Perebutan Kekusaan Lokal Oleh PKI (3): Peristiwa Tiga Daerah (Oktober- Desember 1945)

Perebutan Kekusaan Lokal Oleh PKI (3): Peristiwa Tiga Daerah (OktoberDesember 1945) [1]

 

Di Karesidenan Pekalongan, Jawa Tengah, dari awal Oktober sampai dengan pertengahan Desember tahun 1945 timbul pergolakan dengan tujuan mengganti aparatur pemerintahan lama di tiga kabupaten yaitu Brebes, Pemalang dan Tegal.

Latar belakang peristiwa ini adalah dampak dari masa pendudukan Jepang. Rakyat di daerah ini sangat menderita, akibat berbagai kewajiban, yang harus mereka laksanakan seperti wajib setor padi, pengerahan tenaga romusha,[2] menanam, menjaga dan mencari tanaman wajib Garak, iles-iles untuk kepentingan perang, sedangkan penjatahan bahan pokok (beras, gula, minyak tanah, kain) tidak merata.

Untuk memenuhi kepentingan perang ini, penguasa Jepang menggunakan dan memaksa aparat pemerintahan mulai dari para kepala desa sampai dengan para bupati. Mereka berperan sebagai pengawas jumlah setoran padi dari petani untuk memenuhi jatah setoran yang telah ditetapkan di tingkat kabupaten. Mereka juga harus memenuhi jatah tenaga romusha yang jumlahnya sudah ditentukan pula. Apabila jatah ini tidak terpenuhi, mereka dikenakan sanksi atau hukuman atau dianggap sebagai mata-mata musuh.

Menjelang akhir tahun 1944 Karesidenan Pekalongan dilanda musim kemarau panjang. Akibatnya timbul paceklik (kekurangan bahan pangan). Sebagaimana di daerah-daerah lain rakyat terpaksa makan bekicot, bonggol pisang, dan daun-daun. Akibatnya berjangkit penyakit kurang gizi, sehingga tidak sedikit orang yang mati di pinggir-pinggir jalan karena sakit dan kelaparan. Dalam situasi seperti ini, rakyat menuduh aparatur pemerintah sebagai penyebab terjadinya penderitaan. Perasaan tidak puas dan perasaan benci terhadap aparatur pemerintah mulai berkembang dan akhirnya menimbulkan aksi-aksi revolusioner yang bertujuan menegakkan tatanan baru sebagai jalan keluar untuk mengatasi penderitaan. Kondisi yang demikian ini dipahami benar oleh kelompok komunis bawah tanah. Kelompok inilah yang menjadi penggerak aksi-aksi daulat yang telah memanfaatkannya untuk kepentingan komunis sendiri, yaitu membentuk negara-negara soviet.

Berita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang diterima di daerah ini disambut dengan gembira oleh masyarakat di Karesidenan Pekalongan. Namun para pejabat daerah bersikap ragu-ragu, bahkan ada yang menolak atau meyangkal secara terbuka tentang keabsahan proklamasi kemerdekaan. Berita proklamasi kemerdekaan yang mereka terima secara tiba-tiba melahirkan dilema bagi para pejabat setempat. Sulit untuk menentukan sikap, karena pejabat sipil dan militer Jepang secara de facto masih berkuasa di karesidenan tersebut. Pernah terjadi perdebatan yang sengit mengenai masalah ini antara kelompok pemuda dan pejabat. Bahkan ada seorang bupati menyatakan, bahwa proklamasi belum berarti apabila penguasa Jepang di Karesidenan Pekalongan belum secara resmi menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah republik setempat.[3]

Di sisi lain pembentukan lembaga-Iembaga kenegaraan sebagaimana yang diperintahkan oleh pemerintah pusat dilaksanakan dengan baik. Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Karesidenan Pekalongan terbentuk, yang disusul dengan pembentukan KNI kabupaten dan kotamadya. Peranan KNI adalah membantu pemerintah daerah dalam mengatasi berbagai permasalahan yang mendesak. Di samping itu terbentuk pula Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dipimpin oleh Iskandar Idris, seorang bekas Daidanco Tentara Peta. Pada waktu yang hampir bersamaan, lahir pula badan-badan perjuangan seperti Angkatan Pemuda Indonesia (API), Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) yang keduanya berideologi kiri dan Barisan Pelopor yang telah ada sejak jaman Jepang.

Pada tanggal 5 September 1945 pemerintah pusat di Jakarta mengangkat para bekas wakil residen (fuku syucokan) menjadi Residen Republik Indonesia. Akan tetapi pengangkatan Mr. Besar Mertokusumo sebagai Residen Pekalongan, ditunda karena kesetiaannya terhadap RI masih diragukan. KNID Pekalongan mengusulkan kepada pemerintah pusat agar pengangkatan Mr. Besar sebagai residen segera direalisasi. Usul itu diterima oleh pemerintah. Secara definitif residen baru diangkat pada tanggal 21 September 1945.

Sementara di tingkat karesidenan sedang ditata pemerintahan baru, pada tanggal 8 Oktober 1945 terjadi insiden di Slawi, Tegal Selatan. Seorang kepala desa diarak secara beramai-ramai, dipermalukan di depan umum dan kemudian dipaksa melepaskan jabatannya. Tanggal inilah yang dianggap sebagai awal Peristiwa Tiga Daerah. Peristiwa ini disusul oleh peristiwa yang sama melanda hampir semua kawasan pedesaan di Karesidenan Pekalongan. Gerakan yang dimulai dari desa menjalar ke kota, mula-mula kota kecamatan, kota kawedanan selanjutnya kota kabupaten. Seorang wedana, dan dua orang camat terbunuh. Beberapa kepala desa, pegawai dan polisi ikut jatuh jadi korban. Gelombang aksi massa tersebut melanda ibu kota Kabupaten Pemalang, Tegal dan Brebes. Untuk mencegah meluasnya aksi-aksi teror ini KNI kabupaten dan kota Tegal, mengutus dua orang anggotanya yaitu Maryono dan H. Ikhsan ke Slawi untuk mengadakan pendekatan dengan pimpinan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI).[4]

Dalam pertemuan tersebut Suwignyo (pimpinan AMID) menyatakan bahwa ia ingin mengganti pemerintahan dengan pemerintahan rakyat, dan meminta agar BKR tidak menerima bekas anggota tentara Peta dan heiho karena mereka pernah membantu pemerintah fasis. Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) adalah sebuah organisasi pemuda yang didirikan oleh kader-kader PKI bawah tanah. Suwignyo yang menjadi pimpinannya adalah seorang anggota PKI dan pernah dibuang ke Digul akibat peristiwa PKI 1926. Utusan KNI Tegal ini, oleh Sakirman, salah seorang pimpinan AMRI Slawi, dibawa ke pabrik gula Pagongan. Maryono dan H. Ikhsan ditahan di pabrik gula tersebut. Selanjutnya mereka digiring ke markas AMRI Talang, dan dibunuh oleh Kutil, pimpinan AMRI Talang yang juga seorang lenggaong (Jawara) terkenal dari Talang.

Sejak peristiwa itu, aksi teror AMRI merajalela. Para kepala desa di kecamatan Pangkah banyak yang dibunuh. Oleh karena telah merasa mendapat dukungan dari rakyat, mereka merencanakan menyerbu Tegal untuk mengambil alih kekuasaan. Dalam suatu rapatnya tanggal 3 November 1945 yang dipimpin oleh Sakirman, AMRI memutuskan semua pamong praja harus diperiksa dan diserahkan kepada rakyat untuk diadili, TKR harus dilucuti, dan organisasi Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang merupakan saingan AMRI Slawi harus disingkirkan karena melindungi residen dan pamong praja. Untuk semuanya itu, kota Tegal harus direbut dan diduduki.

Sedangkan dalam rencana merebut kota Tegal telah ditetapkan langkah-langkah, seperti[5] membuat rintangan dijalan-jalan untuk mencegah pamong praja melarikan diri, semua kendaraan dan dokar, harus dihentikan, sedang pengemudi dan penumpangnya ditahan, TKR di Adiwerna, Slawi, Balapulang, harus dilucuti dan ditahan. Para anggotanya ditahan dan senjatanya digunakan untuk melakukan serangan umum ke kota Tegal, dan rakyat harus segera berkumpul di pinggir kota dengan membawa senjata hasil rampasan dari TKR serta siap menunggu perintah lebih lanjut serta sasaran yang diserbu adalah kabupaten, dan asrama Batalyon TKR.

Pada tanggal 4 November 1945, pasukan AMRI yang dipimpin oleh Sakirman telah berada di pinggir kota Tegal,[6] Ketika mereka menyerbu asrama TKR, pertumpahan darah tidak dapat dihindarkan. Hanya barisan penyerbu bersenjata yang ditembak oleh TKR, sehingga jatuh korban. Para penyerbu yang hanya bersenjata bambu runcing dihalau dengan tembakan-tembakan yang tidak diarahkan ke sasaran. Sebagian dari mereka bergerak ke kabupaten untuk mencari bupati. Bupati Sunarjio telah menyelamatkan diri, namun keluarganya dianiaya. Istri, ibu dan cucu bupati dipaksa memakai kain dari karung lalu diarak keliling kota. Beberapa tokoh yang termasuk dalam daftar mereka, ditangkap dan dibawa ke Talang, kemudian dibunuh. Mereka menuntut para pamong praja, termasuk bupati dan residen, supaya diadili.

Pimpinan KNI berupaya mencegah tindakan mereka lebih lanjut. Dalam sidang darurat pimpinan KNI memutuskan untuk meminta kepada Komandan Batalyon TKR agar mengeluarkan pernyataan bahwa TKR bukanlah tentara pembela bupati dan pamong praja. Akhirnya komandan TKR membacakan pernyataan di alun-alun Tegal. Sementara itu Gubernur Jawa Tengah, setelah mendengar laporan mengenai peristiwa Tiga Daerah mengirim utusan yang betindak sebagai wakil untuk menyelesaikan peristiwa tersebut. Yang ditunjuk adalah Sayuti Melik, seorang wartawan dan tokoh pergerakan (pengetik teks proklamasi). Kedatangannya di Pekalongan dan Tegal disambut dingin oleh kelompok AMRI. Ia tidak disukai karena sudah digolongkan sebagai pengikut Tan Malaka. Ia dianggap sebagai orang yang akan menghentikan revolusi. Oleh karena itu pimpinan AMRI Slawi, Suwignyo dan Sakirman sepakat untuk menghalang-halangi dan menghentikan aktivitas Sayuti Melik, dengan cara memblokir semua jalan untuk mencegah Sayuti Melik keluar dari daerah Pekalongan.

Upaya lain untuk mencegah terjadinya teror AMRI datang dari TKR. Komandan Resimen Pekalongan, Kolonel Iskandar Idris, pada tanggal 4 November 1945 beberapa saat sebelum serangan dimulai, pergi ke Markas AMRI Talang untuk menemui Sachyani alias Kutil. Ia didampingi oleh Sayuti Melik dan KH. Basri seorang ulama yang berpengaruh di Tegal. Maksudnya untuk mengadakan pendekatan pribadi dengan Kutil pemimpin AMRI Talang yang terkenal ganas, agar Kutil dan pasukannya tidak melibatkan diri dalam pergolakan. Di tengah perjalanan kendaraan yang mereka tumpangi dicegat dan mereka ditahan. Mereka tidak dibawa ke Talang tapi ke Markas AMRI Slawi dan ditahan di sana. Suwignyo pimpinan AMRI Slawi mengenali Sayuti Melik dan juga anggota rombongannya. Ia meminta agar TKR ditarik ke luar dari wilayah Tiga Daerah. Sebagai sandera, Kolonel Iskandar Idris ditahan di Slawi, tetapi tidak di rumah tahanan.

Akibat peristiwa ini Residen Pekalongan Mr. Besar Mertokusumo diganti dengan Suprapto sebagai pejabat Residen. Demikian pula dengan Bupati Tegal, digantikan oleh KH. Abu Sujai seorang kyai yang amat berpengaruh di Tegal Selatan. Pada tanggal 6 November 1945 Bupati Abu Sujai diperkenalkan di depan massa di alun-alun Tegal. Rakyat setuju dan puas. Untuk sementara pergolakan mereda.

Sejalan dengan perubahan peranan KNI Pusat di Jakarta, sesudah kelompok sosialis memperoleh kemenangan dengan mendirikan Badan Pekerja KNI Pusat (BP KNIP), maka pengaruhnya dirasakan pula di daerah-daerah. Di Tiga Daerah perubahan peranan KNIP ini dinilai sebagai kemenangan kaum sosialis terhadap pengikut fasis. Dan mulailah dibentuk Badan Pekerja (BP) pada KNI Daerah. Kesempatan baik ini tidak disia-siakan oleh sisa-sisa komunis. K. Mijaya diangkat sebagai ketua BP dan Moh. Saleh sebagai sekretarisnya.

K Mijaya adalah seorang tokoh komunis bawah tanah yang sangat berpengalaman. Pada akhir tahun 30-an di Surabaya, K. Mijaya dan Widarta merupakan kelompok kader­-kader komunis yang dipersiapkan untuk melawan fasisme sesuai dengan garis Stalin. Mereka membentuk jaringan di beberapa kota di pantai utara Pulau Jawa. Pada masa pendudukan Jepang, jaringan diperluas antara lain di Lasem, Blitar, dan Pemalang. Meskipun dengan jaringan lokal yang terbatas, mereka berhasil merancang suatu Soviet di Karesidenan Pekalongan.

Razia Kempeitai (Polisi Militer Jepang) pada pertengahan tahun 1944 diJawa Timur dan Jawa Tengah berhasil menghancurkan sel­-sel bawah tanah di beberapa kota. Namun basis gerakan bawah tanah Karesidenan Pekalongan tetap utuh, yaitu di daerah hutan jati Sukowati di Pemalang Selatan, berkat lindungan Holle seorang mantri hutan yang bersimpati kepada komunis. Kelompok bawah tanah lainnya yang aktif di Pemalang, berada di bawah pimpinan Amir, seorang anggota PKI yang pernah dijatuhi hukuman 6 tahun penjara karena terlibat pergolakan PKI 1926.

Di Brebes tindak kekerasan dimulai di Kawedanan Tanjung. Sasarannya adalah orang-orang Cina dan Indo-Belanda. Orang­-orang Indo-Belanda yang menjadi korban ialah mereka yang tinggal di sekitar pabrik gula di kabupaten tersebut toko-toko dan penggilingan padi milik Cina dirampas dan diambil alih. Orang-­orang Indo-Belanda yang pada umumnya adalah teknisi pabrik gula dan dipandang sebagai penduduk asing yang pernah memperoleh kedudukan ekonomi dengan hak-hak istimewa, dibunuh.

Di sisi lain, tindakan itu dimaksud sebagai balasan terhadap teror Belanda terhadap rakyat Jakarta. Puncak kekejaman mereka terjadi pada pertengahan Oktober 1945. Lebih dari seratus orang Indo-Belanda, Ambon, Manado dibunuh di Tegal dan Brebes karena dianggap “pro­ NICA atau “mengkhianati revolusi nasional”. Tiga tokoh terpenting di Brebes yakni bupati, patih dan wedana, diculik. Mereka diangkut ke Tegal dan ditawan di sana selama dua bulan.

Berbeda dengan kota kabupaten lain, di Pemalang pada awalnya keadaan cukup tenang. Oleh karena sampai bulan Oktober 1945 keadaan masih tenang, maka salah seorang anggota gerakan bawah tanah komunis yakni Tan Djiem Kwan, pada pertengahan Oktober 1945 memanggil pulang Amir, seorang tokoh komunis bawah tanah Pemalang. Amir ketika itu berada di Jakarta. Ia diharapkan dapat mengkoordinasi gerakan, maksudnya membuat pergolakan rakyat untuk menentang pamong praja. Amir pulang ke Pemalang tanggal 15 Oktober 1945 bersama Widarta.

Dalam rapat umum di Pemalang yang diselenggarakan oleh Badan Perjuangan pada tanggal 20 Oktober 1945 Supangat yang sebelumnya adalah pemimpin Angkatan Pemuda Indonesia (API), diangkat sebagai bupati. Rapat itu digunakan sebagai tempat propaganda. Supangat berbicara bersama Widarta dan S. Mustapa mengingatkan pentingnya memperkuat serta mengkonsolidasi kekuatan pemuda dan rakyat menghadapi Belanda. Pada kesempatan ini Widarta menjelaskan tentang “kedaulatan rakyat” yang jika dilaksanakan dengan tepat akan mewujudkan kebahagiaan rakyat.

Pada kesempatan ini API diubah menjadi Pemuda Republik Indonesia (PRI) Cabang Pemalang. Widarta yang muncul di Pemalang ini adalah anggota PKI bawah tanah. Ia bersama K. Mijaya dan Bung Kecil merupakan kelompok inti gerakan komunis bawah tanah. Kelompok lainnya di Pemalang berada di bawah pimpinan Amir. Setelah proklamasi, Widarta pergi ke Jakarta untuk bertemu dengan Mr. Amir Sjarifuddin dalam rangka melakukan konsultasi. Sekalipun PKI bawah tanah yang pada masa pendudukan Jepang ruang geraknya sempit, namun sejak bulan Agustus 1945 mereka mulai bergerak. Dalam rapatnya di Sukowati diputuskan membentuk Front Persatuan. Strategi front persatuan inilah yang menjadi pedoman kerja bagi para kadernya, yang dilaksanakan lewat organisasi-organisasi atau badan-badan perjuangan yang telah ada secara bertahap. Tugas para kader harus membentuk kelompok baru. Prakarsa dan pimpinan harus berada di tangan para kader.

Ketika KNI Pemalang dan Tegal tidak aktif lagi, maka K. Mijaya dan kawan-kawannya melaksanakan strategi front persatuan tahap kedua di Karesidenan Pekalongan. Pergolakan dan aksi daulat (yang didalangi oleh PKI) adalah tahap pertama dari strategi Front Persatuan ini. Pada tahap ini para pemimpin PKI bawah tanah mulai muncul ke permukaan tanpa menunjukkan identitasnya. Yang pertama kali muncul adalah K. Mijaya. Pada tahap kedua ia muncul melalui Badan Pekerja KNI (BP KNI).

Tugasnya secara bertahap menguasai jalannya pemerintahan. BP KNI dijadikan alat untuk merebut kekuasaan secara diam-diam (silent coup) dengan mendiktekan kemauannya kepada para pejabat pemerintahan serta menunjuk pejabat-pejabat daerah yang baru. Tahap ketiga adalah membentuk Front Persatuan secara nyata. Hal ini dapat dilihat dari aktivitas K. Mijaya. Ia melaksanakan strategi front persatuannya dengan organisasi yang bernama Gabungan Badan Perjuangan.

Tiga Daerah (GBP3D). Organisasi ini dibentuk pada tanggal 16 November 1945. Tujuan yang tidak diumumkan adalah memperkuat persatuan buruh, tani, dan tentara untuk menuju “masyarakat sosialis”. Tujuan ini sejalan dengan tujuan Partai Sosialis Indonesia (Parsi) yang dipimpin oleh Mr. Amir Sjarifuddin.Tujuan akhirnya adalah merebut kekuasaan pemerintah daerah.

Adapun susunan pimpinan GBP3D meliputi: Ketua, K. Mijaya (pemimpin komunis bawah tanah PKI 1935) dan Sekretaris, Suwignyo (PKI-1926 Digulis), sedangkan untuk masing-masing kabupaten dipimpin oleh Slamet (PKI-1926), Sakirman untuk Tegal dan Pemalang dipimpin oleh Amir (PKI-1926).

Mereka selanjutnya mengadakan rapat-rapat. Rapat yang ketiga diadakan di Brebes pada tanggal 25 November 1945.

Rapat dipimpin oleh K. Mijaya yang dihadiri oleh Moh. Nuh (Ketua Barisan Pelopor, PKI 1926), Widarta, Tan Jiem Kwan, Suwignyo, dan Amir. Dalam rapat ini diambil beberapa keputusan, antara lain: menguasai badan-badan perjuangan kabupaten­-kabupaten untuk kepentingan Tiga Daerah, mendirikan TKR sendiri, dan Mengganti residen Pekalongan, dimana calon residen diputuskan Sardjio, serta AMRI akan membentuk Parsi, Barisan Pelopor akan menjadi anggotanya.

Untuk melaksanakan keputusan rapat tersebut, GBP3D mengajukan ultimatum kepada pemerintah daerah Pekalongan, TKR, Polisi, Barisan Pelopor dan badan-badan perjuangan di kabupaten dan kota Pekalongan, supaya daerah Pekalongan tetap menjadi satu karesidenan yang berfaham dan berideologi satu dengan cara:

  1. Selekas mungkin mengangkat Sardjito dari Purworejo menjadi Residen Pekalongan
  2. Mengganti kepala-kepala pamong praja, kepala-kepala jawatan lain berdasarkan kedaulatan rakyat.

Jika dalam tempo tiga hari terhitung sejak tanggal 5 Desember 1945, GBP3D belum menerima kesediaan dari pemerintahan Kabupaten Pekalongan, maka GBP3D dan “rakyat Pekalongan yang sealiran dengan mereka” akan terpaksa menentukan sikap. Ultimatum ini dibuat di markas AMRI Tegal Selatan tiga hari setelah itu GBP3D menyampaikan surat kepada pejabat Residen Pekalongan, agar segera: menyerahkan pemerintahan Karesidenan Pekalongan kepada “rakyat”, Sardjio diangkat sebagai Residen, pimpinan pemerintahan harus disesuaikan dengan susunan pemerintahan Tiga Daerah, semua pekerja yang bertalian dengan politik, sosial, dan ekonomi, diserahkan kepada staf Tiga Daerah pada tanggal 10 Desember 1945, dan para pamong praja yang telah meletakkan jabatannya dilarang meninggalkan tempat.[7]

Pada tanggal 9 Desember 1945 di Pekalongan terjadi penyerahan kekuasaan kepada staf pengoperan, dan Sardjio diangkat menjadi residen. Pada tanggal 12 Desember 1945, dalam rapat umum diperkenalkanlah Sardjio, seorang anggota PKI bawah tanah kepada rakyat setempat. Suasana politik mengalami perubahan dramatis, ketika K. Mijaya dalam pidatonya mengatakan bahwa pemuda Islam Pekalongan dianggap kurang revolusioner.

Ucapan tersebut dianggap sebagai suatu ancaman terhadap kelompok-kelompok Islam. Dengan dipelopori para pemuda Islam Pekajangan, mereka mengadakan demonstrasi menentang Front Persatuan. Pada tanggal 14 Desember 1945, Residen Sardjio bersama K. Mijaya (Ketua Front Persatuan) serta beberapa stafnya disergap di Pekajangan oleh TKR ketika mereka sedang dalam perjalanan mendatangi kecamatan-kecamatan bagian selatan.

TKR di bawah pimpinan Komandan Resimen XVII, Wadyono semula berpendirian tidak berkeinginan mencampuri urusan pemerintahan karesidenan.Tetapi ternyata kondisi waktu itu mengharuskan TKR segera mengambil sikap. Tindakannya ini diawali oleh kejengkelan para perwira staf kepada Residen Sardjio yang menempatkan para pengawal Tiga Daerah di seluruh karesidenan. Tindakan itu dinilai oleh komandan TKR bahwa Sardjio tidak mempercayai TKR. Kekeruhan ini semakin diperuncing oleh terjadinya penggeledahan terhadap kendaraan yang meninggalkan kota, lebih-Iebih ketika kereta api yang membawa perbekalan untuk front Semarang dihentikan. Pada waktu itu dalam kondisi perang dengan Inggris di Semarang, maka penghentian suplai tersebut menjadi faktor penghambat. Selain itu pada tanggal 17 Desember 1945 terdengar pula berita bahwa pemerintah baru Pekalongan berniat melucuti TKR.

Tiga hari setelah penangkapan residen, reaksi kontra terhadap Tiga Daerah semakin nyata dengan tersiarnya desas-desus adanya serangan dari pihak Tiga Daerah. TKR bersama kalangan Islam di Pekalongan menyusun rencana operasi kontra yang berpedoman lebih baik menyerang dari pada diserang.

Gabungan penyerang tersebut dibagi ke dalam beberapa kelompok dengan strategi memasuki Tiga Daerah dari dua jurusan, di bawah pimpinan perwira TKR bekas Peta, Sugiyono dan Mukhlis. Sugiyono ini adalah bekas shodancho dari Daidan Tegal, sedang Muhlis adalah bekas shodancho Daidan Pekalongan.

TKR menemukan perlawanan hanya di Sragi dan Comal. Dalam hal ini TKR memusatkan operasinya terhadap penangkapan para pemimpin Tiga Daerah dan memasukkan mereka ke dalam penjara. Selain itu dilakukan pula pemeriksaan terhadap pendukungnya, sebelum mereka diijinkan pulang ke rumah masing-masing.

***

[1]  Sumber : Buku “Komunisme di Indonesia Jilid I: Perkembangan Gerakan dan Pengkhianatan Komunisme di Indonesia (1913-1948), Jakarta: Pusjarah TNI, 1999

[2]   Romusha, tenaga kerja paksa yang dikerahkan dari desa-desa. Mereka mendapat sebutan yang indah : prajurit ekonomi.

[3]     Anton E. Lucas, Peristiwa Tiga Daerah, PT. Pustaka Umum Grafiti,Jakarta, 1989, hal. 96

[4]   AMRI, pada Kongres Pemuda I tanggal10 November 1945 di Yogyakarta bersama 6 organisasi pemuda lainnya, Angkatan Pemuda Indonesia (API), Gerakan Pemuda Republik Indonesia (GPRI), Angkatan Muda Kereta Api (AMKA), Angkatan Muda Pos Telegraf Telepon (AMPTT) dan Pemuda Republik Indonesia (PRI) bergabung menjadi Pemuda Sosialis Indonesia (PESINDO).

[5]     Anton E. Lucas, op. cit., hal. 209 – 210

[6]  Sakirman sebetulnya adalah seorang bangsawan dari Yogya yang pernah menjadi pegawai jawatan kesehatan dan ditugaskan di Slawi. Sejak itu ia menjadi seorang yang bersikap radikal.

[7]Anton E. Lucas, op cit, hat. 318

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.