
KISAH PRESIDEN MENJADI SUSAH TIDUR [1]
24 Agustus 1965
Surat Letjen A. Yani hari Sabtu yang lalu yang berisi pendirian Tentara supaya sebaiknya dibentuk saja suatu Kabinet dan Presidium yang baru, kabarnya telah membikin Presiden susah tidur. Dia tidak menyangka perkembangan jadi demikian. Sasarannya tadi hanya bersifat terbatas yaitu memasukkan Brigjen A. Jusuf ke dalam Presidium tanpa mengadakan perubahan drastis dalam susunan kabinet dalam haluan politiknya, jadi dengan tetap mempertahankan Nasakom sebagai Iandasan dukungan politiknya.
Pidato 17 Agustusnya jelas memperlihatkan Presiden tidak hendak berkisar ke sesuatu jurusan. Dia masih tetap mengutamakan keperluan akan penempatan setia kawan yang berarti memelihara gagasan Nasakomnya dan kongkretnya menjamin sokongan PKI terhadap dirinya.
Keperluan akan pemecahan masalah-masalah ekonomi sedikit sekali disinggungnya. Akan tetapi dengan memasukkan Jusuf ke dalam Presidium, Presiden yang sadar pula bahwa sesuatu mesti dilakukan guna mengatasi kesulitankesulitart ekonomi mengharapkan hal-hal yang paling gawat di bidang ekonomi akan dapat ditanggulangi. Tiba-tiba ternyata pimpinan Tentara menjatuhkan vonis mati atas Presidium dan Kabinet. Tidak mengherankan Presiden menjadi sulit tidur akibat surat Yani itu. Padahal Presiden kini amat memerlukan ketenangan dari banyak istirahat. Mengapa begitu?
Pada tanggal 4 Agustus yang lalu dengan sekonyong-konyong Presiden jatuh sakit. Sedianya malam itu dia akan memberikan sambutan depan Kongres Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) yang dibuka di Istana Merdeka. Tetapi karena sakit dia digantikan oleh Wakil PM Dr. Subandrio. Presiden dikabarkan telah muntah-muntah dan dokter pribadinya dr. Suharto sampai pukul 4 pagi berjaga-jaga di tempat tidurnya. Orang di luar tidak tahu persis apa sakitnya Presiden.
Ketika kami berbicara dengan Brigjen A. Sukendro tanggal 14 Agustus yang lalu dia mengatakan sifat penyakit Presiden itu “dirahasiakan”. Sukendro banya mengatakan “serius sekali”. Ketika Presiden jatuh sakit Sukendro ada di Istana dan dia menceritakan pula betapa Subandrio gugup gelagapan dibuatnya. Apakah yang akan terjadi jika Presiden tidak ada lagi? demikian tanya Dr. Subandrio. Kabarnya orang-orang PKI berapat terus setelah terbetik berita di luar tentang Presiden jatuh sakit tanggal 4 Agustus.
Pada perayaan 17 Agustus Presiden telah berdiri lagi dengan gagah mengucapkan pidatonya akan tetapi kentara sekali betapa kesebarannya sudah berkurang. Bagaimanakah manouvre Presiden terhadap surat Yan hari Sabtu tanggal 21 Agustus itu? Kami mendengar Presiden tidak begitu senang dibuatnya. Yang dikebendakinya ialah suatu limited objective atau tujuan yang terbatas sifatnya yakni memasukkan A. Jusuf ke dalam Presidium, tahu-tahu persoalannya meluas menjadi soal “krisis kabinet” sekalipun tidak diketabui oleh khalayak ramai.
Dalam rapat Presidium hari Senin tanggal 23 Agustus kabarnya Presiden memutuskan menunjuk Subandrio sebagai “formatur kabinet baru”. Seorang teman saya berpendapat ini adalah suatu “gerak brilyan dari pihak Presiden. Sebab dengan menunjuk Subandrio dia mau menjamin supaya kabinet baru jangan terlalu banyak bergeser? “ke kanan”. Subandrio mempunyai kecendrungan supaya setiap kabinet Indonesia barus tetap bersifat “kiri” dan dapat dipastikan untuk ini dia akan minta bantuan dari Aidit dan kawan-kawannya. Subandrio mendapat waktu kurang lebih satu minggu menunaikan tugasnya sebagai “formatur”.
Pada Selasa pagi tanggal 24 Agustus pukul 8.30 Subandrio mengadakan pertemuan dengan Yani di tempat kediamannya. Ternyata Subandrio sama sekali tidak membicarakan soal pembentukan kabinet dengan Yani. Yang dibicarakan hanyalah soal-soal pertahanan.
Inilah kisah slapeloze nacht Presiden yang merupakan bagian dari serangkaian kisah lain. Apa pun yang akan terjadi satu hal sudah dapat saya perkirakan A. Jusuf tidak bakal jadi anggota ke-4 Presidium. Semua yang telah terjadi atas dirinya mungkin ibarat sebuah mimpi belaka. Akan tetapi kisahnya memberikan pemandangan kepada saya tentang diri dan keadaan Sukarno yang sebenarnya.
Sebagaimana dikatakannya kepada Jusuf: “Ik ben al moe. Ik ben al sempoyongan. Ik kan niet meer denken… ” Tetapi meskipun dia sudah capek dan sempoyongin serta tidak dapat berpikir lagi toh dia tidak mengundurkan diri saja sebagai Presiden. Karena keenakan menjadi Presiden dan memegang kekuasaan tidaklah sempat dia memikirkan bagaimima secara baik-baik serta terhormat dia dapat mengundurkan diri dari gelanggang politik. Nafsunya dia mau terus sampai tentunya pada suatu ketika dia tidak bisa lagi. Di situlah terletak tragedi orang otoriter yang tidak mau dan tidak dapat melaksanakan demokrasi atau kerakyatan untuk negara dan bangsanya. (SA)
[1] Catatan wartawan senior Rosihan Anwar, suasana sosial politik bangsa Indonesia, menjelang peristiwa G30S-PKI 1965, antara tahun 1961-1965. Dikutip dari buku “Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965”, Jakarta : Sinar Harapan, 1980, hal. 538-540.
Leave a Reply