Pemberontakan PKI 1926/1927

Pemberontakan PKI 1926/1927[1]

Sejak 1924, yaitu pada kongres PKI di Kotagede Yogyakarta, berlangsung alih kepemimpihan partai dari pasangan Alimin-Musso kepada Aliarcham dan Sardjono. Hal ini terjadi, karena pimpinan yang lebih senior tidak bersedia memimpin PKI. Berbagai aksi pemogokan yang dilancarkan atas komando partai mengalami kegagalan, sehingga pada tahun 1924 Pemerintah Hindia Belanda memperketat pengawasan dan mempersempit ruang gerak para tokoh partai serta aktivitasnya.

Pada tahun 1925 Darsono diusir ke luar Indonesia, Aliarcham dibuang ke Digul, sedang Musso, Alimin dan Tan Malaka terpaksa menyingkir ke luar negeri. Sardjono bersama-sama dengan para pemimpin PKI yang masih bebas, seperti Budisutjitro, Sugono, Suprodjo, Marco dan lainnya pada tanggal 25 Desember 1925 mengadakan rapat di Prambanan untuk membahas situasi terakhir yang semakin mengancam keberadaan PKI. Rapat memutuskan mengadakan pemberontakan untuk menegakkan Negara Soviet Indonesia. Pemberontakan akan dimulai pada tanggal 18 Juni 1926.

Sekalipun Pemerintah Hindia Belanda tidak mencium rencana tersebut, pada bulan Januari 1926 pemerintah mencoba menangkap Musso, Budisutjitro dan Sugono. Namun sebelum ditangkap tokoh-tokoh PKI itu berhasil melarikan diri ke Singapura. Di Singapura telah berkumpul beberapa tokoh PKI lain, yaitu Alimin, Subakat, Sanusi, dan Winanta. Alimin bersama tokoh-tokoh lain yang baru datang dari Indonesia, membicarakan keputusan Prambanan. Hasil pembicaraan itu tidak pernah dijelaskan. Mereka memutuskan mengutus Alimin menemui Tan Malaka di Manila. Pada bulan Pebruari 1926 Tan Malaka sudah menyampaikan pendapatnya secara konkrit menentang keputusan Prambanan yang akan dilaksanakan pada 18 Juni 1926.

Menurut Tan Malaka keputusan Prambanan adalah suatu keputusan yang sudah terlanjur, dan bertentangan dengan aturan Komintern.[2] Karena itu harus diganti dengan massa aksi yang terus menerus, pemogokan dan demonstrasi yang tak putus-putus. Tahap selanjutnya adalah merebut kekuasaan. Dalam merencanakan suatu pemberontakan, Tan Malaka memiliki konsep yang matang. Dalam brosurnya “Menudju Republik Indonesia” (Naar Republiek Indonesia) yang ditulis pada 1924 ia memberikan berbagai petunjuk mengenai taktik dan strategi revolusi yang antara lain:

“Jika kita pelajari tempat mana yang sangat menguntungkan bagi kita untuk digempur, maka pilihan kita akan jatuh pada lembah Bengawan Solo. Memang di sini mempunyai harapan besar dapat merampas kekuasaan ekonomi dan politik dan bertahan dari pada di Batavia dan di Priangan. Di lembah Bengawan Solo bertimbun-timbun buruh industri dan petani melarat yang akan mewujudkan tenaga-tenaga, bukan saja untuk perampasan akan tetapi juga syarat-syarat teknis dan ekonomi mempertahankan perampasan itu. Di Batavia atau Priangan kemenangan politik atau militer akan sukar didapat dan dipertahankan (dari pada di lembah Bengawan Solo) karena sangat sedikit faktor-faktor teknis dan ekonomis yang tersedia di sana. Kemenangan politik dan militer yang modern hanya dipertahankan jika kita memiliki syarat-syarat kekuasaan ekonomi. Bahkan kita nanti harus mengerahkan induk pasukan kita ke lembah Bengawan Solo, agar offensif revolusioner dapat menentukan strategi seluruhnya”. [3]

Selanjutnya Tan Malaka mengingatkan bahwa seluruh rakyat belum berada di bawah PKl, situasi revolusioner perlu dikembangkan, dan anggota PKl belum cukup berdisiplin. Begitu pula tuntutan yang konkrit belum dirumuskan.

Penolakan Tan Malaka dibicarakan kembali oleh Alimin bersama pimpinan PKI yang berada di Singapura. Akhirnya diputuskan untuk menolak thesis Tan Malaka.Alimin clan Musso diutus ke Moskow pada bulan Maret 1926. Pada bulan Maret 1926 Tan Malaka menerima pemberitahuan dari Alimin, bahwa thesisnya ditolak oleh partai. Sekali lagi Tan Malaka meminta pimpinan partai untuk mendiskusikan keputusan Prambanan tersebut.

Diskusi antara Tan Malaka, Subakat dan Suprodjo menghasilkan kesepakatan membatalkan keputusan itu. Hasil kesepakatan diskusi disampaikan oleh Suprodjo kepada Sardjono tetapi ditolak. Sardjono tetap pada pendiriannya, revolusi tetap akan dilaksanakan.

Ketika keputusan Prambanan sedang didiskusikan oleh Tan Malaka di Singapura, Alimin dan Musso telah tiba di Moskow. Mereka menyampaikan rencana revolusi di Indonesia. Rencana itu didukung oleh Trostsky, tetapi ditolak oleh Stalin. Oleh karena itu Alimin dan Musso ditahan selama 3 bulan untuk direindoktrinasi tentang teori perjuangan revolusioner.

Stalin memutuskan melarang rencana pemberontakan diteruskan.Alimin dan Masso ditugasi membawa keputusan ini ke Indonesia. Musso menolak keputusan Stalin dan akan tetap melaksanakan pemberontakan. Sebelum Alimin dan Musso tiba di Indonesia pergolakan sudah meletus. Perintah untuk memulai pemberontakan disampaikan seminggu sebelumnya oleh pimpinan PKI. Perintah-perintah disampaikan lewat juru propaganda yang berjalan keliling.[4]

Sementara itu diJawa pemberontakan dimulai secara serentak di berbagai tempat sejak tanggal 12 November 1926. Di Jakarta, Jatinegara, dan Tangerang pemberontakan berlangsung dari tanggal 12-14 November, sedang di Karesidenan Banten berlangsung dari tanggal 12 November sampai 5 Desember 1926, seperti di Labuhan, Menes, Caringin, dan Pandeglang. Di kabupaten Bandung berlangsung dari 12-18 November 1926 yakni di Rancaekek, Cimahi, Padalarang, dan Nagrek. Di Priangan Timur pemberontakan terjadi di Ciamis, Tasikmalaya.

Di Karesidenan Surakarta, khususnya di Kabupaten Boyolali pemberontakan terjadi pada tanggal 17 November sampai 23 November.Di daerah Kediri berlangsung dari 12 November – 15 Desember.Pemberontakan meluas ke Banyumas, Pekalongan dan Kedu. Di Sumatera Barat pemberontakan dimulai pada awal Januari 1927 di Sawahlunto, Silungkang, Solok, Kota Lawas, Pariaman, Painan, dan Lubuk Sikaping, dan berlangsung sampai akhir Februari 1927.

Ketika berita tentang pemberontakan di Jawa diterima oleh Komintern, di luar dugaan Komintern memberikan dukungannya dan menganjurkan kepada kaum komunis sedunia untuk membantu PKI. Dukungan tersebut dikemukakan pada pernyataan, “Komintern menyambut baik, perjuangan revolusioner rakyat Indonesia dan memberikan dukungan penuh”. Namun pelaksanaan pemberontakan PKI ini kurang terkoordinasi, sehingga mengalami kegagalan. Akibatnya pengawasan Pemerintah Hindia Belanda terhadap aktivitas politik pergerakan nasional sangat diperketat serta berpengaruh terhadap nasib para pemimpin PKI yang berada di luar negeri.

Pada bulan Desember 1926 Semaun dalam kondisi panik dan frustasi datang kepada Hatta, Ketua Perhimpunan Indonesia (PI) di negeri Belanda. Keduanya sepakat untuk mengatasi ketimpangan yang terjadi pada pergerakan dan kemudian menyusun suatu konvensi bersama yang memuat pernyataan: PI harus mengambil alih dan bertanggung jawab penuh atas gerakan rakyat Indonesia, PKI harus mengakui pimpinan SI, dan percetakan yang di bawah pengawasan PKI harus diserahkan kepada PI.[5]

Sikap menyerah Semaun kepada Hatta, oleh Komintern, dalam hal ini Komite Eksekutif (EKKI), dinilai sebagai kesalahan besar. Tindakannya dipandang sebagai likuidasi PKI. Konvensi ini dibatalkan setahun kemudian (Desember 1927). Nasib Semaun kemudian ditentukan oleh Mahkamah yang dibentuk oleh EKKI. Ia dijatuhi hukuman dibuang ke Asia Tengah. Demikian pula dengan nasib kawan-kawannya. Musso direedukasi: diharuskan masuk sekolah partai di Moskow, sedangkan Alimin dijadikan petugas Komintern yang harus mengembara dari negara ke negara dan kemudian ditempatkan di Cina. Darsono diharuskan “bertobat” mengakui segala kesalahannya kepada pemimpin tertingginya, Stalin. Selanjutnya ia dibuang dan hidup terlunta-lunta di Jerman dan negeri Belanda.

Kegagalan pemberontakan yang dirancang dan dilaksanakan oleh PKI pada 1926/1927 ini mempunyai dampak yang merugikan bagi perjuangan pergerakan nasional. Pengawasan terhadap semua aktivitas partai-partai politik lebih diperketat. Ruang gerak para pemimpin nasionalis dipersempit, baik melalui undang-undang maupun melalui pengawasan. Nasib perjuangan pergerakan kemerdekaan nasional mengalami masa yang paling suram. Di sini kita melihat bahwa PKI hanya berjuang untuk mencapai tujuan politiknya yaitu merebut kekuasaan untuk mendirikan pemerintahan komunis. Agitasi dan slogan-slogan revolusi yang menyesatkan dan menipu, menelan korban ribuan putra-putra Indonesia yang masih buta politik.[6]

[1]        Sumber : Buku “Komunisme di Indonesia Jilid I: Perkembangan Gerakan dan Pengkhianatan Komunisme di Indonesia (1913-1948), Jakarta: Pusjarah TNI, 1999

[2]     Komintern Asia Tenggara, ditugasi oleh Komintern untuk mengawasi partai komunis di Indonesia.

[3]     Filipina, Birma (Myanmar), Malaka, Indo China, agar tidak menyimpang dari aturan dasar Komintem Tan Malaka, Menuju Republik lndonesia, Pustaka sinar Harapan, Jakarta, 1924, hal 49

[4]     AK. Pringgodigdo SH., op. cit, hal. 32 – 33

[5].    Badan Koordinasi bantuan pemantapan Stabilitas Nasional, Sekretariat Bidang VI, “Bahaya Ekstrim Kiri”. manuskrip, tanpa tahun, haI 41-43.

[6]     Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Pemberontakan G30 S/PKI dan Penumpasannya, Bandung, Disjarah AD, nal, 35-39

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.