Strategi Front Persatuan Nasional (1): Usaha-Usaha dan Taktik PKI Menjelang Pemilu Tahun 1955

Strategi Front Persatuan Nasional (1): Usaha-Usaha dan Taktik PKI Menjelang Pemilu Tahun 1955 [1]

 

Sesuai dengan garis strategi barunya, dalam menghadapi Pemilihan Umum yang pertama ini (1955), PKI mengadakan aliansi dengan PNI, juga mendekati partai NU, suatu partai pecahan Masyumi untuk bersama-sama menghadapi Masyumi, musuh utama PKI.

PKI berusaha memanfaatkan persaingan antara PNI dan Partai Masyumi, partai yang besar pada waktu itu dan juga berusaha memanfaatkan kecenderungan-kecenderungan partai atau fraksi yang bersedia bekerjasama dengan PKI dan yang menolak bekerjasama bahkan bersikap anti komunis.

PKI menarik garis siapa lawan dan siapa yang dapat dijadikan kawan untuk sementara waktu.

Dalam rangka mencapai tujuan-tujuan politiknya, langkah pertamanya PKI berusaha mencegah Masyumi dari kemungkinan bekerjasama dengan PNI. PKI menuduh Masyumi sebagai golongan borjuis besar yang melayani kepentingan kapitalis besar luar negeri dan mengemukakan adanya hubungan yang erat antara gerakan Darul Islam dengan Masyumi.

Dengan meningkatnya gerakan-gerakan DI-TII di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Aceh, kedudukan Masyumi sebagai satu-satunya partai Islam yang besar juga mengalami kegoncangan karena diserang oleh PKI maupun PNI. PNI di bawah pimpinan Sidik Djojosukarto lebih cenderung memilih bekerjasama dengan PKI daripada dengan Masyumi.

Alasannya karena PNI menganggap Masyumi sebagai saingan yang paling besar dalam menghadapi Pemilu, dan hanya dengan menggunakan PKI pengaruh Masyumi dapat diminimalkan.

Satu peristiwa yang ikut memperlancar usaha-usaha PKI dalam mengisolasi Masyumi adalah keluarnya Nadhlatul Ulama (NU) dari Masyumi.[2] Selanjutnya NU bersama-sama dengan PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) dan Persatuan Tarbiah Indonesia (Perti) membentuk satu koalisi yang dikenal dengan nama “Liga Muslimin”.

Sesuai dengan garis strategi kanannya, maka PKI pada tanggal 22 April 1952 segera mengeluarkan pernyataan bahwa PKI mendukung kabinet Wilopo.[3]

Dukungan tersebut segera diikuti oleh “tindakan yang nyata” yaitu pimpinan PKI melarang SOBSI melakukan aksi-aksi pemogokan, pada tanggal 30 April 1952. Dengan adanya larangan tersebut, pemogokan-pemogokan yang dilakukan buruh (SOBSI) berakhir.[4]

Untuk menjajagi kemungkinan didirikannya Front Persatuan Nasional, Aidit menugasi Alimin. Alimin kemudian mendekati rekannya sewaktu di SI yang juga pimpinan tertua Masyumi H. Agus Salim untuk bekerjasama, namun H. Agus Salim menolak.

Berbeda dengan Masyumi, Ketua PNI Sidik Djojosukarto menyetujui gagasan PKI tersebut. Sidik Djojosukarto sudah lama tidak mengakui adanya kerjasama PNI dengan Masyumi. Ia sedang berusaha mendapatkan dukungan dari berbagai pihak agar pada kesempatan pembentukan Kabinet berikutnya PNI tidak perlu lagi harus bekerjasama dengan Masyumi.

Sidik Djojosukarto berpendapat bahwa kerjasama dengan PKI lebih menguntungkan terutama dalam menghadapi masa-masa kampanye pemilihan umum. Ia berkeyakinan bahwa dengan dukungan PKI, PNI dapat membentuk kabinet seperti yang dikehendakinya. Dengan demikian PNI dapat bertindak leluasa dalam Parlemen, sebaliknya di pihak PKI dapat dengan leluasa mengorganisasi massa untuk kepentingan partainya.

Dalam rangka program Front Persatuan Nasional, PKI mulai melakukan pendekatan terhadap PNI. Hal ini dimulai pada kesempatan memperingati hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei 1952, PKI beserta 62 organisasi massanya mengajak PNI untuk ikut serta dalam suatu panitia bersama.

Pimpinan PNI menerima ajakan PKI tersebut, dan dibentuklah suatu komite yang beranggotakan 17 orang di mana tiga di antaranya adalah tokoh-­tokoh FDR 1948 seperti Tjugito, Sutanti, Utaryo, sedang dari PNI Sabilal Rasjad.

Komite bersama ini kemudian mengeluarkan satu statement bersama yang isinya antara lain mengharapkan supaya kehidupan demokrasi di terapkan pada setiap lapangan kehidupan, dan mengajak semua rakyat untuk bersatu dalam kerjasama untuk merebut kembali Irian Barat.

Sewaktu diadakan resepsi untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional di Istana Negara, Alimin tokoh tua PKI hadir mewakili partainya. Kehadiran tokoh PKI dalam Istana Presiden ini merupakan yang pertama kalinya setelah peristiwa Madiun.

Presiden Sukarno, pada waktu itu tidak begitu senang dengan peristiwa ini beserta kegiatan-kegiatan PKI lainnya. Rupanya beliau masih trauma oleh peristiwa Madiun, serta marah atas tindakan-tindakan PKI dan ormas-ormasnya yang melancarkan aksi-aksi pemogokan (tahun 1950-1952).

Oleh karena jengkelnya Presiden Sukarno menyerukan kepada Ketua Fraksi PNI di Parlemen Manai Sophiaan untuk memboikot pertemuan antara partai-partai yang ikut serta dalam komite yang dibentuk PKI bersama PNI tersebut.

Kemarahan Presiden Sukarno tersebut tidak menyebabkan gerakan PKI menjadi kendor. Bahkan dalam resepsi Hari Ulang Tahun PKI yang ke 32 pada tanggal 23 Mei 1952 di Gedung Kesenian Jakarta, Aidit menandaskan kembali strategi kanannya.

Ia menganjurkan supaya dibentuk Front Persatuan Nasional yang mencakup segenap kehidupan dan kepartaian di Indonesia. Ia menjanjikan bahwa PKI tidak akan mencampuri urusan intern masing-masing partai yang tergabung dalam front tersebut.

Tokoh tua PKI Alimin dalam Hari Ulang Tahun tersebut ikut berbicara pula, ia meneriakkan slogan-slogan “Hidup Bung Karno, Hidup PKI”,[5] yang diikuti oleh massa yang hadir. Peristiwa itu merupakan awal pendekatan PKI terhadap Presiden Sukarno, Peristiwa ini mempunyai makna yang sangat penting.

PKI mengubah sikap politiknya terhadap Presiden Sukarno. PKI tidak lagi menganggap Presiden Sukarno sebagai antek imperialisme, sebaliknya Wakil Presiden Hatta dan Sjahrir ditempatkan sebagai lawan politiknya, karena mereka dianggap menentang PKI.

Peristiwa yang lain dalam rangka pelaksanaan program Front Persatuan, ialah usaha keras PKI untuk menjadi Panitia Hari-hari Besar Nasional. Upaya PKI sukses, Wakil dari PKI Sumardi terpilih menjadi Ketua Panitia Perayaan 17 Agustus 1952.

Pemilihannya berlangsung di Balai Kota Jakarta Raya pada tanggal 3 Juli 1952.[6] Sebagai wakil ketua terpilih wakil SOBSI, PNI dan wakil Persatuan Marhaen Indonesia (PERMAI) sebagai Sekretaris. Sedangkan Masyumi dan PSI tidak turut ambil bagian dalam panitia tersebut.

Terpilihnya wakil PKI sebagai pimpinan pada kepanitiaan tersebut mendapat reaksi dari organisasi politik dan organisasi massa lainnya. Pada tanggal 16 Juli 1952 Masyumi cabang Jakarta, bersama 15 Organisasi Islam di Jakarta mendirikan pula sebuah panitia perayaan 17 Agustus yang dinamakan “Panitia Pembela Hari Proklamasi”.[7]

Dalam statementnya yang pertama panitia ini menyatakan akan melebarkan dirinya dengan seluruh gerakan-gerakan Islam dan gerakan-gerakan yang non komunis di Jakarta untuk bekerja membela hari Proklamasi menurut isi yang sebenarnya.

Masyumi menilai kepanitiaan yang dibentuk tanggal 3 Juli tersebut sangat bersifat komunistis. Masyumi menuduh PKI hendak memakai perayaan 17 Agustus sebagai kesempatan propaganda politiknya.

Sejalan dengan strategi dan taktik PKI menjelang pemilihan umum, Aidit mengatakan bahwa “kewajiban kaum komunis yang pertama-tama ialah menarik kaum tani ke dalam Front Persatuan Nasional”. Untuk mempengaruhi petani, PKI mengadakan propaganda besar-besaran dengan tema melenyapkan sisa-sisa feodalisme, dan anti tuan tanah.

Kaum tani yang tak bertanah, dan petani miskin, diiming-imingi akan diberi tanah sebagai milik perseorangan mereka, apabila PKI menang dalam pemilihan umum,[8] merupakan propaganda sehari-hari.

Janji-janji muluk PKI kepada petani ini, untuk membujuk agar petani “menusuk” PKI. Propaganda dengan pembagian tanah terutama bagi petani miskin di Jawa sangat menarik, sehingga mereka mau menjadi anggota BTI atau organisasi massa PKI yang lain.

Perluasan keanggotaan partai ini merupakan program yang ditangani secara serius oleh PKI. Aidit berpendapat, PKI harus menjadi partai yang besar, dan banyak anggotanya agar dapat mempengaruhi partai yang lain.

Oleh karena itu dalam Konperensi Partai bulan Mei 1952 diputuskan untuk memperluas keanggotaan partai menjadi 100.000 orang dalam waktu 6 bulan. Pada bulan Maret 1952 anggotanya baru berjumlah 7.910 orang. Hasil propaganda terhadap kaum tani, telah meningkatkan secara spektakuler jumlah anggota PKI.

PKI telah siap menyongsong Pemilu kapanpun akan diselenggarakan.

Landasan utama strategi PKI mendekati petani berdasarkan penafsiran Lenin terhadap Marxisme, mengenai petani. Petani disejajarkan dengan kaum buruh. Petani dianggap sebagai golongan yang dieksploitasi melalui faktor-faktor produksi.

PKI membedakan masyarakat pedesaan menjadi dua bagian yaitu kelas revolusioner dan kelas “reaksioner”.[9]  Yang termasuk kelas revolusioner menurut PKI ialah kaum “intelektual” desa yang terdiri dari guru-guru desa, para pengrajin dan tukang, pedagang kecil, pekerja kantor, buruh perkebunan, buruh industri dan petani.

Sedangkan yang termasuk ke dalam kelas “reaksioner” adalah tuan tanah, lintah darat, tukang ijon, tengkulak, kapitalis birokrat dan petani kaya.[10]

Untuk menarik simpati kelompok pamong desa, PKI berubah mendekati organisasi Persatuan Pamong Desa Indonesia (PPDI) yang dibentuk tahun 1946. Badan Persatuan tersebut berhasil dikuasai tahun 1951.

Selain itu PKI mendapat simpati dari organisasi Marhaenis, yang tergabung dalam organisasi politik “PERMAI”. Organisasi inipun berhasil dikuasai PKI. Sejak tahun 1952 dilaksanakan program tanah untuk petani, melalui taktik “kecil tapi berhasil”.

Salah satu usahanya ialah menghasut para petani supaya mempertahankan atau menguasai tanah milik perkebunan dan hutan reboisasi sebagai tanah garapan,[11] sebagaimana yang terjadi di Tanjung Morawa atau ditempat lain. Pelaksanaan taktik ini dimaksudkan untuk memperoleh simpati dari 28.000 keluarga petani yang menggarap 80.000 hektar tanah perkebunan peninggalan Belanda di Jawa dan sekitar 400.000 hektar di Sumatra.

Oleh karena itu PKI menuntut kepada pemerintah yang hendak menertibkan tanah bekas perkebunan Belanda dan hutan reboisasi melalui pelaksanaan Undang-Undang No. 8 tahun 1954 supaya petani tidak diusir begitu saja dari tanah garapannya, melainkan pemerintah harus memberikan kompensasi dalam bentuk ganti rugi atau menyediakan tanah pengganti.

Pada tahun 1957 dari 5.527.380 orang pemilik tanah sawah, 14 % adalah pemilik tanah seluas antara 1 sampai dengan 20 hektar lebih. Yang 86 % hanya memiliki tanah seluas 0,5 hektar sampai 1 hektar. Begitu pula dengan tanah daratan (lahan kering) keadaannya hampir Sama.

Dari 9.155.367 pemilik tanah jenis tersebut, yang memiliki tanah seluasnya 1 sampai 20 hektar lebih sebanyak 20 %, dan sisanya + 80% pemilik tanah di antara 0,5 sampai dengan 1 hektar.[12] Kesenjangan ini secara rasional dimanfaatkan oleh PKI.

Dalam rapat umum PKI Priangan tahun 1953 di lapangan Tegallega Bandung, DN. Aidit Sekretaris Djenderal CC PKI dalam pidatonya tentang, apa sebab PKI menyokong pemerintah Ali Sastroamidjojo dan program terpenting dari PKI, yang terbagi dalam kupasan-kupasan mengenai soal keamanan Front Persatuan Nasional, masalah kaum tani, DI dan TII.

Mula-mula Aidit menyampaikan penghargaan PKI terhadap perjuangan rakyat Priangan yang dikatakan telah dengan berani dan telah membasmi gerombolan-gerombolan bersama dengan tentara.

Untuk membasmi pemberontak DI/TII, PKI bersedia bekerjasama dengan segala golongan juga anggota Masyumi, anggota PSI. Aidit menerangkan perlunya terbentuk Front Persatuan Nasional, dimana kaum tani harus turut serta untuk membatalkan KMB karena PKI sendirian tidak bisa membatalkannya mengenai kedudukan dan masalah kaum tani, Aidit mengatakan bahwa kaum tani harus dibawa serta dalam revolusi dan harus dikasih tanah oleh revolusi dengan cuma-cuma sebagai milik pribadinya.

PKI juga akan bekerja mati-matian dan bersumpah setia akan menjadi hamba rakyat.[13] Dalam pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo ini pula, PKI dalam rencana programnya mengajukan dua belas tuntutan :

  1. Memberikan kebebasan-kebebasan demokrasi yang seluas-­luasnya kepada rakyat dan organisasi rakyat. Membatalkan semua undang-undang yang membatasi kebebasan gerakan patriotik dan terutama menghapuskan SOB.
  2. Mengadakan pemilihan umum secepat-cepatnya untuk konstituante. Membentuk suatu komisi, dalam mana termasuk kaum komunis dan wakil-wakil semua partai­-partai progresif, untuk membikin rencana konstitusi atas dasar prinsip yang sedemokratis-demokratisnya. Rencana konstitusi ini harus diumumkan untuk didiskusikan seluruh negeri.
  3. Menjamin semua hak dan kebebasan kepada kaum buruh untuk membela kepentingan-kepentingannya yang syah. Membatalkan “undang-undang Tedjasukmana” dan undang-undang lainnya yang melarang kaum buruh mogok. Sokongan bagi kaum penganggur membayar dari kas Negara uang pemilihan kepada kaum buruh dan pegawai-pegawai pemerintah.
  1. Memperbaiki keadaan kaum tani dengan mewajibkan tuan­-tuan tanah menurunkan sewa tanah. Melarang perampasan tanah dari kaum tani yang dulunya milik perkebunan-­perkebunan asing tapi yang sudah lama dikerjakan oleh kaum tani.

Dengan cuma-cuma memberikan dan membagikan tanah kosong kepada kaum tani tak bertanah dan tani miskin. Menghapuskan ordonansi persewaan tanah yang memberikan kekuasaan kepada menteri dalam negeri.

Untuk menentukan jumlah sewa tanah dari tanah kaum tani yang disewa untuk ditanami rosela, gula dan tembakau oleh tuan-tuan perkebunan asing. Sewa tanah harus ditentukan oleh tani dan organisasi tani sendiri dan harus dijamin oleh pemerintah.

Membeli tanah partikelir dengan harga dan cara pembayaran yang ditentukan oleh pemerintah, dan membagi-bagikan tanah, sawah dan ladang dari bekas tanah-tanah partikelir itu kepada kaum tani tak bertanah dan tani miskin.

  1. Menindas membasmi gerombolan-gerombolan Darul Islam dan gerombolan teroris lainnya memberi hak kepada kaum tani untuk angkat senjata membela diri terhadap Darul Islam dan gerombolan teroris lainnya yang mebunuh kaum tani dan yang menghancurkan desa-desa.
  2. Mendemokrasikan dan mengorganisasi alat-alat negara. Memecat dari jabatan-jabatan pemerintah, pengkhianat-­pengkhianat bangsa, orang-orang reaksioner, penggelap-­penggelap dan koruptor-koruptor dan supaya orang-orang ini dihukum.

Mendemokrasikan tentara dan mengadakan hubungan antara tentara dan rakyat. Menyingkirkan dari ketentraman pengkhianat-pengkhianat bangsa, koruptor­-koruptor, pembela-pembela MMB dan elemen-elemen fasis yang menentang Undang-Undang Dasar, menentang azas­-azas demokrasi dari republik dan menghendaki bubarnya parlemen dan berdirinya diktatur militer di negeri kita.

  1. Mendemokrasikan pemerintah desa dan daerah-daerah mengadakan pemeilihan-pemilihan untuk ini. Membatalkan instruksi Sukiman (yang membekukan dewan-dewan desa), yang dikeluarkan oleh pemerintah Hatta dalam bulan September 1948. Menghidupkan kembali dewan-dewan desa.
  2. Meninggikan panenan padi dengan jalan menentukan kewajiban-kewajiban kepada pemilik-pemilik perkebunan dan dengan memberikan bantuan kepada kaum tani.
  3. Mengembalikan gedung-gedung sekolah yang dipakai untuk keperluan lain kepada badan-badan sekolahan, menambah jumlah sekolah dan jumlah gedung-gedung sekolah, menjamin fasilitas-fasilitas di lapangan pendidikan bagi murid-murid dan mahasiswa dan memperbaiki nasib guru.
  4. Melepaskan Indonesia dari Uni Indonesia – Belanda. Mengadakan hubungan diplomatik biasa antara Indonesia dengan belanda atas dasar persamaan yang penuh dan saling menguntungkan. Mempertahankan Irian Barat tetap sebagai daerah RI dan mengirim kembali MMB.
  1. Menolak untuk mengakui perjanjian San Fransisco dengan Jepang. Menuntut kerugian perang yang adil dari Jepang. Memprotes dipersenjatainya kembali Jepang yang membahayakan keamanan Indonesia dan perdamaian di Asia dan Pacifik.
  1. Menjalankan politik perdamaian yang konsekwen. Menentang pemasukan Indonesia ke dalam blok perang dan agresi.

Membatalkan perjanjian MSA dengan Amerika Serikat dan apa yang dinamakan “persetujuan tentang bantuan teknik”. Menolak memberikan pangkalan-pangkalan militer kepada negara-negara lain dan menolak Indonesia ambil bagian dalam tiap-tiap aksi blok agresor.[14]

Dengan pendekatan terhadap petani, PKI memperoleh dukungan dalam menghadapi Pemilihan Umum 1955. Apabila ditambah dengan kerjasama antara PKI dengan PNI, maka PKI dapat leluasa bergerak di pedesaan. Kesempatan tersebut dipergunakan sebaik­baiknya oleh PKI.

Seperti telah kita ketahui bahwa kabinet-kabinet kita selalu gagal dalam melaksanakan program pemilihan umum tersebut, baik Kabinet Natsir, Sukiman, Wilopo maupun Ali Satroamidjojo (I). Baru pada waktu Kabinet Boerhanuddin Harahap, pemilihan umum dapat dilaksanakan.

Kabinet ini dilantik Presiden pada tanggal 12 Agustus 1955. Salah satu Program Pokok dari Kabinet Boerhanuddin Harahap adalah menyelenggarakan Pemilihan Umum. Dengan kesungguhan dari kabinet ini, pemilihan umum untuk pertama kali dalam sejarah RI tersebut dapat terlaksana dengan baik.

Pelaksanaannya dilakukan dua kali, pertama tanggal 29 September 1955 untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat pada waktu itu. Kedua pada tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Konstituante (Badan Pembuat Undang-Undang Dasar).[15]

Untuk dapat mempengaruhi rakyat/masyarakat ini, PKI menjalankan kampanye dengan tiga tema yang menyentuh emosi masyarakat:

  • Pertama, PKI menampakkan dirinya sebagai pembela Pancasila.
  • Kedua, PKI menampilkan figur Presiden Sukarno.
  • Ketiga, menampakkan diri sebagai pembela “kaum tertindas”.

Propaganda yang menyentuh emosi rakyat ialah adanya pernyataan, bahwa satu-satunya calon mereka untuk Presiden adalah Bung Karno, seolah-olah partai lain tidak menghendaki yang demikian.

PKI juga membonceng Pancasila untuk mengelabui massa rakyat dalam Pemilu. Dalam pelbagai kampanye, foto Presiden Sukarno dipajang dan dibuat dalam ukuran besar.

Semua tokoh-tokoh PKI turun untuk berkampanye, seperti D.N. Aidit untuk daerah Yogyakarta, Semarang, Purwokerto dan Palembang; MH. Lukman untuk daerah Banyuwangi dan Surabaya; Njoto untuk daerah Bandung, Subang, Ciamis (daerah Priangan), dan Ir. Sakirman untuk mahasiswa di daerah Yogyakarta.[16]

Sebagai contoh dalam kampanye di Yogyakarta DN. Aidit berpidato yang intinya mencela Kabinet Masyumi. Ia berbicara di atas panggung raksasa, yang dihiasi oleh gambar-gambar para seniman yang tergabung dalam pelukis rakyat, gambar palu arit, gambar raksasa DN. Aidit sendiri bahkan foto ukuran besar Presiden Sukarno, guna menarik perhatian masyarakat.

Hasil kampanye PKI untuk memenangkan Pemilu tahun 1955 ini cukup mengejutkan golongan non komunis dan golongan anti komunis termasuk PNI sendiri. Di bawah pimpinan Aidit, PKI berhasil keluar sebagai partai ke-4 terbesar di samping PNI, Masyumi dan NU.

PKI berhasil mengumpulkan 6 juta suara pemilu.[17] Dengan kemenangannya itu semakin memperkuat kedudukan Aidit, sehingga dalam Kongres Nasional VI PKI pada bulan September 1959, ia terpilih sebagai Ketua CC PKI, yang didampingi oleh MH. Lukman, Njoto, Sudisman, Ir. Sakirman, Njono, B. Oloan Hutapea dan Peris Pardede.

Keberhasilan PKI menjadi partai ke-4 besar dalam Pemilu pertama tersebut adalah juga berkat keuletan PKI dalam usahanya mendekati tiga grup kekuatan yang satu sama lain bersaing mempengaruhi massa tani. Pertama, adalah Lurah beserta pembantu-pembantunya para parnong desa dan golongan tuan tanah.

Kedua, adalah dukun dan guru-­guru mistik, dalang, dan pendekar pencak silat yang terkemuka. Ketiga, pemuda-pemuda desa, mantan pejuang/gerilyawan, mahasiswa yang gagal, guru sekolah, orang-orang berpendidikan yang memberontak terhadap tradisi desa.[18]

Kemenangan PKI merupakan sukses paling menonjol. Mengingat partai tersebut pada bulan Maret 1952 anggotanya hanya sekitar 7910 orang, sedangkan pada bulan September 1955 PKI telah berhasil mengumpulkan suara lebih dari 6 juta orang.

Kemenangan PKI dalam Pemilu ini menyadarkan golongan-golongan non komunis, PNI, NU bahwa kemenangan kaum komunis adalah berkat membonceng “aliansi”PKI dengan PNI dan NU. Sebaliknya pemimpin PKI Aidit cs pun semakin menyadari bahwa luwes dalam pendekatan, tetapi tegak dalam prinsip membuahkan sukses.

Oleh karena itu PKI semakin optimis dapat menyisihkan partai yang lainnya dalam pemilihan umum berikutnya.

Kemenangan PKI pada Pemilu 1955 tersebut menimbulkan kekecewaan pada tiga partai pemenang yang lainnya, baik PNI, Masyumi maupun NU. PNI sebagai pemenang pertama, merasa kecewa karena ditipu oleh PKI melalui kerja sama mereka.

Sejak saat itu para pemimpin PNI menyadari bahwa kerjasama dengan PKI berbahaya, sehingga mereka mulai berpikir untuk kembali menggalang kerjasama dengan Masyumi dan NU tanpa PKI.

Bagi NU sendiri walaupun banyak peningkatan namun tidak terlalu mencengangkan karena partai NU ini sebelum Pemilu juga sudah banyak pendukungnya. Sedangkan Masyumi sebagai pemenang kedua merasa kecewa karena dukungan rakyat kepada PKI meningkat.

Bagi PKI sendiri kemenangannya dalam pemilu tersebut dinilai cukup baik walaupun belum memuaskan. Aidit dengan bangga mengatakan bahwa PKI sebagai salah satu unsur kekuatan nasional sudah tidak dapat disangkal lagi.

Ia mengemukakan bahwa pada akhir tahun 1955 anggota PKI sudah mencapai 1 juta orang. Pendukung PKI yang terbesar berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di pulau Jawa, PKI memperoleh 88 % suara. Sisanya 12 % diperoleh di luar Jawa, terutama dari daerah-daerah di mana terdapat banyak penduduk yang berasal dari Jawa yakni di Sumatra Selatan dan Sumatra Utara.

Pada pasca pemilihan umum, walaupun PKI turut keluar sebagai salah satu pemenang utama, namun PKI tidak diikutsertakan dalam kabinet baru yang dibentuk oleh PNI. PNI yang telah merasa tertipu oleh PKI tidak bersedia mengikutsertakan PKI dalam pemerintah.

Selain itu dari pihak TNI Angkatan Darat yang sejak lama mengamat­-amati perkembangan PKI dengan cemas, berusaha merintangi PKI mendekatkan diri pada kekuasaan.

—DTS—

[1]     Sumber : Buku “Komunisme di Indonesia Jilid III: Konsolidasi dan Infiltrasi PKI Tahun 1950-1959, Jakarta: Pusjarah TNI, 1999

[2]     Sin Po. 1 April 1952.

[3]     Harian Rakjat, 1 Juli 1952; Sin Po, 20 Juni 1952.

[4]     Sin Po, 9 April 1952.

[5]     Sin Po, 26 Mei 1952

[6]     Harian Rakjat, 14 Juli 1952.

[7]     Harian kakjat, 19 Juli 1952

[8]     D.N. Aidit, Djalan ke Demokrasi Rakjat Bagi lndonesia, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1955, hal. 368.

[9]     Arbi Sanit, Kegiatan PKI di Kalangan Petani Jawa Tengah dan Jawa Timurpada tahun 50-an, Majalah Persepsi, Desember 1989, hal 148.

[10]    Aidit, “Pokok-pokok Kesimpulan dari Riset Hubungan Agraria di Jawa”, Harian Rakjat,1 September 1964.

[11] PKI; Tuntutan Untuk Pekerdja Dikalangan Kaum Tani, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1955, hal. 44.

[12]  Arbi Sanit, op, cit., hal. 148 – 149.

[13] Berita lndonesia, 13 Oktober 1953.

[14]    Berita Indonesia, 10 Oktober 1953.

[15]    Indonesia Raja, 9 September 1955.

[16]    Harian Rakjat, 12 September 1955.

[17]    Nugroho Notosusanto (Editor), Terciptanya Komensus Nasional 1966-1969, PN. Balai Pustaka Jakarta, 1985, hal. 1.

[18]    Arbi Sanit Suatu Analisa Mengenai Sumber Kekuatan Politik di Djawa Tengah dan Djawa Timur Tahun 1951-1965, Djakarta, 1969, hal. 189 (Skripsi Sardjana Ilmu Politik Universitas Indonesia)(Naskah tidak terbit).

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.