Masalah Terbunuhnya Anggota PKI

Masalah Terbunuhnya Anggota PKI

 

Oleh: Abdul Rohman

Setelah gagal membuktikan PKI tidak terlibat sebagai perencana dan eksekutor G 30 S, konspirator rehabilitasi nama baik PKI merekonstruksi tudingan bahwa Mayjen Soeharto dan TNI AD merupakan pihak bertanggung jawab dalam kasus pembantaian massal anggota PKI paska kudeta. Tudingan itu dikonstruksi dengan mengesankan peristiwa itu seolah-olah berdiri sendiri, berada dalam “vacuum social” (lingkungan social yang kosong) dan menegasikan fakta-fakta berikut:

a.     Polarisasi Masyarakat Pra Kudeta

Jauh sebelum terjadinya G 30 S, masyarakat telah terpolarisasi kedalam dua kutub besar yaitu PKI dan non PKI. Munculnya polarisasi dipicu oleh karakter idiologis Komunis antara lain: (1) sikap merendahkan keyakinan spiritual masyarakat Nusantara yang religius, (2) menghalalkan kekerasan yang berlawanan dengan prinsip hidup harmoni masyarakat Nusantara[1]. Polarisasi semakin menguat, ketika setelah kemerdekaan, kader-kader PKI sering melakukan kekerasan sosial, perebutan-perebutan pemerintahan lokal, konflik horisontal selama kudeta Madiun dan aksi-aksi sepihak menjelang kudeta 1965. Melalui perilakunya itu PKI telah menjadi musuh masyarakat Indonesia (khususnya kalangan religius) bahkan sejak sebelum kemerdekaan.

Kader-kader PKI dididik untuk menjadi militan dan terampil melakukan propaganda serta menguasai instrument-instrumen propaganda. Walaupun secara proporsional jumlahnya kecil, akan tetapi muncul ke permukaan tampak sebagai partai superior dengan keanggotaan sangat besar. Menjelang peristiwa kudeta tahun 1965, Aidit mengagung-agungkan jumlah keanggotaanya telah mencapai 6 juta (tercermin dari pemilihnya pada pemilu 1955) dan mengklaim simpatisannya mencapai 21 juta orang[2].

Klaim jumlah simpatisan bisa jadi hanya fatamorgana yang sengaja diciptakan untuk membuat keder lawan-lawan politiknya. Banyak orang memiliki keterkaitan dengan PKI bukan karena alasan idiologis, melainkan alasan-alasan pragmatis untuk memperoleh pembagian tanah garapan sesuai propagandanya melalui aksi-aksi sepihak. Bercermin dalam kasus G 30 S/PKI, otokritik Supardjo mengungkapkan klaim kekuatan-kekuatan revolusioner yang diberitakan siap, ternyata telah dibesar-besarkan, karena jumlah sebenarnya sangat kecil. Andaikan klaim terhadap jumlah simpatisan itu benar, jumlah tersebut hanya berada dalam kisaran 20% dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia yang pada saat itu mencapai 103 juta orang. Sedangkan sisa penduduk Indonesia bukanlah simpatisan PKI dan bahkan anti Komunis.

Massa non Komunis tidak memiliki jaringan organisasi sekuat PKI, baik dalam penguasaan asset-aset dalam negeri maupun dukungan jaringan luar negeri. Menjelang kudeta 1965, PKI begitu hegemonik dan otoriter serta memiliki keleluasaan —memanfaatkan kedekatannya dengan Presiden— melakukan aksi-aksi intimidatif terhadap masyarakat non Komunis. Situasi ini menjadikan masyarakat non Komunis dalam keadaan defensif dan melakukan perlawanan tanpa dukungan suprastruktur pemerintah[3]. Pertikaian horisontal antara anggota PKI dan masyarakat non Komunis paska kudeta tahun 1965 merupakan kelanjutan pertikaiannya sejak jauh sebelum kudeta.

Oleh karena itu pencermatan terhadap terbunuhnya anggota dan simpatisan PKI paska kudeta tahun 1965 sebagai implikasi tindakan pembersihan yang dilakukan TNI AD, jelas-jelas hanya menempatkan peristiwa tersebut dalam tangan dua pemain: TNI AD dan PKI. Kesimpulan itu telah meniadakan pemain ketiga yaitu masyarakat non Komunis yang jumlahnya jauh lebih besar dan sebelumnya hidup dibawah tekanan PKI atas dukungan suprastruktur kekuasaan.

b.    Intimidasi Horisontal dan Struktural

Menjelang peristiwa G 30 S/PKI, masyarakat non Komunis mengalami tekanan horisontal dan struktural serta telah saling berbalas kekerasan dengan anggota-anggota PKI. Intimidasi horisontal diawali oleh komando ofensif revolusioner[4] Aidit kepada seluruh jajaran partai yang pada prakteknya dipergunakan untuk menyudutkan lawan-lawan politiknya maupun orang-orang non Komunis, khususnya kalangan agama. Pada tingkat grassroot, komando diaplikasikan dalam bentuk agitasi-provokasi-intimidasi “ganyang 7 setan desa”[5]” dan aksi-aksi sepihak[6]. Aksi ini dilakukan dengan menggunakan kekerasan dan menyentuh aspek-aspek sensitif masyarakat Nusantara seperti pelecehan ajaran agama, penistaan simbol-simbol agama dan intimidasi para tokohnya. Kelompok-kelompok masyarakat yang merasa dirugikan oleh aksi PKI kemudian mengonsolidasi diri untuk melakukan perlawanan dan memicu saling berbalas kekerasan.

Sedangkan intimidasi struktural dilakukan dengan memanfaatkan instrumen-instrumen kekuasaan untuk menekan perlawanan masyarakat non Komunis terhadap aksi-aksi sepihak yang dilakukan PKI. Menurut pengakuan Abdul Hamid Wilis —Komandan Banser Kabupaten Trenggalek Periode 1964-1975— perlawanan Banser terhadap aksi-aksi sepihak ditanggapi Aidit dengan menekan Presiden agar Gerakan Pemuda Ansor dibubarkan. Pengurus Wilayah, Korda dan Pengurus Cabang GP Ansor se Jawa Timur dipanggil ke Jakarta untuk dihadapkan dengan BPI (Badan Pusat Intelijen). Subandrio mengintimidasi para pengurus Ansor untuk tidak melawan PKI[7].

“… di bidang intelijen, saudara-saudara kalah dengan PKI. Orang PKI tahu dimana Saudara sekarang sedang berada. Bahkan tahu dimana Bapak K.H. DR. Idham Chalid dan tokoh-tokoh PB NU lainnya berada. Tapi Saudara dan PB NU tidak tahu dimana D.N Aidit berada. Saudara harus mengerti hal ini…”

Intimidasi semakin memperkuat militansi masyarakat non Komunis yang akhirnya bersatu dalam ikatan beragam motif (mempertahankan hak milik/ lahan garapan yang akan diserobot, membela agama dan para tokohnya yang dijadikan sasaran kekerasan maupun alasan membela diri dari intimidasi fisik kader-kader PKI). Motif-motif tersebut menjadikan perlawanan terhadap aksi kader-kader PKI sebagai holy war dengan mempertaruhkan jiwa maupun fisik.

Aksi berbalas kekerasan semakin meningkat menjelang 1 Oktober 1965 dan meledak beberapa saat setelahnya. Ketika TNI AD berhasil menggagalkan kudeta PKI beserta elit jaringannya pada tingkat pusat, para anggota PKI di daerah tidak lagi memiliki back up suprastruktur dalam menjalankan agendanya. Para kader PKI menjadi semakin terpojok ketika TNI AD melancarkan aksi pembersihan terhadap oknum-oknum G 30 S/PKI di daerah. Situasi ini dimanfaatkan betul oleh masyarakat non Komunis untuk melakukan perlawanan sehingga mengakibatkan banyak kader dan simpatisan PKI bertumbangan.

c.  Daftar Culik dan Sumur-Sumur Pembantaian 

Sesaat setelah siaran komunike Letkol. Inf. Untung melalui RRI, kader-kader PKI di daerah segera mempersiapkan implementasinya ditempat masing-masing dalam bentuk: (1) pembentukan Dewan Revolusi, (2) menyiapkan satuan tempur yang berintikan Pemuda Rakyat, dan (3) menyiapkan daftar hitam orang-orang anti PKI, dan (4) gerakan pembersihan terhadap pengikut-pengikut “Dewan Jenderal[8]. Pembentukan satuan tempur Pemuda Rakyat terus berlanjut walaupun kudeta di Jakarta telah diketahui gagal[9].

Pada awal pembentukannya satuan-satuan tempur Pemuda Rakyat ini dipersiapkan untuk pembersihan orang-orang yang dikategorikan PKI sebagai pendukung Dewan Jenderal. Sebagaimana pengakuan Abdul Hamid Wilis, peristiwa kudeta Jakarta telah menjadikan suasana di daerah-daerah mencekam —termasuk di pelosok-pelosok desa Kabupaten-Kabupaten Kecil seperti Trenggalek Jawa Timur—. Masyarakat non Komunis —yang berada di desa-desa dengan penduduk mayoritas anggota maupun simpatisan PKI— terpaksa mengungsi. Pada saat itu anggota-anggota PKI telah menyiagakan diri secara berkelompok dan melengkapi diri mereka dengan senjata-senjata tajam (arit, pedang dan senjata-senjata lainnya). PKI juga memobilisasi kalangan penjahat, perampok dan kelompok-kelompok black magic untuk membersihkan orang-orang non Komunis.

Selain intimidasi anggota-anggota PKI dengan senjata siap tempur, masyarakat non Komunis juga mengetahui nama-nama diantara mereka yang dijadikan daftar culik. Kader-kader PKI bahkan telah menyiapkan banyak sumur dengan dalih untuk tempat perlindungan jika menghadapi kedatangan musuh. Berdasarkan pengintaian satu sama lain —antara anggota PKI dan Masyarakat non Komunis— terkuak informasi bahwa sumur-sumur tersebut dipersiapkan untuk mengubur orang-orang yang dijadikan daftar culik PKI[10]. Termasuk dalam informasi tersebut telah dipersiapkannya tiga orang algojo untuk membunuh setiap pemilik Langgar/ Surau atau Mushola.

Kesiapsiagaan dan intimidasi fisik satuan-satuan tempur Pemuda Rakyat sesaat setelah kegagalan kudeta Jakarta, dimungkinkan oleh instruksi CC PKI dengan tujuan sebagai berikut:

(1)  Sebagai bagian skenario CC PKI untuk melanjutkan perebutan lokal agar nantinya —dengan basis kemenangan di daerah— akan kembali menyusun kekuatan menguasai Jakarta. Seperti tercermin dalam rapat darurat malam hari tanggal 1 Oktober 1965, CC PKI memutuskan melanjutkan perjuangan dari daerah dengan memaksakan dukungan dari Presiden.

(2)  Sebagai basis perlidungan atau tameng hidup bagi kader-kader elit partai semasa pelarian. Hal itu dibuktikan dengan perlindungan fanatik kader-kader PKI terhadap Aidit di Solo.

(3)  Sebagai skenario bargaining kepada Presiden Soekarno agar pengejaran terhadap elit pimpinan G 30 S/PKI dihentikan dan status hukum PKI tetap dipertahankan.

Berdasarkan kemungkinan-kemungkinan itu, pimpinan elit PKI merupakan pihak bertanggung jawab karena kebijakannya telah memicu munculnya ““Civil War””. Bagi masyarakat non Komunis, persiapan dan aksi-aksi kader-kader PKI telah menempatkan dirinya menghadapai dua pilihan: hidup atau mati. Melihat akan dijadikan sasaran pembunuhan —bahkan lubang-lubang pembantaian telah dipersiapkan— masyarakat non Komunis mengkonsolidasi diri dan melakukan perlawanan untuk mempertahankan hidup dirinya beserta keluarga.

Perlawanan masyarakat non Komunis dapat dilerai ketika pada bulan Desember 1965, pemerintah mengeluarkan surat pelarangan penyelesaian fisik kepada kader-kader PKI. Pemerintah menggariskan kebijakan penyelesaian terhadap kader-kader PKI akan dilakukan secara hukum dan politis. Kekacauan terjadi ketika pada akhirnya dilakukan pendataan kader-kader PKI, telah dimanfaatkan sejumlah orang —termasuk kader-kader PKI sendiri— untuk menyelamatkan diri atau menitipkan kepentingannya[11]. Mereka menuding orang lain —yang sebenarnya tidak terlibat atau derajat keterlibatannya karena motif pragmatis[12]— sebagai daftar anggota Komunis yang harus ditindak.

Berdasarkan kesadaran kesejarahan yang masih dapat kita gali dari para saksi hidup di desa-desa (sebagaimana pengakuan Hamid Wilis), pembunuhan massal kader PKI paska kegagalan kudeta disebabkan oleh tiga peristiwa. Pertama, terbunuh akibat ““Civil War””. Kedua, terbunuh oleh TNI semasa pengejaran pelaku G 30 S. Ketiga, oleh kesalahan-kesalahan pendataan karena alasan-alasan subyektif sehingga sulit diverifikasi.

Terlepas adanya pengingkaran ataupun motif-motif apapun dari pimpinan elitnya, proyek PKI pada waktu itu sangat destruktif. Berlindung dibalik jargon “pembersihan kaki tangan Dewan Jenderal” —sebelumnya menggunakan jargon pembersihan “tujuh setan desa”—, mereka berencana mengirim idiolog-idiolog Nusantara kedalam lubang-lubang pembantaian. Apabila ditelaah secara cermat, para Kiai, Guru Ngaji, pemangku Mushola (Langgar) dan tokoh spiritual —yang dijadikan sasaran untuk dihabisi— adalah generasi-generasi penerus kerabat kerajaan Nusantara, seperti generasi Pangeran Benowo (putra Joko Tingkir), Sunan Mbayat (Brawijaya IV), Kyai Hasan Besari Ponorogo maupun generasi kerajaan Nusantara lainnya yang pada akhirnya berdiaspora kedalam wilayah peran guru-guru spiritual.

Peran para guru-guru spiritual ini acapkali juga mentransformasikan nilai-nilai kenusantaraan dari generasi ke generasi, termasuk pada masa kungkungan kolonial Belanda. Maka tidak salah jika Almarhum Dr. Murcholish Madjid —melalui bukunya berjudul “Indonesia Kita” menyebut kalangan ini sebagai pewaris sah nasionalisme Nusantara. Selain guru-guru spiritual keagamaan, kader-kader PKI juga menyasar para idiolog dan pejuang-pejuang Nusantara yang berada dalam tubuh TNI maupun tokoh-tokoh masyarakat.

Selain pengkaburan fakta-fakta, pencermatan mikro seringkali menurunkan derajad peristiwa G 30 S/PKI hanya sebatas konflik pragmatis sejumlah pihak  —Pimpinan TNI AD, Presiden Soekarno dan Mayjen Soeharto— untuk perebutan kekuasaan. Pada akhirnya sejumlah pihak gagal memahami usaha keras Presiden Soekarno —dengan sikapnya yang mendua terhadap PKI—- dan Mayjen Soeharto —dengan ketegasan sikapnya—- dalam mempertahankan eksistensi peradaban Nusantara dari akuisisi fisik dan idiologi Komunisme internasional yang dimotori Soviet dan RRC.



[1]     Tercermin dalam falsafah untuk berpegang pada prinsip hidup rukun dan tidak menyebabkan sakit dan matinya orang lain. Orang-orang tua di Jawa meyakini munculnya  budaya kasar dan kesukaannya berperang dalam masyarakat Nusantara terjadi setelah kedatangan (dibawa) pendatang dan penjajah.

[2]     Mengacu jumlah sukarelawan Dwikora yang dipersiapkan untuk konfrontasi dengan Malaysia dan diklaim telah berada dibawah kendali PKI, dalam Saleh As’ad Djamhari, et all, Komunisme di Indonesia Jilid IV (Jakarta: Pusjarah dan Yayasan kajian Citra Bangsa, 2009), hlm 182.

[3]     Seperti dalam perlawanan terhadap aksi-aksi sepihak.

[4]     Seluruh aksi untuk menciptakan “Situasi Revolusioner” dengan menggalang kekuatan progresif revolusioner untuk menghancurkan Oldefo (Old Established Forces) dan Nekolim (Neo kolonialisme-imperialisme)

[5]     Tujuh Setan Desa; (1) Kepala Desa /Kapitalis Birokrat), (2) Bintara Pembina Desa/Babinsa, (3) Petani kaya, (4) Lintah Darat, (5) Tengkulak, (6) Tukang Ijon, (7) Pengumpul Zakat.

[6]     Selain menyerobot tanah Negara juga lahan milik orang lain dengan dalih land reform.

[7]     Abdul Hamid Wilis, Aku Jadi Komandan Banser: Membela Pancasila-Menumpas G.30.S/PKI, (Trenggalek: 2006), hlm 160.

[8]     Sebagaimana kasus di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Selatan, Lampung Bengkulu, Sumatera Barat, Riau, lihat Saleh As’ad Djamhari, et all, Op. Cite., hlm 231-267.

[9]     Pembentukan Satuan Tempur Pemuda Rakyat di Jawa Barat, pergerakan satuan-satuan tempur PKI merebut sarana-sarana vital di Semarang, pembentukan Pasukan Regu Kerja Pemuda (RKP) di Surakarta dan Wonogiri, Pembentukan Komando Kesatuan Propinsi jawa Timur, pergerakan dan aktifitas serupa di daerah-daerah lain, ibid.

[10]    Informasi adanya daftar culik ini umumnya diperoleh dari kader-kader PKI yang tertangkap dan berhasil dikorek keterangannya, atau orang-orang yang saudaranya merupakan kader PKI dan tanpa curiga membocorkan rencana tersebut.

[11]    Oleh motif dendam pribadi menuding lawannya sebagai PKI yang harus ditindak pemerintah.

[12]    Banyak orang-orang desa yang menjadi simpatisan PKI karena imimg-iming lahan garapan.

1 Komentar

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.