TEMBAKAN Dl WAKTU MALAM [1]
10 Oktober 1965
Dahsyat kedengarannya satu rentetan tembakan membelah kesunyian malam sehingga membuat saya kaget terbangun. Istri saya pun terbangun dan kami pergi ke jendela kaca kamar tidur kami untuk melibat keluar ke arab jalan raya.
“Maling barangkali, kau tidak dengar ada teriakan tadi?” tanya istri saya.
Kamar tidur kami hanya kurang lebih 100 meter dari jalan yakni Jalan Teuku Umar. Kami tinggal persis di depan rumah Jenderal A.H. Nasution. Kami memandang dengan sekuat pandangan akan tetapi tidak tampak sosok tubuh manusia. Karena keadaan masih diliputi gelap gulita. Pukul berapa ini? Pikir saya. Menjelang pukul tiga pagi Tampak sebuah truk bergerak di muka rumah Nasution. Truk hilang dari pandangan. Untuk ke luar pergi ke beranda depan saya tidak berani. Maka berdirilah saja kami depan jendela kaca mengamati apa yang terjadi. Tidak lama kemudian sebuah mobil sedan yang menyalakan lampu besarnya meninggalkan pekarangan rumah Nasution dan menghilang. Apa itu? pikir saya tidak habis-habisnya baiknya tidur saja lagi.
Paginya setelah hari terang aya bersiap-siap hendak mengantarkan Naila ke sekolah di Pegangsaan Timur (SD Tri sula). Saya heran di pekarangan saya banyak prajurit sedang mengadakan stelling. Mereka merebahkan diri di atas rumput di belakang senapan mesin. Di Jalan Teuku Umar saya lihat ada kereta panser diparkir. Saya jalan ke depan dan menengok ke seberang ke rumah Dr. Leimena.
Ada sosok tubuh terbaring di tanah ditutupi dengan kain putih. Prajurit-prajurit mondar-mandir di Jalan Teuku Umar. Saya belum tahu juga apa yang terjadi. Saya antarkan Naila ke sekolah dan sekembalinya dari sana saya diberitahu oleh orang-orang di rumah mereka mendengar di RRI dalam siaran berita pukul tujuh pagi tentang adanya “Dewan Revolusi” yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung. Keterangan lain tidak dapat mereka berikan dan saya juga bertanya-tanya apa ini semua?
Segera saya ambil sepeda dan saya menuju ke Jalan Tanjung 18 tempat Koko tinggal. Saya ceritakan padanya apa yang telah terjadi, tembakan di waktu malam, mayat yang terbujur di depan rumah Leimena, Tentara yang berkumpul dan berjaga-jaga di Jalan Teuku Umar.
“Ini mesti ada apa-apanya, Ko,” ujar saya.
Dia baru saja dapat kabar melalui telepon, Haryono semalam ditembak oleh sepasukan Tentara dan kemudian dibawa pergi entah ke mana. Mungkin sekali Haryono telah mati. Pada waktu itu melintas di kepala saya pikiran dan saya ucapkan segera
“Kalau Haryono mati begitu, ini tentu PKI punya kerja. lni kudeta PKI Ko,” kata saya. Dia diam sambil menganggukkan kepalanya.
Setelah kami berjanji saling mengumpulkan informasi tentang apa yang terjadi saya kembali mengayuh sepeda pulang ke rumah. Siang itu praktis saya berada dalam kegelapan. Untuk pergi ke luar rumah mencari keterangan, saya kurang bernafsu. Saya terpikir kalau benar telah terjadi kudeta oleh PKI, maka hal itu tidak saya duga sama sekali sebab sebenarnya kedudukan politik PKI sudah begitu baik berkat bantuan Sukarno sehingga PKI tidak perlu menempuh jalan kekerasan untuk sampai di puncak kekuasaan negara.
Malamnya saya dengar melalui siaran radio bahwa gedung RRI sudah direbut kembali dari tangan Dewan Revolusi. Saya jadi lega. Bahaya paling gawat sudah terlampaui. Kini hanya tinggal menunggu perkembangan lebih jauh.
Saya coba menyambung-nyambung potongan informasi dan fakta yang saya peroleh melalui siaran RRI. Muncul lah sebuah gambaran yang mengerikan. Apa yang menamakan dirinya “Gerakan 30 september” yang dipelopori oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalyon Cakrabirawa, dini hari malam Jumat telah menculik sejumlah jenderal dari Angkatan Darat serta menduduki Studio RRI dan Kantor Besar Telekomunikasi di Jakarta.
Bagian Penerangan “Gerakan 30 September” jam 14.15 dengan perantaraan RRI mengumumkan susunan Dewan Revolusi Indonesia yang tediri dari 45 orang dan diketuai oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Gerakan 30 September tersebut. Ketua dan Wakil Ketua merupakan anggota Presidium, dan bertindak mewakili Dewan. Wakil-wakil Ketua itu adalah Brigjen Supardjo, Letnan Kolonel Udara Hero, Kolonel Laut Sunardi dan AKBP Anwas. Semua anggota Dewan Revolusi dari kalangan sipil diberi hak memakai pangkat Letnan Kolonel. Dan semua yang berpangkat di atas pangkat ketua Dewan Revolusi (Letnan Kolonel) diturunkan menjadi Letnan Kolonel.
Selanjutnya Bagian Penerangan dari “Dewan Revolusi Indonesia” mengumumkan lewat RRI bahwa untuk sementara menjelang pemilihan umum MPR, maka “Dewan Revolusi Indonesia” menjadi sumber dari segala kekuasaan dalam Negara Republik Indonesia. Dalam pada itu Menteri Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Udara Omar Dani jam 9.30 mengeluarkan perintah harian. Ia mengatakan oleh “Gerakan 30 September” telah diadakan gerakan untuk mengamankan dan menyelamatkan Revolusi dan Pemimpin Besar Revolusi terhadap subversif CIA.
Dengan demikian telah diadakan pembersihan dalam tubuh Angkatan Darat dari anasir-anasir yang didalangi oleh subversif asing dan yang membahayakan Revolusi. Angkatan Udara RI sebagai alat Revolusi selalu dan tetap akan menyokong dan mendukung tiap gerakan yang progresif revolusioner. Sebaliknya AURI akan menghantam tiap usaha yang membahayakan Revolusi Indonesia, demikian Omar Dani.
Setelah Studio RRI dapat direbut kembali dari tangan “Dewan Revolusi”, maka Pusat Penerangan Departemen Angkatan Darat mengumumkan lewat RRI Jumat malam bahwa gerakan kontra-revolusioner yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September” di Jakarta telah menculik beberapa perwira tinggi yaitu :
- Letnan Jenderal A. Yani,
- Mayor Jenderal Suprapto,
- Mayor Jenderal Parman,
- Mayor Jenderal Haryono M.T,
- Brigadir Jenderal Pandjaitan,
- Brigadir Jenderal Sutojo.
Diumumkan pula bahwa PYM Presiden/Pangti ABRi/Pembesrev dengan YM Menko Hankam/KASAD Jenderal Nasution dapat diamankan dan dalam keadaan sehat walafiat.
Pimpinan Angkatan Darat untuk sementara dipegang oleh Mayor Jenderal Suharto, Panglima Kostrad. Situasi umum telah dapat dikuasai kembali dan tindakan-tindakan pengamanan sedang giat dilakukan. Kepada masyarakat ramai diserukan agar tetap tenang dan terus melakukan tugasnya masing-masing sebagaimana biasa, demikian Penerangan Angkatan Darat.
Kemudian pimpinan sementara Angkatan Darat Mayor Jenderal TNI Suharto mengumumkan Jumat malam telah ada pengertian kerja sama dan kebulatan penuh antara Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Kepolisian untuk menumpas gerakan kontra-revolusioner dari apa yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September”. Dengan telah diumumkannya pembentukan apa yang mereka sebut “Dewan Revolusi Indonesia” dan menganggap bahwa Kabinet Dwikora sudah demisioner, maka jelas orang-orang “Gerakan 30 September” adalah orang-orang kontra-revolusioner yang telah melakukan pengambil alihan kekuasaan Negara Republik Indonesia dari tangan PYM Presiden/Pangti ABRI/Pembesrev Bung Karno di samping mereka telah melakukan penculikan terhadap beberapa perwira tinggi Angkatan Darat, demikian Suharto.
Di manakah Presiden? Ada pengumuman yang mengatakan dia berada dalam keadaan sehat walafiat dan tetap memegang pimpinan negara dan revolusi. Pimpinan ABRI sementara berada langsung dalam tangan Presiden/Pangti ABRI dan untuk melaksanakan tugas sehari-hari dalam Angkatan Darat ditunjuk untuk sementara Mayor Jenderal TNI Pranoto Reksosamudra, Assisten III Men/Pangad.
Sungguh, hari yang penuh gejolak rasa dan emosi. Saatsaat tegang pun tidak kurang karena ketidakpastian yang dihadapi dan tentu pula karena ketidaktahuan tentang apa yang terjadi. Tetapi ketika malam hari RRI menyiarkan Studio RRI sudah dapat direbut kembali dari tangan orang-orang “Dewan Revolusi Indonesia” saya lega. Saya boleh tidur dengan tiada kekhawatiran. (SA)
[1] Catatan wartawan senior Rosihan Anwar, suasana sosial politik bangsa Indonesia, menjelang peristiwa G30S-PKI 1965, antara tahun 1961-1965. Dikutip dari buku “Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965”, Jakarta : Sinar Harapan, 1980, hal. 547-551.
Leave a Reply