
Strategi Front Persatuan Nasional (5): Pendekatan PKI Terhadap Organisasi Wanita [1]
Ketika Aidit memegang pimpinan PKI, ia menginginkan agar peranan kaum wanita ditingkatkan karena kaum wanita cukup berperan dalam bidang sosial dan ekonomi. Kaum wanita Indonesia yang bekerja sebagai buruh industri, buruh tani, dan buruh perkebunan yang pada umumnya miskin mudah ditarik pada kegiatan organisasi.
Perhatian serius dari pimpinan PKI kepada kaum wanita dimulai pada bulan Januari 1955, karena jumlah anggota PKI wanita sangat kecil.
Dalam Manifesto Pemilihan Umum PKI yang dibuat pada bulan Maret 1954 berbunyi
“Untuk kaum wanita memilih PKI berarti emansipasi dan jaminan persamaan hak”.
Di dalam sebuah artikel yang di muat dalam Harian Rakjat sebelum pemilihan umum untuk Konstituante bulan Desember 1955,[2] jika PKI menang dalam pemilu, PKI menjanjikan akan memperjuangkan persamaan hak dalam empat masalah pokok :
- Bidang perkawinan, akan memperjuangkan kebebasan memilih suami, persamaan hak dalam bidang warisan dan perceraian dan hak- hak yang sama bagi anak-anak mereka.
- Bidang ekonomi, wanita hendaknya ikut berpartisipasi dalam bidang proses produksi seperti halnya laki-Iaki.
- Bidang perburuhan, tidak ada diskriminasi bagi kaum wanita dengan gaji yang sama.
- Bidang pertanian, kaum wanita akan mendapat pembagian tanah yang luasnya seperti kaum pria.
Metode pendekatan yang digunakan oleh PKI untuk menarik simpati kaum wanita tidak berbeda dengan metode pendekatan terhadap buruh dan petani yaitu disesuaikan dengan tingkat sosial ekonominya.
Dalam salah satu artikelnya seorang tokoh wanita PKI Setiati Surasto, menyatakan:
metode yang digunakan ditujukan kepada tiga kelas sosial, yaitu wanita kelas buruh dan petani, wanita kelas menengah dan wanita kelas atas.
Keanggotaan partai paling bisa diperluas di kalangan kaum wanita adalah kelas buruh dan petani. Namun ada juga kendalanya karena secara umum mereka buta huruf, banyak anak dan sering resah menghadapi masalah ekonomi.
Menurut Setiati Surasto salah satu cara untuk memecahkan permasalahan ini adalah dengan membantu mereka pada saat memerlukan bantuan dan diadakannya pertemuan-pertemuan tertutup yang jumlah anggotanya terbatas.
Pada pertemuan itu, ditekankan bahwa kemiskinan mereka hanyalah akibat dari penghisapan imperialisme. Masalah kemiskinan yang mereka hadapi dapat dilakukan lewat penyelesaian politik yang dipelopori oleh PKI.
Pendekatan terhadap kelas menengah (pedagang, petani, pelajar) disadari oleh PKI diperlukan waktu yang relatif lama dan perlu kesabaran. Pada dasarnya golongan ini memang tidak suka dengan PKI, di samping itu mereka kurang peduli terhadap lingkungan social mereka.
Dalam mendekati kelompok ini PKI mencoba menarik mereka dengan cara memberikan penerangan mengenai hak-hak mereka dan membantu masalah kepegawaian dan pensiun.
Terhadap wanita Indonesia yang tergolong intelektual atau mempunyai jabatan yang tinggi dalam birokrasi pemerintahan Indonesia, oleh PKI digolongkan dalam kelompok wanita kelas atas yang memerlukan perhatian khusus. PKI mengakui tidak mudah membuat mereka tertarik pada PKI.
Mereka itu bahkan tahu mendengar kata “komunis”, di samping itu bagi para isteri juga takut kedudukan suami mereka tergeser. Salah satu jalan agar mereka tertarik pada PKI ialah mengumpulkan mereka pada suatu tempat tertutup, kemudian diterangkan bahwa komunis itu suatu ideologi yang berdasarkan pada ilmu pengetahuan dan sifatnya terbuka.
Dengan jalan ini PKI berharap rapat membuat mereka tertarik pada PKI. Setiati, selanjutnya menjelaskan bahwa kaum wanita klas menengah dan atas ini akan dapat membantu partai dari segi keuangan. Hal ini kiranya dapat membuat mereka merasa ikut berpartisipasi pada masalah-masalah partai. Dengan demikian diharapkan akan tumbuh pada diri mereka rasa memiliki pada partai.
Pada tanggal 26 sampai dengan 30 Mei 1958 diadakan Konperensi Wanita Nasional yang pertama. Pada saat ini sejumlah masalah yang ada hubungannya dengan pertumbuhan jumlah anggota didiskusikan.
Pada saat itu Aidit dengan tajam mengatakan kendala terbesar bagi PKI bekerja di kalangan kaum wanita adalah kepercayaan mereka terhadap takdir. Kemiskinan dan kondisi buruk yang mereka alami adalah suatu takdir dari Tuhan dan hal itu tidak bisa diubah oleh manusia.
Selanjutnya Aidit mengatakan PKI harus bekerja dengan semangat tidak mengenal menyerah dalam hal meyakinkan kaum wanita bahwa situasi buruk itu, sengaja dibuat oleh segolongan orang. Dengan masuk PKI, kondisi buruk itu dapat diperbaiki.
Sudisman menyatakan partai harus memberikan perhatian besar pada masalah-masalah yang erat hubungannya dengan ekonomi yang dihadapi oleh kaum wanita. Suharti, seorang anggota PKI pada konperensi itu memperkenalkan metode yang dapat digunakan untuk menarik perhatian kaum wanita, yaitu dengan cara membentuk kelompok anjangsono [3].
Kelompok ini bertugas membantu mereka pada waktu terkena musibah (kematian atau sakit) atau bila ada acara-acara pesta. Untuk lebih meyakinkan lagi perlu diadakan aksi-aksi untuk membela kepentingan kaum wanita.
Organisasi massa wanita komunis yang mulai berperan adalah Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis), didirikan tanggal 4 Juni 1950. Gerwis didirikan dari hasil peleburan tujuh organisasi wanita yang tersebar di seluruh Jawa yaitu :
- Rukun Putri Indonesia (Rupindo).
- Persatuan Wanita Sedar, Surabaya
- Persatuan Wanita Sedar, Bandung .
- Gerakan Wanita Rakyat Indonesia
- Perdjoangan Putri Republik Indonesia.
- Wanita Madura.
- Persatuan Wanita Indonesia.
Pada saat peleburan itu anggotanya hanya berjumlah 500 orang.
Dalam tahun pertama kegiatan Gerwis boleh dikatakan hanya membuat program yang sederhana yaitu “membuat kaum wanita menjadi sadar politik”. Oleh karena itulah Gerwis dikecam habis-habisan oleh para pemimpin PKI. Pimpinan Gerwis dituding sebagai borjuis.
Tujuan Gerwis sebagaimana dikehendaki oleh PKI adalah mendekati kaum wanita miskin. Akan tetapi kenyataannya pimpinan Gerwis tidak turun ke massa wanita. Oleh karena itu pada saat Gerwis mengadakan kongres nasional yang pertama pada bulan Desember 1951, anggotanya tidak lebih dari 6.000 orang.
Kelemahan ini dianalisa oleh Gerwis pada kongres nasional yang pertama. Hasilnya adalah Gerwis, lebih banyak memperhatikan masalah intern organisasi. Maksudnya adalah langsung memperhatikan kepentingan kaum wanita sehari-hari.
Peserta kongres juga mengkritik cara kerja yang didasarkan pada pikiran yang sempit dan tidak mengikuti strategi front persatuan, misalnya sikap curiga pada organisasi wanita non-Gerwis.
Meskipun Gerwis mendapat kritikan yang tajam dari peserta kongres bulan Desember 1951 itu, pemimpin-pemimpin Gerwis tetap lamban untuk menarik dukungan massa kaum wanita. Akar dari masalah ini sebenarnya terletak pada tingkat sosial mereka.
Para pemimpin Gerwis hampir semuanya termasuk klas menengah dan secara umum mereka itu segan terjun ke kalangan “rendahan”. Sampai dengan bulan Juni 1953 keanggotaan Gerwis hanya 40.000 orang, namun sudah ada indikasi pekerjaan di kalangan massa sudah dimulai.
Hal ini dapat diketahui dari kenyataan bahwa pada bulan Februari 1953 di antara 7.016 orang anggota Gerwis di Jawa Tengah, sudah membuka 8 Sekolah Taman Kanak-Kanak, 52 buah tempat kursus pemberantasan buta huruf, 29 buah tempat kursus bagi para penyandang cacat dan 17 buah tempat untuk kursus para kader.
Pada bulan Maret 1954 Gerwis mengadakan kongres yang kedua di Jakarta. Anggotanya meningkat menjadi 80.000 orang dan mempunyai 203 cabang. Pada saat Kongres tersebut Umi Sardjono yang menjadi ketua Gerwis mengganti nama Gerwis menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).
Pengubahan nama ini dimaksudkan untuk menghilangkan kesan “karakteristik sempit” dari Gerwis. Konsekuensi dari perubahan nama ini harus diikuti dengan perubahan konstitusi anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya.
Dalam konstitusi baru disebutkan bahwa Gerwani terbuka untuk semua wanita Indonesia, yang sudah berumur 16 tahun dan tidak memihak pada satu partai politik, agama dan suku yang ada di Indonesia.
Pada waktu kongres kedua ini ditargetkan penambahan anggota menjadi 2.5 juta orang sampai kongres berikutnya. Rupanya target ini terlalu tinggi, sebab dalam kenyataannya pada Kongres ketiga Gerwani pada bulan Desember 1957, mereka hanya mempunyai 681.342 orang anggota.
Pada periode kongres kedua dan ketiga Gerwani masih tetap merupakan organisasi massa yang menekankan kegiatannya pada bidang sosial dan ekonomi.
Pada saat menjelang Pemilu 1955, terdapat 23.000 orang anggota Gerwani di Pulau Jawa bekerja pada panitya Pemilu. Sebanyak 23 orang anggota Gerwani terdaftar sebagai calon anggota DPR dari PKI dan satu orang terdaftar sebagaai calon anggota DPR dari Partai Indonesia Raya (PIR).
Sesudah pemilu 1955, aktivitas Gerwani ditujukan pada pembinaan kader dan masalah-masalah organisasi dan pendidikan. Pada akhir 1957 dicoba membuat metode pendidikan kader yang lebih sistematis untuk sekolah dan kursus di semua tingkat organisasi.
Pendidikan kader ini meliputi empat pelajaran pokok yaitu : Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia, Sejarah Pergerakan Wanita Nasional dan Internasional, masalah organisasi dan pengembangan Gerwani.
Sebagai media untuk memperluas penyebaran ide-ide Gerwani, pada tahun 1955 Gerwani menerbitkan majalah, Wanita Indonesia. Oleh karena kurang begitu maju dan terbitnya tidak teratur, akhirnya pada pertengahan tahun 1956 dihentikan.
Setelah itu diterbitkan “Berita Gerwani” yang peredarannya terbatas hanya 2.000 eksemplar.
Aksi-aksi Gerwani antara tahun 1954-1957 ditekankan pada masalah memperjuangkan hak-hak kaum wanita dan anak-anaknya. Akan tetapi pada saat kampanye pemilu tahun 1955, Gerwani lebih memfokuskan perhatiannya pada adanya Undang-Undang Perkawinan yang dianggapnya paling mendesak.
Pada tanggal 22-27 Desember 1957 Gerwani mengadakan kongres ketiga. Pada kongres ketiga ini dilaporkan anggota Gerwani berjumlah 681.342 orang.
Pada Kongres ini Gerwani membuat 27 program tuntutan antara lain masalah perkawinan, undang-undang perburuhan, emansipasi wanita, pendidikan, pengobatan dan pengontrolan harga-harga kebutuhan pokok.
Dengan program ini Gerwani mengharapkan dapat menarik simpati kaum wanita Indonesia dari klas buruh, petani, sampai klas menengah.
Dari aktivitas tersebut di atas dapat kita simpulkan bahwa daya tarik Gerwani pada massa wanita adalah karena dilontarkannya janji-janji muluk perbaikan status dan nasib wanita di bidang sosial ekonomi, seperti kegiatan arisan, koperasi kredit, saling bantu membantu pada saat-saat tertentu, pemberantasan buta huruf dan membantu problema-problema wanita lainnya.
Peranan Gerwani ini sangat penting bagi PKI terutama dalam hal mempolitikkan masalah-masalah kaum wanita, memobilisasinya untuk mendukung garis politik PKI, mendukung dan membantu ormas PKI lainnya dalam rangka melaksanakan strategi front persatuan PKI.
—DTS—
[1] Sumber : Buku “Komunisme di Indonesia Jilid III: Konsolidasi dan Infiltrasi PKI Tahun 1950-1959, Jakarta: Pusjarah TNI, 1999
[2] Harian Rakjat,14 Desember 1955.
[3] Andjangsono adalah kelompok kecil dari Organisasi Ibu-ibu dengan kegiatan sosial.Mereka ini telah digunakan PKI dan ormasnya khususnya pada saat Pemilu tahun 1955.
Leave a Reply