Operasi Terhadap Sisa-Sisa Kekuatan PKI (3): Penumpasan Gerakan PKI Malam Iramani di Purwodadi [1]
Seperti halnya di Jawa Timur, maka Jawa Tengah pun telah digarap oleh sisa-sisa G30S/PKI, untuk dijadikan basis-basis utama untuk perjuangan bersenjata menentang Pemerintah RI. Salah satu daerah di Jawa Tengah yang sudah dipersiapkan secara baik dan kuat oleh PKI adalah daerah-daerah sekitar Purwodadi.
Daerah Purwodadi dipilih oleh PKI sebagai daerah basis karena kondisi sosial ekonomi daerah ini pada waktu itu amat menguntungkan PKI untuk melanjutkan perjuangan. Daerahnya kering dan tandus, sehingga mudah bagi PKI untuk mempengaruhi rakyat desa yang miskin di daerah ini, yang tidak mengenal poltik. Dalam menghadapi gerakan-gerakan ilegal PKI di daerah Purwodadi, Laksus Pangkopkamtib I Peperda Jateng (Kodam VIII Diponegoro), telah melancarkan beberapa operasi seperti : Operasi Kikis I yang berlangsung dari tanggal 4 Juli 1967 sampai dengan akhir tahun 1967.
Dalam operasi ini telah berhasil dihancurkan Tentara Perlawanan Rakyat (TPR) Purwodadi yang meliputi Kecamatan Teroh dan Penawangan. Di samping itu juga dihancurkan penyusunan kekuatan liar di Kecamatan Grobogan Utara oleh seorang ex Kopral KKO Suparman cs. Di daerah itu telah diselenggarakan sekolah-sekolah Perlawanan Rakyat yang terdapat di desa-desa Ngrumpung, Putatsari dan Hutan Lebak. Operasi Kikis II (27 Juni 1968 sampai dengan 7 Juli 1968), telah berhasil membongkar Komando Basis yang terletak di daerah Purwodadi yang meliputi Wirosari, Kuwu, Kradenan, dan Sulursari.[2]
Dalam rangka konsolidasi untuk membangun kembali PKI di daerah Purwodadi, maka sisa-sisa orang PKI yang masih ada berusaha terus dengan melakukan kegiatan-kegiatan dengan menghimpun kembali para bekas tahanan G30S/PKI. Gerakan PKI malam (ilegal) di Purwodadi dimulai setelah Operasi Kikis I dan II yakni pada tahun 1968. Mereka berusaha membangun kembali organisasi baru dalam bentuk lain. Mereka telah berhasil mempengaruhi penduduk setempat yang kebanyakan masih belum mengenal politik dan dalam kehidupan ekonomi yang sulit.
Organisasi baru ini mereka namakan “Pembangunan Tentara Pembebasan Rakyat” (PTPR) yang berpusat di daerah Cepu Utara, di bawah pimpinan Budi Harsono. Namun, pembentukan organisasi baru itu mengalami kegagalan dengan tertangkapnya Buratno. Sisa-sisa PKI yang masih ada kemudian menyingkir ke arah barat dengan membentuk “Comite Pangkalan Kecil” (CPK) di Demak yang dipimpin oleh Mustakim alias Darso alias Saleh, Jupri, dan Rokhayah, bekas anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong (DPR-D-GR) Purwokerto, yang telah berhasil ditangkap di Demak.
Setelah GPK Demak terbentuk, maka Mustakim pindah ke Wonoharjo, Boyolali. Pada bulan Februari 1969, ia pindah lagi ke Purwodadi. Di Purwodadi, sisa-sisa pimpinan mereka yaitu Samsudin alias Iramani, menghubungi kembali bekas tahanan G30S/ PKI. Mereka berhasil membina kembali PKI di daerah Purwodadi, karena daerah ini sangat menguntungkan bagi kegiatan PKI, antara lain adalah sulitnya komunikasi pada waktu itu dan ditambah lagi dengan sulitnya keadaan sosial ekonomi masyarakat desa.
Untuk melindungi agar kerahasiaan kegiatan mereka tetap terjaga, maka para pemimpinnya berkelompok dalam rombongan-rombongan yaitu rombongan Samsudin alias Iramani, rombongan Mustakim dan rombongan Senen. Dari ketiga rombongan ini hanya rombongan Samsudin yang berhasil membina kembali para bekas tahanan G30S/ PKI dan mereka mendirikan pos-pos di beberapa desa. Pos-pos tersebut adalah Pos Welar beranggotakan tujuh orang, Pos Nguter beranggotakan empat orang, Pos Kenteng beranggotakan satu orang, dan Pos Ngemplak beranggotakan dua orang.[3]
Oleh karena adanya gerakan operasi secara terus-menerus dilancarkan oleh ABRI sejak bulan Agustus 1968, maka Samsudin dan kawan-kawannya tinggal di dalam hutan sampai tahun 1969.
Kekuatan mereka pada waktu itu tinggallima orang. Namun pada Bulan April 1969 rombongan Samsudin bertemu kembali dengan rombongan Senen, kemudian mereka berhasil membentuk “Petugas Organisasi Desa” (POD) di desa Ngemplak yang beranggotakan tiga orang dan membentuk pos penghubung di desa Kenteng, Ngemplak, Asem Rudung, dan Sumber Agung.
Sebelum gerakan mereka ini berkembang, terjadi perpecahan diantara mereka mengenai taktik kerja gerakan, yakni kerja legal dan kerja ilegal. Tetapi pada bulan Februari 1970 kedua rombongan ini yakni rombongan Samsudin, Senen, dan Mungkar dengan kelompok .Markum, Dopo, Saman dan Damin telah bergabung kembali di Kemusu (Boyolali). Di Kemusu mereka berhasil membangun kembali organisasi partai yang di mulai dari “Pembentukan Comite Pangkalan Kecil” (CPK) yang membawahi kelompok Gerilya Desa (Gerda) dan Kesatuan Regu Gerilya (KRG). Setelah berhasil di Boyolali, kemudian mereka kembali lagi ke Purwodadi pada bulan Agustus 1971.
Pada bulan Februari 1972 organisasinya disempurnakan menjadi Comite Pangkalan Kecil (CPK) membawahi Pimpinan Daerah Kecamatan (PDK), yang membawahi Petugas Desa (PTD). PTD membawahi Gerilya Desa (Gerda) dan kelompok Tiga Belas. Pada bulan Mei 1972 mereka menyempurnakan organisasinya, yaitu Comite Pangkalan Kecil (CPK) diganti dengan “Comite Pangkalan Mobil” (CPM). Pimpinan Daerah Kecamatan (PDK) diganti dengan Pimpinan Kecamatan (piket). Petugas Desa (PTD) diganti dengan Petugas Organ Desa (POD). Kemudian Kelompok Regu Gerilya (KRG) diganti dengan Prajurit Gerilya (Praga), sedangkan Gerilya Desa (Gerda) diganti dengan Prajurit Desa (Prada).
Dengan organisasi baru ini mereka berhasil menambah jumlah anggotanya, CPM beranggotakan enam orang. Di Purwodadi telah berhasil dibentuk tiga Pimpinan Kecamatan (Piket) yang beranggotakan tiga orang, empat Piket Persiapan, 49 POD, delapan POD Persiapan, Prada 149 orang, Praga 185 orang dan massa 6.009 orang. Jumlah keseluruhan mencapai 6.470 orang.[4]
Di Daerah Boyolali telah berhasil dibentuk sembilan POD dengan 27 orang anggota, Praga 31 orang, Prada 27 orang, dan massa 723 orang. Jumlah pengikut mereka di Boyolali adalan 808 orang. Di Sragen telah terbentuk satu Piket, tiga Piket Persiapan, lima POD, dan satu POD Persiapan, sehingga jumlah anggota keseluruhan 415 orang. Kegiatan Piket ini ditujukan untuk menarik simpati dan sekaligus mengintimidasi rakyat, antara lain dengan :
- Membuat ladang di Hutan.
- Mengadakan Pendidikan.
- Melakukan penyuntikan massa dengan bayaran yang murah Rp 50,- (limapuluh rupiah) untuk dewasa dan Rp 25,(duapuluh lima rupiah) untuk anak-anak dan gratis bagi yang tidak mampu.
- Mengadakan sidang dan diskusi Comite Pangkalan Mobil.
Para bekas tahanan G30S/PKI yang telah berhasil dibina kembali oleh PKI diantaranya bernama Sawiyo alias Ayub dan Parman. Mereka ini kemudian menghubungi kawan-kawannya yang juga bekas tahanan G30S/PKI di dusun Ngrebo, desa Kedungrejo, Kecamatan Purwodadi bernama Sojo bin Kasio, Supardjo dan Suwignyo. Selama berada dalam persembunyian di rumah Sojo, Sawiyo berhasil mendaftar kembali 16 orang anggota. Tanpa disengaja seorang anak Sojo yang masih duduk di sekolah Taman Kanak- Kanak menceritakan kepada gurunya (Nyonya Sumpeni) bahwa Pakdenya punya tembakan. Nyonya Sumpeni kemudian melaporkan cerita tersebut kepada Kepala Desa yakni pada tanggal 23 Nopember 1972.[5]
Dari laporan tersebut maka dapat diketahui adanya gerakan gerakan PKI ilegal yang dipimpin oleh Samsudin alias Iramani di sekitar Purwodadi. Sejak itu pula diadakan operasi teritorial dan operasi intel untuk menggulung kegiatan tersebut. Namun Sawiyo berhasil meloloskan diri. Operasi pengejaran terhadap Sawiyo terus dilakukan dengan melibatkan seluruh aparat desa. Akhirnya Sawiyo berhasil ditangkap di desa Kandangan, Kecamatan Purwodadi di rumah seorang penduduk yang bernama Sumokarsidi. Bersama Sawiyo ditangkap pula empat orang lainnya yakni Ngadimin, Boko, Sudio dan Pardjan.[6]
Dari pengakuan mereka yang tertangkap, maka terbukalah tabir kegiatan PKI malam yang mereka mulai sejak tahun 1968, yakni dengan menghimpun kembali para bekas tahanan G30S/PKI. Mereka melakukan kegiatan-kegiatannya dengan cara menyebarkan para pimpinan PKI malam ke daerah-daerah yang dinilai tetap berpihak kepada PKl. Mereka mendatangi para bekas tahanan G30S/PKI dengan memberikan penjelasan tentang masalah-masalah kesulitan hidup, sulit mencari uang dan selanjutnya mereka diajak untuk meneruskan perjuangan lama yang telah gagal dengan jalan Garis Pendem (bawah tanah) dengan prinsip 3 R yaitu Rapih , Rapet , Rampung.
Paing alias Dulmanan alias Nungker alias Tjokro seorang petani dari dusun Nguter desa Wonoharjo, Kecamatan Kemusu, Boyolali, bekas anggota BTI yang pernah ditahan karena terlibat G30S/PKI, didatangi oleh seorang yang mengaku bernama Mulsarwi yang memberikan penjelasan tentang kesulitan-kesulitan tersebut diatas. Kemudian ia dipertemukan dengan Senen alias Joyo dan kemudian menghimpun “Kawan Lama” di Rejosari (Kuwu), Kenteng, Ngemplak, Sumber Agung dan Ngrudung di daerah Purwodadi. Karena adanya operasi yang dilancarkan oleh ABRI secara terus-menerus, maka mereka menyelamatkan diri ke dalam hutan dangan selalu berpindah-pindah tempat.
Mereka tinggal di hutan Genderuwo selama tiga bulan. Di hutan ini kelompok Senen bertemu dengan Iramani, Warsidi dan kawan- kawannya, sehingga jumlah mereka menjadi 12 orang, antara lain Iramani, Markum, Hardi, Warsidi, Pak Bejo alias Sarip, Joyo, Damin alias Tris, Paing dan Basuki. Di tempat ini mereka mengadakan pembagian tugas, yaitu :
- Melanjutkan hubungan massa, pengembangan massa pindah ke barat (derah Kenteng), karena hubungan massa di timur sulit, dan ikut membantu produksi kaum tani.
- Mereka juga membagi wilayah tugas masing-masing yakni: Tris dan Paing “memelihara” Ngemplak, Markum dan Bejo ditugasi memelihara Asemrundung, Joyo dan Setu memelihara Ngledok dan Sumberagung, Warsidi dan Basuki memelihara Jemblokan sedangkan Iramani bertugas Mobil
Dari hutan Genderuwo mereka pindah ke hutan Mlaken, dan tinggal di hutan ini selama 6 bulan.
Setelah peristiwa Ngrobo, Sawiyo dan kawan-kawannya tertangkap di desa Kandangan, maka gerombolan pindah ke daerah Gundih desa Asemrudung dukuh Saren, Ngledok. Mereka tetap melakukan kegiatan- kegiatan di daerah itu, juga di Kecamatan Gayer. Pada tanggal 13 Desember 1972, Mantri Polisi Gayer Rusman[7] mendapat laporan dari Pamong Desa Karanganyar dan Bangsri bahwa ada gerombolan yang bersembunyi di dukuh Pepe desa Ngrandu. Setelah diadakan penyergapan bersama Muspika setempat, anggota gerombolan tersebut mengaku bernama Sariyo alias Tanto alias Warto alias Darno alias Yadi alias Tomin. Dari yanto inilah kemudian diketahui adanya jaringan kegiatan gerakan Iramani yang menamakan gerakan “Pembangunan PKI Kembali”. Struktur organisasinya disusun sebagai berikut :
a. Dewan Harian Comite Pangkalan Mobil (CPM),di bagi menjadi tiga bagian yaitu :
- Bagian Politik, diketuai oleh Samsudin alias Achmadi alias Sutiyo alias Samidi alias Iramani alias Djokolelono alias Margono.
- Bagian Organisasi, diketuai oleh Mustakim alias Saridjo alias Jadi alias Tamin alias Tanto alias Warto.
- Bagian Perjuangan Bersenjata (Perjuta), diketuai oleh Samsudin alias Iramani.
b. Pleno, Comite Pangkalan Mobil (CPM)
- Samsudin alias Iramani, Mustakim alia
c. Pimpinan Keeamatan Gundih (Piket Guno)
- Bagian Organisasi : Paing alias Dul.
- Bagian Agitprop : Sastro Sadi alias Gozali.
- Bagian Perjuta : Samad alias Kancil.
d. Pimpinan Kecamatan Pojok (Piket Parjo)
- Bagian Organisasi : Senen alias Joyo.
- Bagian Agitprop : Sarip alias Salam.
- Bagian Perjuta : Markam alias Kiwanto alias Supeno.
e. Pimpinan Kecamatan Purwodadi (Piket Purwo)
- Bagian Organisasi : Damin alias Tris.
- Bagian Agitprop : Sawiyo alias Ayub.
- Bagian Perjuta : Damin alias Tris.
f. Prajurit Gerilya (Praga) berkekuatan satu regu, terdiri atas :
- Komandan Regu Praga
- Wakil Komandan Regu
- Komisaris Politik
- Anggota Regu
g. Koordinator (KDT), bertugas membentuk Pimpinan Desa (PD) yang diawasi langsung oleh CPM, telah terbentuk 3 KDT
h. Koordinasi Daerah (KDT) bertugas mengkoordinasikan diskusi dan laporan.
i. Petugas Organisasi Desa (POD) Di Purwodadi clan Boyolali telah terbentuk 42 POD yang tersebar di beberapa Kecamatan.[8]
Setelah Tanto tertangkap, maka sisa-sisa gerombolan yang masih ada menuju Grapyak, Gentasgeneng. Di daerah itu telah berkumpul 31 orang. Dalam suatu rapat yang dipimpin oleh Iramani, antara lain diputuskan agar buku-buku supaya di kumpulkan dan dititipkan kepada massa, meneruskan garis mundur ke hutan Jatibagus Cacingan dan mencari hutan untuk ditempati, agar senjata tetap disimpan tanpa jejak dan gerombolan agar tetap berhubungan dengan massa. Kepada anggota yang tertangkap dianjurkan agar tidak membuka rahasia partai. Gerombolan tersebut berada di Getasgeneng selama satu bulan.
Gerombolan selalu berpindah dari hutan satu ke hutan lain untuk menghindari pengintaian petugas. Dari hutan Jatibagus, mereka mundur ke Wonoharjo, dan pindah ke hutan Bubat di Kedungjati. Karena persembunyian mereka diketahui oleh polisi hutan, mereka pindah lagi ke hutan Prahu. Dari hut an ini Markam ditugasi untuk mengadakan hubungan dengan massa, tetapi Markam tertangkap.
Pada tanggal 24 Maret 1973, seorang warga desa bernama Suti melaporkan kepada Rukun Keluarga setempat bahwa ada gerombolan-gerombolan yang berada di dalam hutan. Laporan ini sesuai dengan informasi yang diperoleh dari Markam yang berhasil ditangkap bahwa gerombolan Iramani akan bergerak menuju ke arah barat melewati dusun Ngasem desa Monggot, Kecamatan Geyer.[9]
Setelah menerima informasi tersebut, Lurah Monggot segera melakukan persiapan agar gerombolan tersebut tidak lolos. Lurah Monggot mengerahkan rakyat desa dan Wanra agar bersiap-siap melakukan penghadangan terhadap gerombolan. Pada waktu gerombolan ini tiba di desa Ngasem, mereka telah di kepung oleh rakyat. Dengan bersenjata pentungan dan senter, pada pukul 04.00 dini hari rakyat mulai mengepung gerombolan yang melewati jalan setapak dan menyeberang ke sebelah barat jurang dan hutan jati.
Mereka lari kocar-kacir tetapi rakyat terus mengejar dengan membawa pentungan. Terjadilah perkelahian antara rakyat dengan gerombolan. Dalam penghadangan ini banyak anggota gerombolan yang tertangkap. Gerombolan yang berhasil lolos terus dikejar oleh rakyat. Dalam keadaan lemah dan lapar mereka meminta-minta makanan pada rakyat desa dan akhirnya mereka pun menyerah. Dalam penghadangan ini Iramani beserta tujuh anggota gerombolan bernama Krido, Sogol, Kromoparjan, Slamet Tanti, Asih, Sarip, Satipto alias Saman berhasil lolos ke desa Bubak.
Pada pengejaran itu telah berhasil ditangkap sejumlah 30 orang dan kemudian diserahkan kepada Komandan Distrik Militer Purwodadi untuk diusut lebih lanjut. Akhirnya gerombolan PKI Malam Iramani ini berhasil ditumpas oleh massa rakyat kabupaten Purwodadi sekitar bulan Maret 1973.
—DTS—
[1] Sumber : Buku “Komunisme di Indonesia Jilid V: Penumpasan Pemberontakan PKI dan Sisa-Sisanya (1965-1981), Jakarta: Pusjarah TNI, 1999
[2] Komando OperasiPemulihan Keamanan dan Ketertiban “Laporan Kopkamtib kepada sidang Kabinet Paripurna RI tentang ‘Persoalan Purwodadi’ , tanggal 20 Maret 1969 (dokumen)”.
[3] Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah Jateng dan DIY, “Tentang Hasil Ops Intel/Ops Teritorial terhadap Gerakan PIG d.egal d, Purwodad, tahun 1972/1973” (dokumen)
[4] Komanclo Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah]ateng clan DI, “Bcrita Acara Pemeriksaan terhaclap Paing alias Mungkar, 1973, Somat alias Kanci11973” (dokumen).
[5] Wawancara dengan Ibu Sumpeni, bekas guru TK dusun Ngrebo pada tanggal 23 Juli 1991 di dusun Ngrebo desa Kedungrejo, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purwodadi.
[6] Wawancara dengan Bapak Suwadi, bekas Lurah Kedungrejo, pada tangga123 Juli 1991 di dusun Ngrebo desa Kedungrejo, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purwodadi
[7] Wawancara dengan Bapak Rusman, bekas Camat Geyer, pada tanggal 22 Juli 1991 di Kabupaten Purwodadi
[8] Wawancara dengan Bapak Ruswadi, Sekwilkam Kecamatan Geyer, pada tanggal 23 Juli 1991 di Kecamatan Geyer Gundih, Purwodadi
[9] Ibid
Leave a Reply