Konsolidasi PKI Pra 1948 (Legal-Ilegal)-1: Upaya Menguasai Pemuda

Konsolidasi PKI Pra 1948 (Legal-Ilegal)-1: Upaya Menguasai Pemuda[1]

 

Pengikut komunisme di Indonesia pada masa awal kemerdekaan terdiri atas:

  1. Kelompok partai ilegal yang didirikan oleh Musso di Surabaya pada tahun 1935,
  2. kelompok Joyoboyo yang Dipimpin Mr. Mohammad Joesoeph dan Mr. Suprapto yang mengikuti garis Stalin,
  3. kelompok Amir Sjarifuddin, Njono, Oei Gee Hwat dan Widarta,
  4. kelompok Nederland terdiri atas anggota PKI bekas pengurus Perhimpunan Indonesia (PI), mereka adalah Abdul Madjid Djojodiningrat, Setiadjid, Maruto Darusman dan Suripno, serta
  5. kelompok Digul yang dipimpin oleh Sardjono, Achmad Sumadi, Harjono.

Di antara kelompok-kelompok ini pertama kali tampil ke panggung politik adalah kelompok Amir Sjarifuddin. Mr. Amir Sjarifuddin setelah keluar dari penjara Malang bulan September 1945, langsung pergi ke Jakarta, karena ia telah diangkat sebagai Menteri Penerangan dalam kabinet pertama RI (19 Agustus-14 November 1945). Kelompoknya segera melakukan konsolidasi serta membagi tugas dalam pelbagai bidang. Bidang politik ditangani oleh Mr. Amir Sjarifuddin karena ia kurang tertarik pada bidang sosial dan ekonomi, bidang kepemudaan oleh Wikana, bidang ketentaraan dan pertahanan oleh Atmadji dan Djokosuyono.

Setelah proklamasi kemerdekaan, organisasi-organisasi pemuda tumbuh laksana jamur di musim hujan. Pada tahun 1945, telah terbentuk lebih kurang 30 organisasi pemuda. Organisasi pemuda ini biasa disebut dengan nama badan-badan perjuangan atau laskar.

Di Jakarta lahir beberapa badan perjuangan yang kemudian bersatu dalam Komite van Aksi yang dipimpin oleh Sukarni, Chaerul Saleh, dan Maruto Nitimihardjo. Organisasi-organisasi pemuda yang bernaung dalam Komite van Aksi antara lain Angkatan Pemuda Indonesia (API), Barisan Rakyat (BARA). Mr. Amir Sjarifuddin juga muncul dalam kubu organisasi pemuda.

la berhasil mengkonsolidasikan sisa-sisa grupnya yang barada di Surabaya membentuk organisasi Angkatan Muda Indonesia (AMI) pada tanggal 20 September 1945, yang dipimpin oleh Roeslan Abdulgani. Organisasi ini sama sekali bukan organisasi yang berhaluan komunis. AMI berhasil menyelenggarakan rapat raksasa di Stadion Tambaksari, Surabaya pada tanggal 21 September 1945. Dalam suasana awal revolusi itu kader-kader komunis dalam AMI mulai bergerak.

Mereka mendirikan organisasi Pemuda Republik Indonesia (PRI) yang berhaluan komunis.Sekalipun pada awalnya PRI tampak seperti organisasi pemuda non komunis, tetapi kepengurusannya dimonopoli oleh kelompok Amir Sjarifuddin, seperti Soemarsono, Krissubanu, dan Ruslan Widjajasastra. Dengan adanya PRI ini, kelompok Amir Sjarifuddin memperoleh pancangan kaki di Surabaya. Dalam waktu yang singkat organisasi PRI juga berdiri di beberapa kota lainnya di Jawa.

Berdirinya berbagai organisasi pemuda baik yang bersifat nasional maupun lokal selama bulan September dan Oktober 1945, menimbulkan gagasan untuk mempersatukan organisasi-organisasi pemuda tersebut dalam suatu organisasi baru. Pada bulan Oktober 1945 gagasan mengenai hal tersebut dibahas di kalangan pimpinan organisasi-organisasi pemuda di Jakarta. Ketika kelompok Chaerul Saleh mengajukan rencana akan menyelenggarakan Kongres Pemuda, Mr. Amir Sjarifuddin yang dikenal memiliki kemampuan organisatoris tersebut menyambutnya dengan hangat. la kemudian memanfaatkan peluang ini, dan pergi ke Surabaya untuk mempersiapkan PRI dalam menghadapi kongres.[2]

Pada tanggal 6 November 1945 di Yogyakarta berlangsung pertemuan antar organisasi pemuda. Pertemuan itu memutuskan waktu dan tempat kongres yaitu tanggal 10-11 November 1945 di Yogyakarta. Kongres Pemuda dihadiri oleh 332 utusan dari 30 organisasi pemuda seluruh Indonesia. Pimpinan Kongres adalah Chaerul Saleh. Menteri Penerangan Mr. Amir Sjarifuddin mempergunakan kesempatan ini untuk mempengaruhi pemuda.

Dalam sambutannya pada pembukaan kongres, ia menyatakan sebagai berikut:

“Hai pemuda, jika kamu memegang bedil di tangan kananmu haruslah kamu memegang palu di tangan kirimu, dan jika kamu memegang pedang di tangan kananmu, peganglah arit di tangan kirimu”.

Selama Kongres Pemuda, organisasi-organisasi dari kelompok sosialis dan komunis berhadapan dengan organisasi-organisasi pemuda dan kelompok Tan Malaka. Masing-masing kelompok berusaha merebut kepemimpinan pemuda, dengan menggeser atau menyingkirkan orang-orang yang dianggap tidak revolusioner dan tidak tahu revolusi.[3]

Kelompok sosialis-komunis membentuk suatu wadah tunggal. Dengan menggunakan kekuatan organisasi Pemuda Republik Indonesia yang telah dipersiapkan oleh Amir Sjarifuddin, mereka melakukan gerakan anschluss (pencaplokan) terhadap beberapa organisasi pemuda untuk difusikan dalam wadah baru yang bernama Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Sebagian besar utusan dari organisasi-organisasi yang hadir menolak fusi dengan Pesindo.

Akan tetapi 7 organisasi menerima fusi, yaitu: Angkatan Pemuda Indonesia (API) Jakarta, PRI Surabaya, Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) Semarang, Gerakan Pemuda Republik Indonesia (Gerpi) Yogya, Angkatan Muda Kereta Api (AMKA), Angkatan Muda Listrik dan Gas (AMLG), Angkatan Muda Pos Telegrap dan Telepon (AMPTT). Tiga organisasi “profesi”, yaitu AMKA, AMLG dan AMPTT lima bulan kemudian keluar dari Pesindo.

Para pimpinan organisasi pemuda peserta Kongres Pemuda (10 November 1945) sengaja tidak diberitahu akan dilaksanakannya fusi tersebut. Pesindo dengan meng-fait a compli-kan organisasi pemuda lokal di kota lain yang tidak hadir pada kongres, berhasil mencaplok satu persatu organisasi tersebut untuk dilebur ke dalam Pesindo, walau mereka tidak tahu menahu mengenai sosialisme apalagi Marxisme-Leninisme.[4] Sebanyak 22 organisasi pemuda berhasil mereka caplok dengan taktik tersebut.

Pengurus Pesindo jelas-jelas dimonopoli oleh kelompok Mr. Arnir Sjarifuddin, seperti Krissubanu (PRI Surabaya), Wikana (API Jakarta) dan Ibnu Parna (AMRI Semarang). Sebagai penasehat adalah : Amir Sjarifuddin, Djokosuyono, Chaerul Saleh, S.K. Trimurti, L.M. Sitorus, Martono Tirtonegoro, Soegiono, dan S. Widagdo.

Bantuan yang diberikan Mr. Amir Sjarifuddin kepada Pesindo cukup besar ketika menjadi Menteri Pertahanan RI pada tahun 1947. Demikian kuatnya Pesindo, sehingga dapat dipakai oleh kelompok tersebut untuk melakukan intimidasi terhadap lawan-Iawan politiknya. Pada tahap selanjutnya Pesindo berusaha menguasai Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BPKRI) yang dibentuk sebagai hasil Kongres Pemuda (November 1945).

Sekalipun struktur pimpinan BPKRI berupa Presidium, namun semua kegiatan organisasi berada di tangan Badan Pekerja Pembangunan yang dipimpin oleh Soemarsono (wakil dari Pesindo). Badan Pekerja Pembangunan berkedudukan di Madiun tempat Markas Pesindo,[5] dan memiliki pemancar radio yang bernama Gelora Pemuda. Dengan demikian Pesindo praktis telah menguasai organisasi pemuda. Pimpinan inti Pesindo adalah mantan pimpinan PRI yang merupakan kader PKI dan anak didik Musso pada tahun 1935, bersama kelompok Amir Sjarifuddin.

Tokoh Pesindo yang menonjol dari Jakarta adalah Wikana, anggota kelompokArnir Sjarifuddin yang memimpin Barisan Gerindo 1937. Pada jaman Jepang ia menjadi anggota kelompok Kaigun, di bawah pimpinan Mr. Achmad Subardjo, yang sesudah proklamasi mendirikan organisasi Angkatan Pemuda Indonesia (API). Oleh Amir Sjarifuddin, Wikana ditugasi sebagai fungsionaris pemuda dan didudukkan sebagai pimpinan Pesindo.

Tokoh Pesindo lainnya adalah Soemarsono bekas anggota gerakan bawah tanah kelompok Amir Sjarifuddin dan kader PKI-35. Setelah proklamasi ia aktif dalam Laskar Buruh Minyak di samping anggota AMI di bawah pimpinan Roeslan Abdulgani. Kemudian ia terpilih sebagai Ketua PRI Surabaya. Tokoh lainnya adalah Krissubanu, seorang aktivis gerakan bawah tanah PKI-35, kemudian menjadi wakil ketua PRI.

Berkat keaktifannya dalam PRI Surabaya, ia terpilih sebagai anggota Komite Nasional Daerah Surabaya untuk selanjutnya menduduki kepemimpinan Pesindo. Ketika aliansi Sjahrir-Amir Sjarifuddin pecah, hanya sebagian kecil saja pimpinan Pesindo mengikuti jejak Sjahrir, di antaranya Supeno, wakil Pesindo dalam kepengurusan BKPRI. Supeno kemudian diangkat sebagai Menteri Pemuda dalam Kabinet Hatta, menggantikan kursi yang dijabat Wikana.

***

[1]  Sumber : Buku “Komunisme di Indonesia Jilid I: Perkembangan Gerakan dan Pengkhianatan Komunisme di Indonesia (1913-1948), Jakarta: Pusjarah TNI, 1999

[2]    Roeslan Abdulgani, “100 Hari di Surabaya yang menggemparkan dunia”, Surahaya Post, 30 Oktober 1973.

[3]    Dahlan Ranuwihardja SH., Pergerakan Pemuda Setelah Proklamasi, Yayasan Idayu, Jakarta 1979, hal. 13

[4]      Ibid, hal. 6 – 10

[5]      Antara, 1 April 1946

1 Komentar

  1. Tgl 10 nopember 45 Bung tomo dan masyarakat surabaya sedang sibukberjuang utk negeri mengusir sekutu dr surabaya, e malah para tokoh2 ini sibuk mengejar kekuasaan partainya. Lucu banget mereka2 ini.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.