Strategi Front Persatuan Nasional (7): PKI Terhadap Seniman dan Budayawan

Strategi Front Persatuan Nasional (7): PKI Terhadap Seniman dan Budayawan [1]

 

cropped-monumen-icon.pngDalam rangka front persatuan nasional, PKI berusaha untuk menarik simpati atau dukungan dari para seniman dan budayawan. Selain itu PKI menganggap bahwa potensi kebudayaan bisa dijadikan suatu kekuatan revolusi yang ampuh. Karena alasan-alasan tersebut, PKI membentuk organisasi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada tanggal 17 Agustus 1950 di Jakarta.

Tokoh pendirinya terdiri dari tiga orang yaitu : DN. Aidit, AS. Dharta dan M.S. Ashar. Slogan yang digunakan pada awalnya adalah “seni untuk rakyat”.

Dengan dibentuknya Lekra ini, PKI berusaha untuk memasukkan pengaruh Marxisme dalam perkembangan kebudayaan, dan sastra di Indonesia, di samping itu berusaha untuk membangkitkan kesadaran politik di kalangan seniman dan budayawan serta untuk mengubah nasib para seniman. Seniman yang bergabung dalam Lekra antara lain:

  1. Dharta dan Boejoeng Saleh (aktivis Serikat Buruh), M.S. Ashar, Iramani alias Njoto (anggota pimpinan CC PKI), S.W. Kuntjahjo, Bachtiar Siagian (petualang), Sobron Aidit (Pelajar), Bakri Siregar (Guru SMA), Banda Harahap (redaktur Harian Rakjat, Medan).

Usaha lain yang dilakukan oleh PKI untuk menarik seniman masuk dalam Lekra adalah dengan cara menyediakan berbagai fasilitas yang baik, seperti mengadakan kunjungan ke luar negeri sebagai hasil kerjasama antara Lekra dan PKI, dengan negara-negara sosialis maupun dengan negara-negara non-sosialis.

Pada mulanya yang dikirim ke luar negeri hanyalah seniman-seniman yang tergabung dalam Lekra saja, tetapi sejak tahun 1955, seniman yang bukan Lekra pun turut dalam rombongan yang dibina Lekra.

Dalam perkembangan selanjutnya, PKI menganggap bahwa slogan dan Mukadimah Lekra tahun 1950 kurang sesuai dengan program PKI. Dengan adanya anggapan ini, maka dikeluarkan Mukadimah Lekra 1956 yang dimaksudkan untuk menarik lebih banyak golongan dan lapisan seniman.

Selain itu untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi Indonesia pada waktu itu. Sedangkan mengenai slogan “Politik adalah Panglima” baru dilaksanakan setelah Kongres Nasional I Lekra di Solo pada tahun 1959.

Beberapa tokoh PKI memberi perhatian cukup besar terhadap karya-karya seni, khususnya mengenai sastra. DN. Aidit, Njoto, dan Sudisman sering muncul dalam gelanggang kreasi puisi. Dari ketiga tokoh tersebut, ternyata Njoto yang mendapat tugas menggarap para seniman dalam menghasilkan suatu karya sastra.

Njoto dinilai sedikit banyak menguasai kritik seni, serta memiliki pengetahuan yang luas tentang politik budaya dan seni sastra. Ia dapat berbicara dalam bahasa seniman untuk mempengaruhi seniman agar tertarik pada PKI dan Lekra.

Kekurangan-kekurangan di bidang teknis seni, ditutupi dengan prinsip bahwa : “Tahu politik”,”Tahu segala”nya.

Prinsip tersebut dianut oleh tokoh, pimpinan dan sastrawan Lekra. Akibatnya banyak seniman muda yang berbakat dalam Lekra tidak mengabdikan bakatnya yang besar dalam bidang seni tetapi sebaliknya menekankan kegiatannya pada bidang politik. Prinsip tersebut mendapat tantangan dari para sastrawan muda kreatif, seperti Ajip Rosidi, Nugroho Notosusanto, WS. Rendra, SM. Ardan, Toha Muchtar, dan menjadikan Lekra sebagai lawannya.

Akibat dari kurangnya pengetahuan teknis seni, maka timbullah anggapan bahwa seniman-seniman PKI (yang tergabung dalam Lekra) belum mampu mencernakan dan menerapkan sastra Marxis yang diakui sebagai anutannya.

Hal ini dapat dilihat dari hasil karya mereka yang dimuat dalam majalah Zaman Barudan Harian Rakjat, di mana karya-karya mereka hanyalah hasil jiplakan dari majalah Soviet Literature dan Chinese Literature. Karena tujuan politiknya adalah mengubah imbangan kekuatan, masalah mutu seni dianggap tidak penting.

Demikian pula Mukadimah organisasi Lekra sendiri, hanyalah jiplakan dari Demokrasi Baru, tulisan Mao Ze Dong (pemimpin Komunis Cina), sehingga tema realisme sosialis yang dijadikan metode kerja tidak pernah terjabar secara jelas dan cukup dimengerti oleh para seniman.

Oleh karena itu PKI gagal menarik tokoh-tokoh seniman dan sastrawan ke pihaknya, sekalipun diberikan kemudahan-kemudahan untuk berkreasi.

—DTS—

 

[1]     Sumber : Buku “Komunisme di Indonesia Jilid III: Konsolidasi dan Infiltrasi PKI Tahun 1950-1959, Jakarta: Pusjarah TNI, 1999

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.