Perebutan Kekusaan Lokal Oleh PKI (5):Peristiwa Cirebon (November 1945-Februari 1946) [1]
Pada tanggal 3 November 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat yang memperbolehkan didirikannya partai-partai politik.Setelah maklumat itu dikeluarkan, lahirlah partai-partai politik baik yang sama sekali baru maupun yang sudah pernah ada pada masa sebelum pendudukan Jepang. Salah satu di antaranya adalah PKI di bawah pimpinan Mr. Mohammad Joesoeph dan Mr. Suprapto yang lahir pada tanggal 7 November 1945.Mr. Mohammad Joesoeph adalah salah seorang bekas pimpinan Gerindo di Bandung pada tahun 1942. Ia tinggal di Cirebon.
Di samping menjalankan profesinya sebagai pengacara (advokat), ia menjabat pula sebagai Ketua Persatuan Supir Indonesia (PERSI). Ia kemudian berkenalan dengan Mr. Suprapto. Hubungan mereka semakin akrab, sehingga keduanya kemudian bergabung dengan PKI bawah tanah. Pada jaman pendudukan Jepang ia memimpin kelompok komunis bawah tanah yang bernama “Djojobojo” yang berpusat di Bandung.
Ketika menjadi salah seorang siswa Asrama Indonesia Merdeka-Jakarta, ia berhasil membentuk sel PKI bersama-sama dengan Mr. Suprapto. Untuk memperoleh simpati rakyat, ia memanfaatkan profesi advokat-nya dengan cara memberikan bantuan hukum bagi rakyat.[2] Ia kemudian tertangkap dan ditahan di rumah tahanan Kempeitai Jakarta. Setelah proklamasi ia dibebaskan. Bersama Ce Mamat, dan Atmadji, mereka berjanji akan membuat gerakan di daerah masing-masing.
Pada tanggal 7 November 1945 kelompok Mohammad Joesoeph memunculkan PIG ke permukaaan secara legal, sekalipun tidak disetujui oleh kelompok lain. Pemunculan PIG ditandai dengan terbentuknya Markas Besar PIG yang berkedudukan di Jakarta. Susunan pengurus Markas Besar PKI adalah sebagai berikut: Ketua, Mr. Mohammad Joesoeph; Sekretaris I, Mr. Suprapto;[3] Sekretaris Il/Bendahara, Mohammad Sain, W. Aryo, Hamid Sutan, E. Cordian, D. Totong dan Mr. Sutan Mohammad Syah; Ketua Badan Pendidikan, Mr. Sutan Mohammad Syah; dan Ketua Pers dan Penyajian, Hamid Parpatih, dengan anggota, Buyung Saleh Puradisastra,[4]dan E. Cordian.
Markas Besar PKI memperluas cabangnya antara lain di Sukabumi, Solo, Pekalongan, Madiun, Malang, Surabaya. Sebagai organ partai diterbitkan majalah Bintang Merah.Pada tanggal 11 Desember 1945 dibentuk Laskar Merah. Selama satu bulan pada bulan Januari 1946, diselenggarakan latihan bersama Laskar Merah dari berbagai daerah di Solo.
Dalam latihan ini para peserta diajarkan keterampilan kemiliteran dan ideologi komunis. Lima hari setelah terbentuk, pimpinan PIG menyusun suatu program perjuangannya, yaitu: pertama, PKI akan terus berjuang untuk mencapai kebebasan organisasi dari kelas buruh dan petani, kedua, PKI akan terus meningkatkan pertentangan kelas, antara kelas petani buruh melawan kelas petani borjuis (pemilik modal), ketiga, menyita dengan segera semua pabrik-pabrik dan perkebunan-perkebunan, keempat, semua tanah harus di tangan petani yang diorganisir ke dalam soviet-soviet yang terdiri dari wakil-wakil rakyat, dan kelima, merasionalisasi semua tanah.
Suasana politik yang tidak stabil, karena terjadi pertentangan antara golongan moderat dengan golongan revolusioner mengenai cara untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan, dimanfaatkan oleh PKI untuk menguasai kondisi sosial politik. Pada kesempatan tersebut orang-orang komunis anak buah Joesoeph menyusun rencana pengambilan kekuasaan daerah. Mereka memilih Cirebon sebagai daerah sasarannya, berdasarkan kesepakatan pertengahan Oktober 1945 bahwa Cirebon dijadikan daerah aksi berikutnya.
Mr. Joesoeph pernah bekerja sebagai pengacara di kota ini dan dalam pekerjaannya sering menimbulkan kesan membela rakyat. Pada setiap acara pertemuan ia selalu memberikan janji-janji muluk, seperti akan membagi-bagi tanah kepada rakyat. Dengan cara tersebut rakyat Cirebon diharapkan dapat menjadi massa potensial guna mendukung rencananya. Selain kondisi sosial-politik yang telah dikuasai, juga janji-janji muluk dipropagandakan, dengan tema pembagian tanah untuk petani. Semua ini merupakan faktor penentu untuk memperoleh simpati dari rakyat Cirebon.
Meskipun demikian untuk melaksanakan suatu pemberontakan mereka menyadari bahwa PKI di Cirebon belum merasa kuat. Oleh karena itu didatangkanlah berbagai kesatuan Laskar Merah dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan dalih menghadiri konferensi agar tidak menimbulkan kecurigaan masyarakat. Pada tanggal 21 Januari 1946 di gedung Laskar Merah Cirebon berlangsung rapat pembentukan barisan penerima tamu yang diketuai oleh M. Ronggo, pemimpin PKI setempat.
Anggota Laskar Merah dari daerah-daerah lain yang dipusatkan di Hotel Reebrinck mulai membuat keonaran. Tingkah laku yang kasar terhadap masyarakat seperti tidak mau membayar makan di warung-warung, minta rokok secara paksa di pabrik rokok BAT, memancing keributan.
Dalam rangka konferensi, diadakan pawai keliling kota. Dalam pawai mereka mengenakan topi putih yang diikat pita merah serta masing-masing membawa berbagai senjata sambil meneriakkan yel-yel Soviet. Mereka juga membawa bendera merah berlambang palu arit yang menjadi identitas PKI. Pawai itu bertujuan untuk mengadakan pamer kekuatan.
Konferensi dihadiri oleh sekitar 3.000 orang. Sementara konferensi berlangsung, aksi-aksi kekerasan Laskar Merah semakin meningkat untuk memancing insiden dengan kelompok lain. Dalam pidato sambutannya Mr. Mohammad Joesoeph, memberikan pujian terhadap Uni Soviet (Rusia) yang telah mendukung revolusi sosial di Indonesia di forum Dewan Keamanan PBB.
Seperti sudah direncanakan, insidenpun pecah. Insiden ini merupakan awal dari gerakan Mohammad Joesoeph. Sebagai sasaran tindakan-tindakan kasar Laskar Merah adalah kesatuan Polisi Tentara. Tiga hari menjelang peringatan Maulud, tepatnya tanggal 12 Februari 1946, PKI memulai aksinya dengan menyebarkan isu bahwa Polisi Tentara telah melucuti anggota Laskar Merah yang datang dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur di Stasiun Cirebon.
Perwira Polisi Tentara Cirebon Letda D. Sudarsono datang ke stasiun menemui seorang bintara jaga untuk memastikan kebenaran isu tersebut. Namun sesampainya di stasiun, ia disambut dengan tembakan-tembakan. la dikepung oleh pasukan Laskar Merah. Beberapa anggota Polisi Tentara ditawan.
Letda D. Sudarsono disandera, kemudian dibawa ke Markas Batalyon 13 Polisi Tentara dengan maksud untuk melakukan tuntutan. Karena gagal menemui pimpinan Polisi Tentara, mereka kembali menuju Markas Polisi Tentara Kabupaten di Hotel Phoenic dan menawannya.
Inilah langkah awal PKI dalam upaya menguasai jajaran pemerintahan setempat. Sebagian besar kekuatan bersenjata di Cirebon dilucuti, anggota tentara mereka tangkap dan dijadikan tawanan. Para tawanan itu dikumpulkan di beberapa bangunan yang dikuasai pemberontak. Hanya dalam waktu tiga hari Laskar Merah telah berhasil menguasai unsur bersenjata di Cirebon.
Pos-pos pertahanan TKR direbut dan Polisi Tentara dilucuti. Tindakan-tindakannya merajalela, melakukan perampasan dan perampokan di toko-toko serta meminta dengan paksa kebutuhan rokok pada pabrik BAT Seluruh kota dikuasai oleh Laskar Merah, dengan menduduki atau mengambil alih gedung-gedung vital seperti stasiun radio, dan pelabuhan. Nyatalah bahwa PKl yang didukung oleh 3.000 Laskar Merah melakukan pemberontakan untuk merebut kekuasaan yang sah di Cirebon. Laskar Merah kemudian bergerak ke arah selatan sampai daerah Beber menuju ke Kuningan.
Laskar Merah terus bergerak ke selatan menuju ke Markas Polisi Tentara di Linggajati. Tetapi markas tersebut telah dikosongkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, mengingat kekuatan senjata Polisi Tentara lebih kecil. Pemberontak kemudian kembali ke Cirebon dengan membawa barang-barang rampasan dari markas tersebut antara lain 20 potong kaos, 3 bal kain putih, yang merupakan barang langka pada saat itu. Setelah terjadinya perebutan kekuasaan oleh PKl dan berhasil menguasai seluruh kota, Panglima Divisi II/Sunan Gunungjati, Kolonel Zainal Asikin Yudadibrata mengirim utusan untuk membawa Residen dr. Moerjani dan Kepala Polisi Karesidenan Sulaiman Jayusman ke Markas Divisi yang berkedudukan di Linggajati.
Setelah berunding dengan residen dan kepala polisi, Kolonel Zainal Asikin Yudadibrata segera mengambil tindakan. la mengirim Mayor Akhmad beserta Kepala Polisi J ayusman, dan Komisaris Sidik untuk menemui Mr. Mohamad Joesoeph di Hotel Reebrinek untuk berunding. Dalam perundingan ini pihak PKl berjanji akan menyerahkan senjata-senjata yang dirampasnya kepada tentara pada esok harinya. Ternyata janji itu tidak mereka tepati, bahkan utusan yang datang di Hotel Reebrinek keesokan harinya, mereka sambut dengan serentetan tembakan.
Akhirnya, karena mengalami kegagalan dalam usahanya berunding dengan Mr. Mohammad Joesoeph, Panglima Divisi II menghubungi Komandan Resimen Cikampek, Letkol Moeffreni guna meminta bantuan pasukan ke Cirebon. Untuk itu Letkol Moeffreni Moekmin mengirimkan pasukan Banteng Taruna yang berkekuatan 600 prajurit di bawah Mayor Banumahdi.24[5]
Di pihak lain, sisa-sisa kekuatan TRI dan Polisi Tentara Cirebon juga telah siap melaksanakan penumpasan. Batalyon 1 pimpinan Mayor Ribut akan bergerak dari Sindanglaut, Batalyon 2 pimpinan Mayor Suyana dari arah Kedung Bunder dan Batalyon 3 pimpinan Mayor Dasuki akan bergerak dari Kosambi. Sasaran pertama serbuan adalah merebut pos-pos pertahanan PKl dan kemudian bergerak menuju markas pemberontakan di Hotel Reebrinck.
Penyerbuan langsung terhadap markas pemberontak dilakukan oleh pasukan gabungan antara TRl, Polisi Tentara dan lain-lain di bawah pimpinan Lettu Machmud Pasya, Mayor Dasuki dan Mayor Suwardi. Sesuai dengan rencana, pasukan TRl bergerak dari berbagai jurusan untuk mengepung kedudukan pemberontak di markasnya. Tembak-menembak antara kedua belah pihak terjadi hanya sebentar.
Melihat pasukan penyerbu jauh lebih besar, pasukan pemberontak menjadi panik. Akhimya mereka memberikan tanda menyerah. Pimpinan pemberontak Mr. Mohammad Joesoeph dan Mr. Suprapto berhasil ditangkap di rumah Mr. Suparman ketika berusaha mencari perlindungan. Sebulan kemudian Mr. Mohammad Joesoeph dan Mr. Suprapto diajukan ke Pengadilan Tentara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. “Sebagai ganjarannya mereka dijatuhi hukuman 4 tahun penjara.
Perebutan kekuasaan di Cirebon dengan menggunakan nama PKl yang dipimpin Mr. Mohammad Joesoeph ini dikutuk oleh pemimpin-pemimpin PKI seperti Sardjono dan Maruto Darusman. Mereka menyatakan tidak bertanggung jawab. Tindakan Mr. Mohamad Joesoeph dianggap lancang, menyimpang dari strategi PKI. Sardjono dan kawannya kemudian membentuk Panitya Pembersihan PKI.Mr. Mohammad Joesoeph dihadapkan ke mahkamah partai yang dihadiri oleh 60 orang tokoh komunis. Semua pembelaan Joesoeph ditolak.
Dari peristiwa Cirebon ini kita melihat dua hal yang menonjol. Pertama adaIah modus operandi yang lain dari gerakan PKI dalam rangka membentuk pemerintahan daerah yang dibebaskan (liberated zone). Yang kedua adalah sikap pimpinan PKI yang menolak dan menyangkal setiap aksi yang dilakukan oleh anggotanya apabila mengalami kegagalan.[6]
[1] Sumber : Buku “Komunisme di Indonesia Jilid I: Perkembangan Gerakan dan Pengkhianatan Komunisme di Indonesia (1913-1948), Jakarta: Pusjarah TNI, 1999
[2] Soeranto Soetanto, Pemberontakan PKI Mr. Moh. Joesoeph Tahun 1946 di Cirebon, Skripsi (sebagai syarat mencapai gelar Sarjana FSUI), 1981, hal 73
[3] Pernah menjadi pembela BTI dalam perkara pembunuhan Pelda Sudjono di Bandar Betsi 1965, terlibat G.30 S/PKI.
[4] Penyair dan Guru Besar Bahasa Indonesia, tokoh Baperki, terlibat G. 30.S/PKI. Terakhir menggunakan nama Saleh Imam Poeradisastra.
[5] Mayor Banumahdi, bekas shodanco Pacitan Oawa Timur) sesudah Proklamasi atas perintah Djokosuyono (anggota PKI bawah tanah kelompok Amir yang berhasil menyusup ke tentara Peta sebagai Cudanco di Madiun), diperbantukan ke front Jakarta (Resimen Moeffeni), dengan senjata lengkap. Pasukan Banumahdi menumpas gerakan PKI Mohammad Joesoeph. karena tidak setuju terhadap kepemimpinan Joesoeph. yang memunculkan PKI sebelum waktunya. Banumahdi akhlrnya terlibat dalam pemberontakan PKI Madiun 1948
[6] Soeranto Soetanto, op cit, hal 73-75.
Leave a Reply