KONPERENSI KARYAWAN PENGARANG SE-INDONESIA [1]
4 Maret 1964
Sejak tanggal 1 Maret berlangsung di Jakarta Konperensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) yang didukung oleh Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN), Organisasi Pengarang Indonesia (OPI), Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI), Lembaga Kebudayaan Kristen (Lekrindo), Badan Musyawarah Kebudayaan Islam (BMKI) yang terdiri dari Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi), PSSI bagian Kebudayaan dan lain-lain, selanjutnya para penandatangan “Manifes Kebudayaan” terdiri dari 35 organisasi kebudayaan dan 450 orang perorangan. KKPI ini dapat juga dikatakan sebuah forum tempat berhimpunnya para pengarang non-komunis.
Apabila dilihat susunan Presidiumnya yang terdiri dari Ketua Umum Brigjen Dr. Sudjono, 4 Wakil Ketua yakni Usmar lsmail (Lesbumi), Gajus Siagian, Nugroho Notosusanto, Andi Amir Basso serta anggota-anggotanya yang meliputi pelbagai daerah dan organisasi kebudayaan, maka dapat dikatakan KKPI merupakan aliansi” atau persekutuan antara unsur-unsur ABRl, Islam, Kristen, Katolik dan lainlain yang titik pertemuannya ialah dalam Pancasila. Saya menghadiri konperensi ini karena ingin tahu perkembangan di dalamnya.
Golongan Komunis seperti Lekra dan golongan Nasionalis seperti Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) tidak setuju diadakannya KKPI itu. Sejak beberapa waktu ini Lekra melancarkan kampanye anti KKPI yang mereka namakan dengan kependekan “KK-PSI”dan dengan begitu menimbulkan kesan KKPI diatur oleh orang-orang PSI atau Partai Sosialis Indonesia yang sangat dimusuhi oleh PKI. Begitu juga “Manifes
Kebudayaan “dicap oleh orang-orang komunis sebagai “Mani-kebu” dan para, penyusun Manifes itu seperti H.B. Jassin dan Wiratmo Sukito dijadikan bulan-bulanan serangan pribadi pihak Lekra. Pada resepsi pembukaan KKPI di aula Bank Indonesia tanggal 1 Maret Menteri PDK Prof. Priyono mengirimkan kata sambutannya yang dibacakan oleh seorang pejabat departemennya.
Ia menanyakan mengapa Manifes Kebudayaan hanya menyebutkan Pancasila saja dan tidak menyebutkan pula Manipol padahal Pancasila dan Manipol merupakan rangkaian kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan? Priyono dengan begitu telah membawakan suara golongan komunis yang selalu menyatakan penandatangan Manifes Kebudayaan bukanlah “Manipolis sejati” seperti halnya dengan kaum komunis. Akan tetapi KKPI tidaklah diadakan berlandaskan Manifes Kebudayaan sehingga argumentasi Priyono menjadi lumpuh.
LKN tidak turut dalam KKPI karena politik PNI dan terutama ketua umumnya Ali Sastroamidjojo untuk bekerja sama selalu dengan PKI. Gajus Siagian adalah anggota LKN, toh ia jadi Ketua Panitia Penyelenggara KKPI dan duduk sebagai Wakil Ketua II Presidium KKPI. LKN telah menyerukan supaya Gajus Siagian menarik diri tetapi hal itu tidak diacuhkannya.
Oleh karena KKPI mendapat dukungan beberapa menteri seperti A .H. Nasution dan Saifuddin Zuhri, maka PKI pun tidak dapat terus-terusan melukiskan orang-orang yang turut dalam KKPI sebagai “orang reaksioner, anti-Manipol , pemecah Nasakoin”. Adanya KKPI saat ini saya anggap baik, sudah waktunya para pengarang non komunis tampil ke depan dan menyatakan kehadiran mereka. Tidaklah dapat dibiarkan PKI saja yang memonopoli semua kegiatan.
Ambilah sebagai contoh ramai-ramai sekitar Festival Film Asia-Afrika ke-111 yang akan diadakan di Jakarta bulan April yang akan datang sebagai kelanjutan Festival Film A-A di Tasjkent (1958) dan di Kairo (1960). Presiden Sukarno telah merestui diadakannya Festival itu dan menunjuk Nyonya Utami Suryadarma sebagai Ketua Umum Komite Nasional FFAA III yang menjadi penyelenggara. Akan tetapi pihak PPFI yakni Perserikatan Pengusaha Film Indonesia, melalui Usmar Ismail menyatakan ”dalam Komite Nasional Festival Film Asia-Afrika ke III tidak duduk wakil-wakil organisasi perfilman nasional yang diakui oleh pemerintah sebagai golongan yang mewakili seluruh potensi perfilman nasional”.
Seterusnya Usmar mengatakan “penyelenggaraan yang tergesa-gesa dari festival film tersebut yakni dalam bulan April 1964 yang akan datang tidak akan memungkinkan diadakannya persiapan-persiapan yang sempurna, baik untuk penyelenggaraan festival itu sendiri maupun untuk mempersiapkan pembuatan-pembuatan film yang cukup bermutu untuk diperbandingkan dalam festival tersebut guna mempertahankan nama dan derajat bangsa di gelanggang internasional” .
Terhadap gugatan PPFI ini, Sitor Situmorang yang di masa belakangan ini dihambung-hambung dan dijagokan oleh kaum komunis mengeluarkan kata-kata yang tajam Sitor bertanya :
“Mengapa festival film mendapat reaksi yang destruktif? Ada golongan vested interest yang takut.”
Sitor menyatakan (semua ini disiarkan eleh “Antina”) : “Adapun vested interest yang berdominasi di dunia perfilman Indonesia terang tidak akan tinggal diam karena takut akan berkembangnya kesadaran terhadap kenyataan adanya dominasi film-film Oldefo (Old Established Forces) di atas kehidupan rakyatrakyat Asia-Afika juga di Indonesia yang secara ideologis berpusat pada tokoh-tokoh tertentu.
Kecuali itu terdengar pula sekarang dalih-dalih teknis dan artistik seirama dengan garis Manikebu. Dalih-dalih ini digabung pula dengan alasan-alasan kekaryaan yang sempit serta mitos-mitos ketokohan “pejuang gigih perfilman nasional” serta anggapan-anggapan birokratis tentang peranan film dan masalah perfilman sebagai alat revolusi: Kata-kata yang belakangan ini pada hakikatnya dialamatkan Sitor Situinorang kepada Usmar Ismail.
Mengingat kegiatan Sitor dalam rangka Festival Film Asia-Afrika III itu yang tampaknya sudah lama sejalan dengan sikap dan politik PKI, maka Djamaludin Malik sampai memberi komentar beberapa hari yang lalu:
“Penyakit Eltor baru saja selesai. Kini ada penyakit baru yakni penyakit Sitor”.
Kaum komunis aktif sekali menjelek-jelekkan golongan yang berusaha mempertahankan kebebasan-kebebasan dan tidak mau menyerah kepada muslihat PKI. Karena itulah serangan mereka terhadap KKPI begitu sengit. Karena itu melalui mulut Sitor Situmorang mereka mencap tokoh-tokoh perfilman seperti Usmar Ismail, Djamaludin Malik sebagai “golongan Taiwan “. Untunglah dari kalangan NU ada keinsjafan betapa perlunya menghadapi PKI secafa lebih tegas. (SA)
[1] Catatan wartawan senior Rosihan Anwar, suasana sosial politik bangsa Indonesia, menjelang peristiwa G30S-PKI 1965, antara tahun 1961-1965. Dikutip dari buku “Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965”, Jakarta : Sinar Harapan, 1980, hal. 410-413.
Leave a Reply