasan Wahab itu karena berarti Wahab bisa dapat uang komisi luar negeri lagi.

Wartawan “PIA” di Washington mengabarkan Ir. H. Laoh yang pada tahun 1957 dijadikan technical-supervisor oleh Permesta dan selama pemberontakan menetap di Tokyo pada tanggal 4 Oktober lalu kembali ke pangkuan RI dengan disaksikan oleh Duta Besar RI Mr. Zairin Zain dan Atase Militer Brigjen Surjosurarso.

Kepala Sekretariat Staf Peperti Letnan Kolonel Mr. Sutjipto menerangkan kepada pers, ia belum menerima laporan adanya penyerahan pribadi dari Kahar Muzakkar, Daud Beureueh dan Kartosuwiryo. Kemarin saya membaca dua pucuk surat yang dikirimkan oleh Achmad Husein kepada seorang temannya di Jakarta.

Nada surat menunjukkan betapa Achmad Husein di Padang kini berada dalam kebingungan dan tidak tahu apa yang akan diperbuat seterusnya. Ia menulis tentang perlunya ekonomi di Minangkabau ”yang telah hancur” itu dibangun lagi tetapi dia tidak punya konsepsi terang tentang bagaimana cara-caranya. Di akhir suratnya Achmad Husein meminta supaya dikirimkan kepadanya “rekaman longplay dari lagu-lagu Gumarang untuk mendengar lagu-lagu Minangkabau yang sebenarnya.”

Beberapa hari yang lalu saya bicara dengan seorang tokoh Masyumi. Ia menerangkan Bung Natsir kini juga sudah berada di Padangsidempuan bersama-sama Bung Sjafruddin, sedangkan Bung Assaat kini berada di Medan.

Tokoh Masyumi itu berbicara tentang keadaan sekarang yang pasti tidak bakal langgeng. Ia mengunjuk kepada apa yang dikatakan dalam Qur’an dalam Surah AI An. ‘Am, ayat 44: “Maka tatkala mereka lupa kepada  peringatan yang diingatkan kepada mereka, Kami bukakan bagi mereka pintu-pintu bagi tiap tiap suatu sehingga apabila mereka senang dengan apa yang diberikan_ kepada mereka, sekonyong-konyong Kami datangkan siksa atas mereka, maka tiba-tiba mereka berputus-asa.” (DTS)

 

[1] Catatan wartawan senior Rosihan Anwar, suasana sosial politik bangsa Indonesia, menjelang peristiwa G30S-PKI 1965, antara tahun 1961-1965. Dikutip dari buku “Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965”, Jakarta : Sinar Harapan, 1980, hal. 107-108.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.