Situasi Konflik Politik Pasca G30S/PKI (2): Sikap Presiden Sukarno mengenai Penyelesaian Politik

Situasi Konflik Politik Pasca G30S/PKI (2): Sikap Presiden Sukarno mengenai Penyelesaian Politik [1]

 

 

Dalam upaya mengatasi keadaan krisis akibat Peristiwa Kudeta G30S/PKI, sikap dan pendirian Presiden Sukarno dapat kita ikuti dari sejumlah pidato dan komandonya. Pada tanggal 6 Oktober 1965, Presiden Sukarno memanggil sidang paripurna Kabinet Dwikora di Bogor. Pada sidang itu Presiden tidak secara tegas menyalahkan Gerakan 30 September yang didalangi PKI, namun selaku Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi ia menandaskan : mengutuk pembunuhan-pembunuhan buas yang dilakukan oleh petualang-petualang kontra revolusioner dari apa yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September”. Kepada rakyat diingatkan agar tidak membesarkan peristiwa G30S itu sebab menurut Presiden kejadian itu hanya sekedar een rimpeljte in de oceaan (suatu riak kecil pada permukaan sebuah samudra).

Dalam sidang paripurna Kabinet Dwikora di Bogor Presiden Sukarno menegaskan pendiriannya, sebagai berikut :

  1. Mengutuk pembunuhan buas terhadap para perwira Angkatan Darat yang telah diangkat sebagai pahlawan revolusi.
  2. Menyatakan segala duka atas hilangnya pahlawan revolusi tersebut.
  3. Tidak membenarkan pembentukan Dewan Revolusi.
  4. Dibutuhkan suasana tenang dan tertib untuk mengambil tindakan seperlunya terhadap oknum-oknum dan semua pihak yang ikut serta dalam peristiwa 30 September dan untuk mencari penyelesaian.
  5. Di samping itu agar supaya kita jangan kehilangan akal dan tidak tahu apa yang harus kita perbuat untuk melanjutkan dan menyelamatkan revolusi khususnya terhadap ancaman Nekolim yang sudah tentu akan dilaksanakan jika revolusi Indonesia menjadi kacau balau.
  6. Untuk itu Presiden menegaskan agar jangan kita dikemudikan oleh peranan perorangan oleh tindakan – tindakan yang membikin kehidupan bangsa terpecah-pecah membikin Angkatan Bersenjata kita terpecah belah. Ini memang yang dikehendaki dan ditunggu-tunggu oleh Nekolim. Pelajaran dari masa lampau ialah bahwa gontok-gontokan antara kita – selalu diikuti oleh serangan dari pihak Nekolim.

Kemudian, Presiden menyerukan agar ABRI kompak menghadapi masalah yang sudah dekat hidung kita. Para menteri diminta tetap menjalankan tugasnya sehari-hari dan memperkuat ketahanan revolusi. Dalam sidang itu, Laksamana Omar Dhani melaporkan telah menahan sejumlah sukarelawan (sukwan/sukarelawati) di Halim Perdanakusuma yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September.[2]

Njoto, salah seorang pimpinan PKI yang menghadiri sidang paripurna kabinet tersebut, memanfaatkan kesempatan ini untuk mencuci tangan keterlibatan PKI dalam Gerakan 30 September sesuai dengan instruksi D.N. Aidit.

Dari sidang paripurna kabinet itu semakin tersingkap fakta, bahwa PKI adalah dalang G30S. Sementara itu masyarakat yang pernah diteror oleh PKI, melampiaskan kemarahannya dengan aksi-aksi pembakaran dan pengrusakan Gedung Kantor CC PKI di Jalan Kramat Raya Jakarta, rumah-rumah tokoh PKI dan kantornya menjadi sasaran kemarahan rakyat. Aksi corat-coret yang menuntut supaya pimpinan PKI diadili, disusul dengan aksi-aksi menuntut pembubaran PKI, pembersihan semua aparat atau lembaga pemerintah atau negara dari unsur-unsur G30S/PKI

 Dalam situasi yang demikian, Presiden Sukarno masih belum menanggapi tuntutan rakyat itu. Bahkan dalam sidang Konferensi Anti Pangkalan Militer Asing (KIAPMA) bulan Oktober 1965, hadir pula M.H. Lukman. Kehadiran Lukman ini untuk menunjukkan seolah-olah PKI tidak ada sangkut-pautnya dengan Gerakan 30 September. Kehadiran tokoh-tokoh partai PKI ini sesuai dengan garis kebijaksanaan pimpinan partai, yang telah menginstruksikan kepada Comite Daerah Besar agar para kader bekerja seperti biasa.

Untuk penyelesaian G30S/PKI itu, nampaknya pendapat, sikap dan pendirian Presiden Sukarno sejalan dengan gagasan dan saran D.N. Aidit. Hal ini dapat dilihat dari kebijaksanaan Presiden Sukarno yang tidak memperhatikan atau mengabaikan tuntutan rakyat. Pada tanggal 21 Oktober 1965, Presiden mengeluarkan komando yang pada pokoknya agar semua pihak tenang, bersatu, dan menjauhkan diri dari fitnah-fitnah antara sesama kekuatan revolusi untuk dapat menanggulangi Neo Kolonialisme (Nekolim) dengan siasat subversifnya. Dengan demikian ada usaha-usaha Presiden untuk dengan sadar menanggapi peristiwa G30S/PKI.

Sementara itu, dalam menanggapi aksi-aksi massa yang menuntut pembubaran PKI, Presiden Sukarno dalam rapat Panca Tunggal seluruh Indonesia tanggal 23 Oktober 1965 kembali menegaskan : “Nasakom adalah perlu dan mutlak untuk revolusi Indonesia. PKI adalah unsur Nasakom”. Kemudian Presiden Sukarno menyatakan, “di dalam amanat saya terhadap sidang kabinet paripurna Dwikora, dalam wawancara saya dengan wartawan asing dan pidato saya tatkala saya melantik Mayor Jenderal Soeharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat, saya tegaskan bahwa kejadian 30 September adalah “met alles wat er mee samen gaat”, itu ada yang mendahului, ada yang pada saatnya ada yang komtena proloognya. Faktanya 30 September kemudian de nasleep bahwa itu semua adalah boleh dikatakan suatu hal yang biasa, yang normal di dalam revolusi”.

Selanjutnya Presiden berkata, “Kita bukan saja menyembuhkan revolusi ini dari pada semua penyakit. Saudara saya minta tangkap perkataan saya,, “penyakit”, yaitu berarti bahwa saya tidak membenarkan kejadian peristiwa 30 September.

Itu adalah suatu kejadian penyakit. Tetapi dalam amanat saya, saya berkata segala itu sebenarnya adalah yang mengenai 30 September, mengenai yang lain, adalah suatu hal yang dijumpai dalam revolusi. Kemudian seperti yang saya katakan pada waktu melantik Mayor Jenderal Soeharto, peristiwa 30 September sekedar satu goncangan air dalam sungai yang besar yang maha dahsyat turun dari gunung ke samudra raya. Saya pernah memakai perkataan rimpel. Rimpel dalam de oceaan van de revolutie. Rimpel dalam oceaan inilah kadang-kadang lebih besar daripada istana ini. Tetapi vergeleken met de oceaan, maka goncangan itu sebetulnya sekedar satu rimpel (tiak).[3]

Kemudian Presiden menegaskan : “Pendek kata kita harus menjaga revolusi ini, kita harus betul-betul hati-hati. Panca Azimat Revolusi pegang teguh. He, orang-orang Panca Tunggal, Panca Azimat, nomor satu adalah Nasakom, kemudian Pancasila, Trisakti Tavip, Usdek, Manipol”.

Sementara itu beberapa partai politik dan organisasi massa telah melihat gelagat Presiden Sukarno enggan membubarkan PKI, mereka membentuk Komando Aksi Pengganyangan Kontra Revolusioner , pada tanggal 23 Oktober 1965, yang terdiri atas NU, IPKI, Partai Katholik, PSII, dan PNI Osa-Osep serta ormas-ormas anti komunis seperti Muhammadiyah, Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (SOKSI). Kemudian Komando ini berubah menjadi Front Pancasila dan mulai melakukan aksi-aksi menuntut pembubaran PKI serta membantu ABRI di dalam memulihkan keamanan dan ketertiban. Lahirnya Front Pancasila nampaknya mengilhami para mahasiswa untuk menghimpun diri. Pada tanggal 25 Oktober 1965, lahirlah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang diprakarsai oleh Brigjen Sjarif Thayeb, Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu pengetahuan (PTIP).

KAMI kemudian berkembang menjadi pelopor pendobrak tata kehidupan lama ke arah tata kehidupan baru yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Aksi dalam perjuangan spontan ini selanjutnya merangsang berbagai golongan masyarakat untuk bersama-sama berjuang menegakkan tatanan kehidupan baru berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sehingga terbentuklah berbagai kesatuan-kesatuan aksi.

Dalam hubungan ini lahirlah Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), bahkan muncul persatuan tukang becak yang bernama Kesatuan Aksi Buruh Becak Indonesia (KABBI).

Untuk mengalihkan sasaran utama tuntutan rakyat, yaitu pembubaran PKI, Presiden Sukarno selalu menyatakan bahwa musuh utama bangsa Indonesia ialah Neokolonialisme-imperialisme (Nekolim) dan subversif asing. Dalam pertemuannya dengan wakil­-wakil partai politik, PNI, NU, PSII, Perti, IP-KI, Partai Katholik dan partai-partai dan ormas-ormas yang menuntut pembubaran PKI akan ikut dibubarkan bersama PKI.

Dalam pertemuan itu Presiden Sukarno menyampaikan amanat tertulis antara lain mengatakan, “bahwa revolusi kita adalah revolusi kiri. “Kiri karena apa? Pancasila of zichzelf is al kiri. Pancasila itu kiri. Apalagi kalau kita perhatikan dari Pancasila, maka dengan tegas dan jelas saya katakan bahwa revolusi kiri. Tetapi saya melihat sebagai epiloog daripada kejadian 30 September itu. Kalau kita tidak waspada revolusi ini akan bergeser ke kanan. Dan kalau revolusi kita bergeser ke kanan, maka saya berkata itulah mala petaka yang sebesar-besarnya”.[4]

Menanggapi amanat Presiden Sukarno tersebut, pada tanggal 29 Oktober 1965 wakil-wakil partai politik mengeluarkan pernyataan sebagai berikut :

  1. Menyambut dengan rasa penuh tanggungjawab, kepatuhan dan kesetiaan amanat Paduka Yang Mulia (PYM) Presiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno yang disampaikan di dalam sidang musyawarah partai-partai politik pada hari Rabu tanggal 27 Oktober 1965 di istana Jakarta.
  2. Menjadikan amanat tersebut sebagai pegangan dan pedoman kita di dalam membantu PYM Presiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno menyelesaikan peristiwa kontra revolusi Gerakan 30 September, dalam suasana ketenangan dan ketertiban.
  3. Bertekad bulat untuk menghindarkan hal-hal yang dapat memberi kesempatan atau alasan kepada Nekolim untuk memecah belah kesatuan dan persatuan nasional progresif revolusioner serta persatuan antara kami dengan Presiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno dan ABRI.
  4. Tetap bertekad bulat untuk menyelamatkan revolusi nasional Indonesia yang bersendikan Pancasila dan menentang segala usaha dari kontra revolusi dan Nekolim yang berusaha membelokkan haluan revolusi.
  5. Menyerahkan dan mempercayakan sebulat-bulatnya kepada PYM Presiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi/Penyambung lidah rakyat Bung Karno penyelesaian peristiwa kontra revolusi Gerakan 30 September secara menyeluruh sesuai dengan rasa keadilan dan rasa tanggung jawab beliau kepada bangsa, negara dan revolusi terutama kepada Tuhan Yang Esa sekarang dan di hari kemudian.

Pernyataan ini ditandatangani oleh wakil-wakil dari NU, KH. Sjaichu; PNI, Ali Sastroamidjojo SH, IP – KI, Ratu Aminah Hidayat, PSII, Harsono Tjokroaminoto, Parkindo, JTC Simorangkir SH, Partai Katholik, Fe. Palaunsoeka, Perti, Mardjohan.[5]

Untuk mengantisipasi keadaan ini, Presiden Sukarno pada tanggal 6 November 1965 kembali mengadakan sidang Paripurna Kabinet Dwikora di Bogor. Sidang Kabinet tersebut merupakan sidang kabinet paripurna yang kedua sejak meletusnya G30S/PKI. Pada sidang ini dibahas perkembangan situasi terakhir baik di dalam maupun di luar negeri. Sidang ini dihadiri oleh 85 menteri. Para Menteri Koordinator (Menko) dan Menteri yang tidak hadir di antaranya Menko/Wakil Ketua MPRS D.N. Aidit, Menko Hankam/Kasab Jenderal Nasution, Menteri/Ketua DPR-GR Arudji Kartawinata, Menteri Fatah Jasin, Menteri/Panglima Angkatan Udara Omar Dhani, Menteri Brigjen M. Jusuf, Menteri Pardede dan Menteri David Cheng, Menteri Negara M.H. Lukman.

Presiden Sukarno dalam Sidang Paripurna Kabinet tersebut mengulangi seruannya bahwa perlu situasi tenang agar dapat diadakan segera penyelesaian politik. Presiden mengakui bahwa revolusi kita mundur delapan tahun karena kejadian G30S. Karena itu, kita harus menyusun kembali revolusi. Dalam sidang paripurna kabinet itu juga, Presiden menyatakan kepada Menteri Njoto yang merupakan orang ketiga dalam PKI bahwa

“kamulah yang bodoh, yang melaksanakan kejadian terkutuk ini, dan kejadian inilah yang mencemarkan nama komunis. lni adalah penyakit kanak-kanak. Penyakit kanak-kanak ini bukan untuk pertama kalinya dilaksanakan, juga golongan nasionalis pernah juga melaksanakan. Juga golongan agama pernah melaksanakannya dan sekarang golongan kiri melaksanakan untuk kedua kalinya”.

Dalam sidang paripurna kabinet itu, Presiden Sukarno juga menyatakan bahwa peristiwa G30S itu terkutuk, dia juga mencela Dewan Revolusi yang mendemisionerkan Kabinet Dwikora. Selain itu G30S ditunggangi oleh golongan-golongan partai yang mencari keuntungan untuk golongannya, juga oleh Nekolim, serta subversif asing mempergunakan kesempatan ini. Presiden merasa, bahwa peristiwa G30S dipergunakan oleh golongan-golongan itu untuk membelokkan revolusi kita ke kanan. lni lebih berbahaya karena menjadi musuhnya revolusi kita. Kemudian Presiden Sukarno memerintahkan kepada Menteri Penerangan untuk mengambil tindakan terhadap pers yang menyimpang dari garis revolusi.

Pada kesempatan tersebut, Presiden Sukarno sekali lagi menegaskan tentang falsafah negara dan revolusi kita. Revolusi kita adalah kiri, revolusi kerakyatan yang berdasarkan aliran-aliran dan cita-cita rakyat yaitu aliran Nasionalis, Agama, dan Keadilan sosial atau sosialisme. Sosialisme bukanlah komunis at au PIG saja, tetapi sosialisme adalah cita-cita keadilan rakyat, dan sosialisme Indonesia bukanlah terbatas pada komunisme.[6]

Tiga hari setelah pernyataan Presiden dalam sidang paripurna Kabinet Dwikora itu, dimana suhu politik yang semakin memanas, pada tanggal 9 November 1965 Komando Aksi Pengganyangan Kontra Revolusi mengeluarkan pernyataan kebulatan tekad.

  1. Menyatakan setia kepada Bung Karno.
  2. Menuntut pembubaran PKI.
  3. Bersihkan golongan plin-plan.

Pendirian Presiden Sukarno mengenai Nasakom sebagai alat pemersatu bangsa, tetap dipertahankan sampai pasca Gerakan 30 September/PKI, dan dinyatakan dalam pelbagai kesempatan acara kenegaraan.

Dalam peringatan Hari Pahlawan 10 November 1965 di Istana Negara, ia belum menjawab tuntutan partai-partai politik dan organisasi -organisasi masyarakat (parpol/ormas) progresif revolusioner supaya Presiden segera membubarkan PKI serta ormas-ormasnya yang mendalangi peristiwa Gerakan 30 September. Presiden Sukarno hanya mengatakan “saya akan pikirkan hal itu” dan mengatakan bahwa dalam menyelesaikan peristiwa Gerakan 30 September ia tetap akan memegang teguh ide Nasakom.

Ide Nasakom adalah roman muka revolusi Indonesia dan “peristiwa Gerakan 30 September” yang terkutuk itu telah merugikan revolusi Indonesia. “Saya tetap tahu apa yang harus diperbuat atau terhadap orang-orang yang tersangkut Gerakan 30 September ini, tetapi supaya kita awas, jangan sampai bangsa ini terpecah belah.

Di sini ada pengejaran dan yang dikejar-kejar bukannya PKI, tetapi juga yang lain. Revolusi kita adalah revolusi kiri, revolusi Ampera. Lihat bangsa lain kalau kena cobaan, seperti Peristiwa 30 September maka tatkala itu sudah gugur, collapse.

Tetapi bangsa Indonesia tetap tegak, menteles. Bangsa Indonesia tetap kuat tidak remuk redam karenanya. lnilah Presiden yang masih tetap pada kepresidenannya, sekalipun kena epilog G 30 S dan dikacaukan dari luar negeri”.

Akhirnya Presiden memperingatkan, supaya jangan lagi terjadi bacok-bacokan, bakar-bakaran, benci-membenci, seperti yang terjadi setelah peristiwa Gerakan 30 September. Tindakan itu merupakan kontra revolusi.[7]

Pernyataan, peringatan, perintah Presiden tersebut ternyata tidak berhasil menenangkan situasi. Rakyat masih terus menuntut agar Presiden Sukarno mengambil tindakan tegas terhadap tokoh-­tokoh PKI dan membubarkan PKI. Sebaliknya, Presiden Sukarno tetap menolak tuntutan rakyat tersebut. Ia selalu mempertahankan ide Nasakom dan tidak memperhatikan tuntutan-tuntutan yang mendesak agar PKI dibubarkan.

Dalam pidatonya dalam peringatan Isra Mi’raj tanggal 22 November 1965, Presiden Sukarno tetap tidak bersedia mengutuk PKI. Beliau menyatakan, “bahwa Gerakan 30 September yang terkutuk ini adalah suatu self destruction. Kalau kita masih terus gontok-gontokkan dan fitnah-fitnahan hanya menghasilkan keadaan yang mengkhawatirkan. Kalau keadaan Indonesia terus menerus hantam-hantaman satu sama lain, dan terus gontok-gontokkan, maka kita akan hancur. Kita menghancurkan diri sendiri, dan kita juga akan merobek-robek dada kita sendiri.[8]

Dalam situasi yang demikian, Presiden Sukarno masih juga tidak mengindahkan tuntutan rakyat agar PKI diambil tindakan. Presiden selalu mencari-cari alasan, bahwa Nekolim dan antek­a-nteknya yang mendalangi Peristiwa Gerakan 30 September. Sikap Presiden ini dinyatakan dalam pidatonya ketika menutup pendidikan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Udara (Sesko AU) Angkatan II di Istana Bogor pada tanggal 4 Desember 1965. Kepada para perwira-perwira presiden menyatakan bahwa revolusi itu merupakan gelombang yang maha besar, yaitu suatu phenomena yang lahir dari kalbunya bangsa itu sendiri, revolusi punya jiwa sendiri. Revolusi sendiri timbul dari pada aspirasi rakyat yang menghendaki kehidupan yang lebih dalam tata masyarakat yang adil dan makmur.

Menyinggung mengenai masalah Gerakan 30 September, Presiden mengatakan, “bahwa Nekolim bekerja keras menghendaki kita ambruk, dan gontok-gontokkan. Hentikanlah gontok-gontokkan itu, jangan bakar-bakaran.”[9]

Pada sidang Komando Operasi Tertinggi (KOTI) tanggal 17 Desember 1965, Presiden mengemukakan, “aku bukan hanya akan menghukum kepada orang-orang yang langsung tersangkut Gestapu atau Gestok. Tetapi terhadap semua orang yang bertindak di luar hukum dan membelokkan revolusi ke kanan akan diambil tindakan. Kepada orang-orang yang tersangkut Gestapu memang perlu dihukum habis-habisan. Kalau perlu ditembak mati”.

Lebih lanjut dikatakan, “siapa yang sekarang ini berbuat sendiri-sendiri membunuh, menyembelih kepada bangsa sendiri apalagi dengan maksud tertentu, sadar atau tidak sadar adalah suatu tindakan yang retrogresif. Mereka itu akan ditindak tegas. Revolusi dalam situasi sekarang harus dipertahankan jangan membelok ke kanan, baik yang disebabkan usaha-usaha dari pihak luar negeri maupun orang-orang kita di dalam negeri. Seluruh rakyat diminta menjaga sebaik-baiknya supaya revolusi tetap kiri. Jangan membelok ke kanan. Kalau membelok ke kanan ini berarti suatu kemunduran, retrogresif. Kaum Nekolim yang selalu berusaha mengkanan-­kanankan revolusi kita, akan berhadapan dengan saya”[10]

Pada tanggal 24 Desember 1965 dalam sidang terbatas KOTI diputuskan untuk membentuk dua Panitia Ad Hoc. Panitia yang pertama bertugas meneliti keadaan ekonomi dan keuangan, terutama yang menyangkut pengaruh kenaikan harga barang-barang. Panitia yang kedua diberi nama Fact Finding Commission (FFC) bertugas mengumpulkan dari dekat fakta-fakta epilog dari Gerakan 30 September, beserta sebab musababnya. Kemudian mengusulkan tindakan-tindakan kebijaksanaan untuk mengatasi kejadian-kejadian di daerah-daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara[11]

FFC tersebut dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri Dr. Sumarno Sosroatmodjo, yang anggotanya terdiri atas Men/Pangak Inspektur Jenderal Sutjipto Judodihardjo, Menteri Penerangan Achmadi, Menteri Agraria Hermanses, Menteri Negara Oei Tjoe Tat, Ketua Gabungan V/KOTI Brigjen Sunarso, Kilian Sihotang (Parkindo), Chalid Mawardi (NU), dan Zaini Mansur (PNI). Adapun tugas panitia ini adalah menghimpun segala fakta dan keterangan serta bukti-bukti tentang peristiwa G30S dan epilognya.

Hasil panitia pertama tidak ada artinya karena derasnya laju inflasi. Hasil panitia kedua berupa data-data yang diperlukan untuk penyelesaian politik sudah disampaikan kepada Presiden, namun penyelesaian peristiwa Gerakan 30 September masih tetap saja tidak dilakukan. Padahal kesimpulan yang diambil oleh komisi adalah besarnya keinginan rakyat agar Presiden/Pemimpin Besar Revolusi segera membubarkan PKI dan ormas-ormasnya.

Menanggapi situasi politik di tanah air dan terbentuknya FFC, Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu, pada tanggal 31 Desember 1965 mengeluarkan Deklarasi Pendukung Pancasila dan Program Kebulatan Tekad yang menyerukan agar bangsa Indonesia kembali berpegang kepada Pancasila dalam menyelesaikan masalahnya. Deklarasi tersebut sebagai berikut :

a. Setia kepada revolusi Indonesia di bawah pimpinan PBR Sukarno dan tiga kerangka tujuannya :

  • Mengenai kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
  • Masyarakat adil dan makmur artinya sosialisme Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
  • Dunia baru tanpa penderitaan dan penindasan dalam bentuk apapun.

b. Tetap percaya bahwa hanya pengamalan, penghayatan, dan pengamanan Pancasila, Manipol tanpa disertai istilah-istilah/unsur­unsur yang dapat mengaburkan maknanya serta penyelewengan pengertiannya ke arah pengertian ideologi imporlasing akan menjamin tercapainya tujuan revolusi.

c. Tetap mempertahankan kesatuan dan persatuan segala potensi progresif revolusioner yang terkandung dalam bangsa Indonesia sebagai syarat mutlak melaksanakan sosialisme Indonesia secara gotong royong.

d. Tetap yakin bahwa agama adalah unsur mutlak dalam nation dan character building bangsa Indonesia, sehingga kebebasan beragama terjamin, dilindungi, dan dibantu sepenuhnya.

e. Tetap berjalan di atas rel revolusi tanpa menyeleweng, artinya menolak menentang baik imperialisme, neokolonialisme maupun atheisme yang ekstrim kiri.[12]

—DTS—

[1]     Sumber : Buku “Komunisme di Indonesia Jilid V: Penumpasan Pemberontakan PKI dan Sisa-Sisanya (1965-1981), Jakarta: Pusjarah TNI, 1999

[2]    Berita yudha, 7 Oktober1966

[3]    Kompas, 30 oktober 1965, dibandingkan dengan samudra gocangan itu sebetulnyasekedar satu riak.

[4]    Kompas, 27 Oktober 1965

[5]    Kompas, 30 November 1965

[6]    Sinar Harapan, 8 November 1965

[7]    Sinar Harapan, 10 November 1965

[8]    Sinar Harapan, 23 November 1965

[9]    Sinar Harapan, 4 Desember 1965

[10]   Sinar Harapan, 17 Desember 1965

[11]   Sinar Harapan, 24 Desember 1965

[12]   Angkatan Bersenjata, 3 Djanuari 1965

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.