Perebutan Kekusaan Lokal Oleh PKI (4): Peristiwa Bojonegoro (September 1945-1947)

Perebutan Kekusaan Lokal Oleh PKI (4): Peristiwa Bojonegoro (September 1945-1947)[1]

 

Bojonegoro adalah salah satu Karesidenan di pantai utara Jawa Timur yang berbatasan dengan karesidenan Jepara Rembang, Jawa Tengah. Pada tanggal 18 Agustus berita tentang Proklamasi Kemerdekaan telah diterima di Bojonegoro.

Seperti di daerah-daerah lain di Jawa Timur para pejabat karesidenan meragukan kebenaran berita tersebut. Sebaliknya para pemuda dan tokoh pergerakan membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Karesidenan Bojonegoro yang beranggotakan 37 orang sesuai dengan instruksi pemerintah pusat. Pada tanggal 2 September 1945 KNI di kabupaten-­kabupaten mulai dibentuk. Begitu pula KNI di kawedanan-kawedanan dan kecamatan-kecamatan.

Selanjutnya pada tanggal 22 September 1945 KNI Daerah mengadakan pertemuan. KNI Kabupaten Lamongan yang dipelopori oleh Mr. Boedisoesetyo mengajukan mosi yang berisi desakan kepada residen agar daerah Bojonegoro segera diproklamasikan sebagai karesidenan yang menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia. Desakan yang keras ini akhirnya mendapat tanggapan dari R.M.T.A. Soeryo.

Pada pagi hari sekitar pukul 07.00 WIB tanggal 24 September 1945, ratusan pemuda AMRI dan PRI telah membanjiri halaman karesidenan.Mereka mendesak sekali lagi agar residen menandatangani kesanggupan tersebut. Sesudah itu mereka membawa residen ke alun-alun untuk mengumumkan proklamasi sebagai berikut:[2]

PROKLAMASI

Berdasarkan Proklamasi Indonesia Merdeka P.J.M. Soekarno dan P.J.M. Hatta, Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia pada tanggal17 Agustus 1945, maka kami atas nama seluruh rakyat Daerah Karesidenan Bojonegoro dari segala lapisan, pada hari ini : Senen Wage 24 September 1945 meresmikan pernyataan telah berdirinya Pemerintah Republik Indonesia Daerah Karesidenan Bojonegoro, dan terus mengadakan tindakan-tindakan seperlunya.

Kepada seluruh rakyat kami serukan supaya tetap tinggal tenang dan tenteram melakukan kewajibannya masing-masing.

Bojonegoro, 24 September 1945

R.M.T.A. Soeryo

Tindakan berikutnya, di akhir bulan September 1945 KNI Daerah bersidang yang dihadiri seorang anggota KNI Pusat, yaitu Boedi Soetjitro.[3] Sidang tersebut menghasilkan pembentukan pimpinan KNI baru, yang tersusun sebagai berikut : Ketua, Soetardjo; Sekretaris, Abdul Soekiman; Ketua bagian Organisasi, Dr. Dadi; Ketua bagian Usaha, Soedamadi; Ketua bagian Penerangan , Moh. Said; Ketua bagian Khusus, Soemantri (Lamongan) dan Mr. Boedisoesetyo; Pembantu Umum, Koesno dan Soedirman

Sementara itu terjadi pergantian pejabat Residen Bojonegoro R.M.T.A. Soeryo diangkat menjadi Gubernur Jawa Timur pada tanggal 12 Oktober 1945. Pengurus baru KNI dan Angkatan Muda “mendesak” kepada Residen Soeryo agar segera menduduki jabatannya di Surabaya, sekalipun belum mendapat surat keputusan. Kemudian mereka beramai-ramai mengantar residen sampai di perbatasan Karesidenan Bojonegoro. Sebelumnya residen telah menunjuk Utomo, Bupati Bojonegoro, sebagai Wakil Residen. Penunjukan ini tidak disetujui oleh KNI. Akibatnya timbul kekosongan jabatan wakil residen.

Atas persetujuan KNI diangkat Mr. Boedisoesetyo sebagai wakil residen. Pengangkatan ini tetap tidak memuaskan pemuda sebab mereka tidak pernah percaya kepada pamong praja. Seperti di daerah-daerah lain pamong praja dianggap sebagai alat pemerintah fasis Jepang yang tidak jujur. Hampir bersamaan waktunya dengan peristiwa di Tiga Daerah, pemuda-pemuda di Bojonegoro melakukan penggeledahan terhadap rumah-rumah pamong praja mulai dari bupati sampai asisten wedana (camat) dan anggota pemerintahan lainnya. Mereka ingin mengetahui orang­-orang yang tidak jujur, terutama yang tersangkut dalam perkara pembagian bahan makanan kepada rakyat.

KNI yang telah mendapat pengaruh dari Mr. Amir Sjarifuddin melalui utusannya, yaitu Boedi Soetjitro, kemudian memilih sendiri Residen Bojonegoro. Yang dipilih adalah Mr. Hindromartono seorang komunis yang menjabat pula sebagai Ketua Perhimpunan Pegawai Spoor dan Trem (PPST). Pada 1941 ia bergabung dengan kelompok gerakan bawah tanah yakni Gerakan Anti Fasis (Geraf).

Pimpinan Geraf terdiri atas Mr. Amir Sjarifuddin, Pamudji, Sukayat, Armunanto dan Widarta. Kelompok ini direbut kelompok Surabaya. Setelah proklamasi ia bergabung kembali dengan Mr. Amir Sjarifuddin dan Partai Sosialis Indonesia (Parsi) yang didirikan pada 12 November 1945. Ia duduk sebagai anggota DPP. Selain itu ia juga menjadi anggota BP KNIP.

Pada tanggal 17 November 1945 Mr. Hindromartono dilantik secara resmi sebagai Residen Bojonegoro yang baru. Di bawah Residen Hindromartono diadakan perubahan-perubahan radikal. Residen memperkenalkan panggilan yang demokratis untuk forum resmi.

Sebutan “Tuan-Tuan”, diganti dengan “Saudara-saudara”, suatu kata yang waktu itu terdengar aneh dan belum lazim digunakan penghapusan bahasa penghormatan merupakan salah satu obsesi kaum komunis yang ingin menumbangkan sistem kekuasaan dan hirarki birokrasi.[4] Residen kemudian mengambil alih pimpinan KNI. Situasi Bojonegoro masih diliputi pergolakan.

Banyak gedung resmi ditinggalkan oleh pejabatnya. Penggeledahan-penggeledahan terhadap orang-orang yang dicurigai oleh pemuda semakin merajalela.

Untuk mengatasi pergolakan yang makin bertambah luas ini, KNI Daerah Bojonegoro yang diketuai oleh residen sendiri bersama wakil-wakil KNI dari tiga kabupaten mengadakan rapat. Sebagai keputusan rapat diterbitkan Surat Keputusan Residen Bojonegoro tertanggal 15 Desember 1945. Dalam Surat Keputusan tersebut ditetapkan “Peraturan Perubahan Pemerintah Daerah Karesidenan Bojonegoro” atau Peraturan Susunan Pemerintahan. Mengenai pelaksanaannya, disusun pula berbagai peraturan, antara lain “Maklumat Pimpinan Pemerintah Komisarisan Bojonegoro No.1 tertanggal 16 Desember 1945”.[5]

Peraturan-peraturan residen mulai dilaksanakan sejak Februari 1946, adalah mengubah susunan dan cara-cara pemerintahan secara mendesak yang hanya berlaku di seluruh Karesidenan Bojonegoro. Dalam hal ini Residen Hindromartono ingin memberikan kepuasan pada rakyat Bojonegoro, yang sejak permulaan revolusi selalu kurang mempercayai pamong praja.

Hal tersebut merupakan suatu taktik untuk mencari pengakuan rakyat terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaannya. Lebih lanjut ia ingin melepaskan diri dari pemerintahan pusat dan pada akhirnya menuju pada pembentukan pemerintahan komunisme. Dalam mengawali kegiatan pemerintahannya, Mr. Hindromartono melakukan perombakan dengan menciptakan istilah-istilah baru. Sebagai contohnya: Karesidenan diganti menjadi Komisarisan, Residen diganti menjadi Komisaris, Bupati menjadi Kepala Bagian, dan Asisten Wedana menjadi Opsihter.

Peraturan Residen juga memuat pasal-pasal yang bermaksud mengatur jawatan-jawatan dalam Daerah Komisarisan Bojonegoro antara lain “Poetoesan Residen Bojonegoro tertanggal15 Desember 1945”. Semetara itu sebagai peniimpin dari bagian atau jawatan ini diserahkan kepada bupati, wedana dan asisten wedana.

Gubernur Jawa Timur tidak menyetujui perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Mr. Hindromartono. Gubernur menegurnya dan memberi ultimatum kepada Pemerintah Karesidenan Bojonegoro, agar dalam waktu satu bulan semua peraturan dikembalikan seperti semula. Sebagai jawabannya, Residen Bojonegoro menyatakan menolak ultimatum gubernur. Ia membangkang melaksanakan ultimatum, karena komisaris tidak berada di bawah gubernur, bahkan ia tidak mengakui Gubernur Jawa Timur sebagai atasannya. Dalam peristiwa ini Mr. Hindromartono malahan mendapat dukungan dari KNI yang telah dikuasainya.

Usaha Mr. Hindromartono untuk merebut kekuasaan di Bojonegoro ini ternyata mengalami kegagalan. Perubahan nama yang diciptakannya membawa kesulitan ketika mengadakan hubungan dengan instansi lain. Cap (stempel) komisaris Bojonegoro tidak dikenal oleh Kantor Kas Negara dan menolak membayarkan gaji pegawai. Akibatnya timbul kelambatan dalam pembayaran gaji pegawai.

Melihat kenyataan ini, sikap Mr. Hindromartono melunak, dengan menentukan bahwa sebutan “komisaris” tetap berlaku, tetapi untuk hal-hal yang bersifat resmi seperti cap, dan sebagainya, istilah residen dipakai kembali. Mengenai sistem pilihan tetap dilanjutkan. Sebutan bupati, wedana dan asisten wedana dikembalikan pula seperti semula. Kasus Bojonegoro ini dapat dikategorikan sebagai upaya perebutan kekuasaan yang dilakukan dari atas. Karena Mr. Hindromartono telah melakukan penyimpangan dari peraturan yang berlaku, pada akhir tahun 1946 ia diperiksa oleh sebuah tim pemeriksa, yang terdiri atas Menteri Muda Dalam Negeri Wijono, dan Mr. Hamdani dari Kementerian Dalam Negeri untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Akhirnya pada bulan Januari 1947 Mr. Hindromartono dimutasikan ke Kementerian Dalam Negeri. Ia tidak dipersalahkan, bahkan sejak bulan Juli 1947 ia diangkat sebagai Menteri Negara Drusan Kepolisian dalam Kabinet Amir Sjarifuddin I.

Hukuman yang dijatuhkan kepada Mr. Hindromartono yang telah melakukan pengambilalihan pemerintahan dan mendirikan pemerintahan bebas di Bojonegoro, ternyata sangat ringan. Sebabnya ialah sebagian anggota tim pemeriksa adalah orang yang sealiran dengan Mr. Hindromartono. Wijono adalah teman Mr. Hindromartono dalam Partai Sosialis. Mr. Amir Sjarifuddin yang ketika itu menjadi Menteri Pertahanan, juga teman Mr. Hindromartono dalam partai yang sama. Oleh karena itu pendaulatan yang dilakukan dari atas ini merupakan salah satu pelaksanaan strategis serta taktik komunis dalam usahanya menanamkan kekuasaan.

***

[1] Sumber : Buku “Komunisme di Indonesia Jilid I: Perkembangan Gerakan dan Pengkhianatan Komunisme di Indonesia (1913-1948), Jakarta: Pusjarah TNI, 1999

[2] Kementerian Penerangan, Repuhlik Indonesia, Provinsi Djawa Timur, Surabaya, 1953, hal.41-42

[3] Pada tahun 1946 Boedi Soetjitro, (Prof. Mr. Boedi Soetjitro) anggota KNIP dan Partai Sosialis, menu rut Anton E. Lucas, datanK ke Bojonegoro atas perintah Bung Hatta untuk menyaksikan bahwa KNI dan Residen Hindromartono melaksanakan instruksi Hatta. Keterangan ini perlu diragukan, yang paling mungkin adalah utusan Mr. Amir Sjarifuddin atau Syahrir, lillat Anton E. Lucas, op.cite !, haI. 310

[4] Ibid, hal. 190 – 191

[5] Kementerian Penerangan, Republik Indonesia Provinsi Djawa Timur, Op.Cite,hal. 4

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.