Upaya Menghapus Jejak Peran PKI dalam G.30.S

Teori-Teori Tandingan: Upaya Menghapus Jejak Peran PKI dalam G.30.S

Pencermatan mikro kesejarahan terhadap peristiwa G 30 S/PKI juga telah banyak memunculkan teori-teori spekulatif, khususnya terkait intellectual actor gerakan. Aminudin Kasdi dan G. Ambar Wulan berusaha memaklumi keragaman teori itu walaupun mereka sendiri mengedepankan fakta-fakta amat kuat peran PKI sebagai intellectual actor sekaligus eksekutor G 30 S. Menurutnya —secara teoritik— keragaman kesimpulan dalam penulisan sejarah dapat dimaklumi karena (1) faktor-faktor dimensional dalam pendekatan keilmuan, dan (2) faktor sosio kultural meliputi visi, personal bias (tendensi pribadi), geitsgebodenheit (jiwa zaman), group prejudice (prasangka kelompok), teori interpretasi yang digunakan dan filsafat yang dijadikan dasar wawasan[1].

Terlepas adanya permakluman teoritik itu, dijumpai indikasi kuat upaya pengingkaran keterlibatan PKI dalam peristiwa G 30 S paska kegagalan kudeta. Victor M. Fic —sejarawan Kanada kelahiran Cekoslowakia— mengungkapkan keterkaitan Dr. Ruth T. Mc Vey —penulis “Cornell Paper” berjudul “A Preliminary Analysis of The October 1, 1965 Coup In Indonesia” yang tesisnya berusaha mengingkari peran PKI— memiliki keterkaitan erat dengan kader-kader elit PKI sejak sebelum terjadinya peristiwa G 30 S. Ia (Dr. Ruth T. Mc Vey) merupakan dosen tamu pada Institute Aliarcham untuk Ilmu-Ilmu Sosial milik PKI. Lembaga ini melatih para kader PKI dalam Administrasi Negara, sehingga kelak diharapkan mampu menjalankan lembaga-lembaga negara setelah berhasil merebut kekuasaan di Indonesia. Setelah mengalami kegagalan kudeta 1965, PKI menggunakan orang-orang akademisi terkemuka Amerika untuk mempertahankan status hukumnya, dengan menyebarluaskan disinformasi yang pada intinya G 30 S/PKI merupakan konflik internal Angkatan Darat sekaligus mengilustrasikan PKI berada dalam peran pinggiran[2].

Berdasarkan informasi Victor M. Fic itu dapat kita ketahui adanya sejumlah teori yang memang sengaja disusun sejak awal untuk menghapus keterlibatan PKI dalam peristiwa G 30 S. Ia sendiri mengajukan analisis secara genial bahwa peristiwa G 30 S/PKI merupakan konspirasi Aidit dan Mao Tsetung (RRC). Sesuai saran kaisar Komunis Cina itu, Aidit harus segera membersihkan Pimpinan TNI AD agar menjadikannya “naga tanpa kepala”. Setelah TNI AD mengalami kelumpuhan, PKI akan dengan mudah merobohkan Presiden Soekarno yang diskenariokan akan diasingkan ke danau Angsa RRC. Melalui kepemimpinan transisi yang sepenuhnya dikendalikan PKI, dua pilar utama pemerintahan (Kabinet dan TNI AD) akan segera dikuasi sebagai penopang sistem Komunisme di Indonesia.

Selain teori “masalah internal TNI AD”, penghapusan jejak peran PKI juga dikelola melalui kemunculan teori “Chaotic Moment”, peran sentral Presiden Soekarno dan Operasi CIA sebagai konspirasi Inggris-Amerika. Tudingan tanpa dukungan fakta —oleh Heroe dan Latief— juga tujukan kepada Mayjen Soeharto yang dikesankannya sebagai intelektual actor G 30 S. Beberapa sodoran teori dan tudingan terbukti tidak relevan lagi ketika dikonfrontasikan dengan sejumlah dokumen, khususnya otokritik Supardjo dan data-data deklasifikasi pemerintah Amerika Serikat.

Selain hanya mengulang diktum Aidit, menganggap G 30 S sebagai permasalahan internal TNI AD berhadapan dengan sejumlah kejanggalan. Pertama, sebagaimana tergambar sejara jelas dalam otokritik Supardjo, perwira-perwira G 30 S berada dalam posisi nomer tiga pengambilan keputusan teknis gerakan setelah lapis ketua (kelompok ketua: Aidit Cs), dan Kelompok Sjam Cs (Ketua Biro Chusus Central/BCC). Supardjo menggambarkan para perwira militer tidak lebih sebagai pion dan tidak diberi keleluasaan membuat keputusan, termasuk pada masa-masa kritis “waktunya bedil berbicara”. Kedua, adanya tindakan politik dengan mendemisionerkan Presiden Soekarno dan Kabinet Dwikora. Apabila peristiwa tersebut merupakan masalah internal AD, tersingkirnya para pimpinannya telah dengan sendirinya menghentikan gerakan dan tidak harus menyingkirkan Presiden. Adanya kejanggalan itu, dialektika seputar masalah ini pada akhirnya akan kembali pada kesimpulan “sejumlah komandan ABRI yang telah dibina sejak lama, dimanfaatkan PKI sebagai unsur pelaksana operasi militer”.

Teori Chaotic Moment, juga menjadi tidak relevan ketika dikonfrontasikan dengan otokritik Supardjo yang menyatakan rencana gerakan pada awalnya disusun sebagai operasi militer secara terpisah dengan gerakan politik, namun oleh PKI dijadikan satu paket. Penjelasan ini —juga didukung rapat-rapat komando dan skenario isu yang dibuat PKI jauh sebelum peristiwa— memberi petunjuk G 30 S bukanlah peristiwa yang tiba-tiba jatuh dari langit tanpa adanya skenario dominan. Sedangkan tudingan operasi CIA sebagai intellektual actor juga telah terbantah melalui data-data yang terdeklasifikasi.

Teori peran sentral Presiden juga berhadapan dengan fakta ia meminta pembuktian ketika Supardjo melaporkan kawan-kawannya (Untung Cs.) telah mengamankan para Jenderal yang akan mengadakan coup. Ia juga memerintahkan penghentian tembak-menembak setelah memperoleh kabar terbunuhnya para Jenderal. Pada hari itu (1 Oktober 1965), ia juga mengagendakan pertemuan dengan Jenderal A. Yani pada pukul 10.00 Wib. untuk dimintai penjelasannya seputar isu Dewan Jenderal. Presiden juga mengklarifikasi kedatangannya ke Halim atas kemauan sendiri agar dekat dengan pesawat terbang jika sewaktu-waktu membutuhkan karena dihadapkan pada situasi yang membingungkan pada hari itu.

Sedangkan ketidaktegasannya mengutuk gerakan, dapat dijelaskan melalui dua kemungkinan. Pertama, pada saat itu ia sedang berada dalam karantina G 30 S/PKI. Setelah tiba di Halim, ia melihat secara jelas TNI AD telah dilumpuhkan, anggota kabinet utamanya banyak “eksodus” untuk kunjungan daerah dan luar negeri, Istana dikepung pasukan yang dikendalikan G 30 S/PKI dan ia sekarang berada dikawasan Halim tempat pasukan G 30 S/PKI juga digelar. Mungkin ia juga melihat secara jelas sikap Omar Dhani —dengan segala komponen pasukannya— yang menunjukkan keberpihakannya pada G 30 S/PKI [3].

Presiden baru menampakkan keberaniannya mengutuk G 30 S/PKI (marah-marah terhadap keputusan Dewan Revolusi) setelah mendengar kabar pergerakan Kostrad (melalui Bambang Widjanarko yang baru menghadap Mayjen Soeharto). Kini ia melihat dirinya tidak sendirian karena TNI AD tidak benar-benar lumpuh dan sedang digerakkan Mayjen Soeharto untuk menghantam gerakan yang telah mendemisionerkan Kabinet Dwikora.

Kedua, Presiden memang bersifat mendua (tidak mengutuk G 30 S/PKI) untuk menjaga hubungan baiknya dengan Blok Timur sebagai satu-satunya mitra strategis yang ia miliki untuk melawan hegemoni barat dalam percaturan internasional. Ia berusaha keluar secara halus dari jeratan Pimpinan PKI (anak emas Blok Timur) tanpa harus mengorbankan hubungan baiknya dengan Blok Timur.

Adapun tudingan terhadap Mayjen Soeharto —sebagaimana dikemukakan Heroe dan Latief— segera terbantahkan oleh fakta-fakta yang melimpah. Pertama, ia konsisten sebagai prajurit profesional dan tidak terlibat dalam tarik ulur politik. Secara politik keberadaannya juga tidak pernah diperhitungkan dalam percaturan elit politik bangsa sebelum 1 Oktober 1965. Latief sendiri mengakui Mayjen Soeharto merupakan loyalis Presiden. Kedatangan Latief di kediamannya bisa jadi untuk meminta bantuan Panser —sebagaimana dijanjikan Latief kepada pimpinan G 30 S/PKI — apabila dalam pertemuan itu Mayjen Soeharto menunjukkan dukungan terhadap gerakan. Namun karena banyak tamu dan Mayjen Soeharto disibukkan oleh sakit putranya, Latief tidak pernah memperoleh kesempatan mengungkapkan rencana terdalamnya itu.

Kedua, tidak pernah mencuat bukti-bukti yang menunjukkan Mayjen Soeharto memiliki keterkaitan dalam perencanaan gerakan. Termasuk dalam otokritik Supardjo, tidak pernah disinggung adanya benang merah keterlibatan gerakan dengan Mayjen Soeharto. Supardjo menempatkan Mayjen Soeharto sebagai kompetitor yang dirundung kepanikan pada awal gerakan, akan tetapi segera melakukan konsolidasi dan membalik keadaan hanya dalam hitungan jam.

Tudingan Letkol Udara Heru —dengan mengkaitkan pelaku G 30 S/PKI (Untung & Latief) memiliki ikatan historis dan berakar dari satu rumpun kesatuan yang sama (Komando Teritorium VII/Diponegoro) dengan Mayjen Soeharto— merupakan generalisasi dan jauh dari bukti-bukti keterlibatan sebagai perencana G 30 S/PKI. Tudingan itu kemungkinan dilatarbelakangi kekesalannya kepada Mayjen Soeharto yang berhasil secara meyakinkan mengungkap konspirasi oknum-oknum AURI dalam kudeta tersebut.

 



[1]     A.L. Rowse, The Use of History, (England: Hodder & Stoughton Limited for English Universities Press, 1948), dalam Aminuddin Kasdi & G. Ambar Wulan, G.30.S/1965: Bedah Caesar Dewan Revolusi Indonesia Siapa Dalangnya, PKI ?, (Surabaya: PT. Pustaka Java Media Utama, 2007), hlm 3.

[2]     Victor, M. Fic, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi, (Jakarta: Yayasan Obor, 2005), hlm 3.

[3]     Sebelum kedatangan Presiden, Omar Dhani mengeluarkan Surat Perintah Harian yang isinya mendukung G.30.S.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.