Fitnah Dan Provokasi PKI Di Madiun[1]
(Kesaksian KH Yusuf Hasyim)[2]
M Yusuf Hasyim berada di Madiun menjelang meletusnya Pemberontakan PKI 1948. Ia berasal dari keluarga yang jelas-jelas menjadi musuh PKI yakni salah satu putra dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari .
Lebih jauh, ketika itu Yusuf Hasyim yang masih remaja telah bergabung dalam salah satu Divisi TNI, Staf Pertahanan Djawa Timur (SPOT). Dengan latar belakang itu, Yusuf Hasyim masuk dalam kriteria sebagai orang-orang yang menghalangi cita-cita PKI mengambil alih kekuasaan di Madiun. Ancaman maut senantiasa mengintai. Karena itu, saran untuk segera meninggalkan wilayah sekitar Madiun dilaksanakan oleh Yusuf Hasyim.
Dua atau tiga hari menjelang peristiwa pemberontakan Madiun meletus, Yusuf Hasyim masih dalam “perjalanan silaturahmi” yang memang rutin dilakukannya. Perjalanan saat itu, mencapai komplek Pondok Pesantren Sabilil Muttaqien (PSM), di Takeran, Kabupaten Magetan yang hanya 10 km sebelah barat daya Kota Madiun. Hanya sempat semalam saja ia menginap di kediaman KH. Muhammad Noor, salah seorang sesepuh PSM, dan memutuskan menerima saran untuk segera meninggalkan wilayah Madiun.
“Entah apa yang terjadi, jika saja masih tertahan, tertunda dan tidak segera meninggalkan rumah Pak Kiai Muhammad Noor,” kata Yusuf Hasyim. Ketika ia tiba di Kota Madiun dua hari sebelum meletusnya pemberontakan, situasi sudah sangat mencekam. Di setiap sudut perempatan dan pertigaan jalan-jalan strategis, berdiri Tentara “Merah” secara bergerombol dalam jumlah puluhan. Mereka menyebut diri sebagai Tentara Merah, suatu penyebutan khas tentara komunis seperti di Rusia pada masa-masa awal Revolusi Bolshewik atau di Republik Rakyat Cina (RRC).
Tentara Merah mudah dikenali karena identitas syal warna merah yang dililitkan di leher, sedangkan seragam yang dikenakan umumnya berwarna hitam. Identitas itu memang pas, kerena PKl menggunakan warna merah sebagai warna dasar benderanya. Banyak di antara Tentara Merah ini menyandang senjata laras panjang dan lebih banyak lagi tampak membawa klewang panjang atau senjata tajam dalam bentuk lain terutama clurit.
Sendirian berada di jalan-jalan raya Kota Madiun, M. Yusuf Hasyim merasa miris. Saat itu ia sempat pula melihat sejumlah kendaraan truk besar melintas dengan bak belakang terbuka penuh ditumpangi puluhan Tentara Merah. Mereka menyanyikan lagu-lagu mars dan sesekali meneriakkan yel-yel perjuangan PKI. Suasana semacam ini tampak mendominasi Kota Madiun. Sementara aktivitas warga kota di jalan-jalan, sudah tampak sangat berkurang. Padahal ketika itu hari belum terlalu siang. Pada kondisi normal, sebagai kota Karesidenan, jalan-jalan di dalam Kota Madiun ini, biasanya selalu sibuk dan ramai.
Sebelum meninggalkan rumah KH. Muhammad Noor, Yusuf Hasyim telah cukup lengkap memperoleh informasi tentang kondisi Kota Madiun, yang sebenarnya dalam beberapa puluh hari hari belakangan sudah mulai mencekam. PKI telah memanaskan situasi dengan menebar berbagai bentuk fitnah dan provokasi melalui koran yang terbit di Madiun dan juga Radio “Gelora Pemuda” milik belakangan sudah mulai mencekam. PKI telah memanaskan situasi dengan menebar berbagai bentuk fitnah dan provokasi melalui koran yang terbit di Madiun dan juga Radio “Gelora Pemuda” milik Pesindo yang memang telah menjadi corong agitasi PKI. Agaknya menciptakan kondisi seperti ini menjadi bagian dari prolog peristiwa.
Termasuk dalam prolog ini, Yusuf Hasyim mencatat ada beberapa peristiwa lain. Salah satunya adalah peristiwa terbunuhnya beberapa orang buruh anggota Serikat Buruh Kereta Api (SBKA), organisasi mantel PKI. Salah seorang korban, mayatnya tergeletak di tepi jalan di depan Pabrik Es Rejomulyo di dekat Jembatan Manguharjo, tepi barat Kota Madiun.
PKI menebar fitnah dengan menuding pelaku pembunuhan tersebut adalah dari golongan kanan, terutama Masyumi dan musuh-musuh PKI lainnya. Belakangan terungkap, pelaku pembunuhan tersebut sebenarnya pihak PKI sendiri. Buruh yang menjadi korban dan alat fitnah ini dituding dekat dengan golongan kanan, atau setidaknya dianggap dekat dengan Polisi atau alat Pemerintah lain. Para korban dinyatakan tidak lagi loyal dan telah berkhianat kepada garis PKI. Mereka kemudian dibantai dan jazad mereka dibuang begitu saja di jalanan secara tidak manusiawi.
Lebih keji lagi, ditudingkan sebagai telah dilakukan oleh musuh-musuhnya itulah kepandaian PKI memutarbalik fakta sambil melakukan provokasi.
Provokasi keji lainnya dikembangkan PKI dengan membuat kekacauan di mana-mana. Sering terjadi perampokan, perampasan bahkan perkosaan yang dilakukan secara terang-terangan terhadap rakyat yang tidak berdosa. Tujuan mereka, menciptakan situasi yang tidak aman dan kacau, yang puncaknya bertujuan politis yakni menggoyang pemerintah. Rakyat yang merasa semakin tidak aman, tentu menjadi semakin tidak percaya pada pemerintah.
Tekanan terhadap kondisi keamanan yang dikembangkan komunis dan antek-anteknya ini, sejalan dengan pemikiran para pihak yang berada dalam aliran sosialis yang sudah cenderung makin ke kiri, di antaranya seperti Mr. Amir Sjarifuddin dan segenap pengikutnya.
Situasi politik dan ekonomi saat itu juga sangat sulit akibat adanya tekanan blokade Belanda . Pertententangan dan tekanan di dalam negeri jelas semakin mempersulit keadaan. Dua partai besar, Masyumi dan PNI yang tak menyetujui Perjanjian Renville, menarik seluruh anggota mereka dari kabinet. Akibatnya, kabinet yang ketika itu dipimpin Perdana Menteri Mr. Amir Sjarifuddin, jatuh. Sebagai pengganti, segera dibentuk Kabinet Presidensiil dan Mohammad Hatta menjadi Perdana Menteri. Masyumi dan PNI menyokong Kabinet Mohammad Hatta ini.
Setelah kabinet yang dipimpinnya runtuh, Mr. Amir Sjarifuddin memisahkan diri dari Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sutan Syahrir dan mendirikan Partai Sosialis lain yang lebih memihak blok komunis. Ia juga tidak menerima berdirinya Kabinet Mohammad Hatta dan menolak akomodasi yang disodorkan Mohammad Hatta. Tuntutannya, kabinet tetap parlementer dan ia meminta beberapa jabatan kementerian strategis. Karena tuntutan itu tak dapat dipenuhi, Mr. Amir Sjarifuddin memilih berada di luar kabinet dan mendirikan FDR.
Pada sebuah pertemuan urnurn di Solo, 26 Februari 1948, Amir Sjarifuddin secara terbuka menyatakan penolakannya terhadap Kabinet Mohammad Hatta dan meresmikan berdirinya FOR yang telah memperoleh dukungan dari Partai Sosialis (Amir Sjarifuddin) sendiri, dari Pesindo dan PKI. Kemudian Setiadjid memberi dukungan melalui SOBSI. Setiadjid sebelumnya bergabung dalam Partai Buruh Indonesia (PBI). Ia pernah menjabat Wakil Perdana Menteri II pada Kabinet V dan Menteri Negara pada Kabinet VI yang dipimpin Perdana Menteri Amir Sjarifuddin. Dalam dua kali memimpin kabinet tersebut, Amir Sjarifuddin antara lain juga menempatkan Drs. Maruto Darusman dari PKI, sebagai Menteri Negara, dan Suyas dari Barisan Tani Indonesia (BTl) yang pro-komunis, sebagai Menteri Negara urusan Bahan Pangan.
Ketika masih memimpin kabinet, Amir Sjarifuddin gigih menyetujui perjanjian Renville hingga timbul pertentangan dengan Masyumi dan PNI. Lucunya, melalui FDR ia menuntut agar pemerintah membatalkan perjanjian Renville dan juga Linggarjati. Kemudian FDR menyerukan agar pemerintah hanya bersedia maju berunding dengan Belanda atas dasar pengakuan kedaulatan Indonesia seratus persen dan agar perusahaan perusahaan asing dinasionalkan . Disamping segala tuntutan itu, FDR juga menyodorkan rumusan program politik yang revolusioner.
Segala tuntutan dan gagasan program FDR, jelas tidak dapat diterima oleh Kabinet Mohammad Hatta. FDR di luar kabinet terus berupaya (baca: beroposisi) agar Kabinet Mohammad Hatta jatuh. Berbagai aktivitas dilakukan, termasuk kegiatan anarkis dan destruktif ditempuh demi tujuan menjatuhkan Kabinet Hatta. Dalih dan klaim mengatasnamakan demokrasi, senantiasa dikemukakan dalam setiap sepak terjang FDR. Namun sebenarnya yang dilakukan justru mengacaukan keamanan. Kerusuhan besar maupun kecil yang berhasil mereka ciptakan, dilansir secara besar-besaran dalam bentuk pemberitaan, ulasan maupun komentar di radio dan koran. Pemberitaan yang gencar itu bertujuan menciptakan situasi menjadi chaos. Hati rakyat menjadi ciut dan benar-benar terkungkung dalam ketakutan.
Yusuf Hasyim menuturkan bahwa kerusuhan memang sengaja diciptakan oleh PKI. Mereka kerahkan maling, begal, rampok dan kecu (perampok yang ganas) untuk beraksi.
Tujuannya jelas, untuk membuat huru-hara. Jika negara semakin kacau, rakyat makin ridak percaya kepada pemerintah. Mereka kemudian tampil seolah berpihak pada kepentingan rakyat. Mereka membentuk opini yang luas di tengah masyarakat yang tengah gelisah. “Setelah opini publik berhasil mereka galang, mereka kemudian membaur di belakang rakyat dan bersama rakyat kemudian menuding pemerintah sudah tidak mampu mengatasi kekacauan itu, ” kata Yusuf Hasyim.
Dalam rangkaian prolog Pemberontakan PKI di Madiun, di sekitar Solo juga terjadi berbagai bentuk kekacauan : pemogokan buruh, aksi teror, penculikan bahkan pembunuhan. Belakangan terbukti ternyata memang didalangi oleh FDR dan PKI.
Surat kabar Harian Aksi mengungkap kejadian di sekitar perayaan peringatan riga tahun Proklamasi Kemerdekaan. Saat itu, di halaman Taman Sriwedari Solo, digelar Pasar Malam yang kemudian disebut Eksposisi Nasional. Kementerian Penerangan, dengan Menteri Mohammad Natsir (dari Partai Masyumi) memprakarsai penyelenggaraannya, dan mempercayakaan kepada Sjahlan (Kepala Studio RR l, Stasiun Solo) sebagai ketua pelaksana.
Acara Eksposisi ini banyak melibatkan kementerian lain dengan mendirikan bangunan bangsal non permanen untuk menyajikan pameran berbagai akrivitas yang sudah dilakukan selama riga tahun merdeka. Menteri Kemakrnuran Mr. Sjafruddin Prawiranegara pada kesempatan itu ridak saja berpameran atas segala akrivitasnya, melainkan juga menggelar semacam bazar. Berbagai kebutuhan bahan pokok pada kesempatan itu bisa didapatkan dengan harga sangat murah.
Eksposisi Nasional yang sangat menghibur rakyat tersebut, terutama yang dilakukan Kementrian Kemakmuran, rupanya tidak disukai golongan kiri. Baru tiga hari berjalan bangsal pameran dan hazar kementerian ini tiba-tiba terbakar. Karena setiap bangsal dibuat berdinding gedhek (anyaman bambu) dan atapnya dadhuk (anyaman daun tebu), kebakaran yang terjadi cepat menjalar dan menghabiskan beberapa bangsal lain yang memang saling berhubungan.
Di tengah berkecamuknya kekacauan politik di Solo, Pekan Olahraga Nasional (PON) tetap diselenggarakan pada 9-1’2 Sep tember 1948. Walaupun hanya berlangsung empat hari, PON berhasil menjadi simbol yang menunjukkan kepada dunia bahwa negara yang baru tiga tahun merdeka dan terus mendapat ancaman dan rongrongan pengacau dari dalam maupun dari luar, temyata tetap mampu menjalankan program pembangunan fisik, mental dan spiritual.
Berbagai insiden dan kekacauan memang sengaja diciptakan untuk memanfaatkan kelengahan perhatian pemerintah. Suratkabar Harian Aksi juga mengungkap, di Kawedanan Purwodadi Grobogan pada 13 September 1948, Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII) tengah melangsungkan rapat umum. Berbicara pada rapat itu, Ir. Sofwan dan Indrosudarmo (bekas anggota Parlemen). Keesokan harinya sudah terdengar kabar Ir. Sofwan dan Indrosudarmo diculik sekelompok orang. Belakangan diketahui pelakunya adalah sebuah laskar yang memang pro haluan kiri, PKI.
Penculikan dan pembunuhan juga menimpa tokoh Proklamasi, Dr. Muwardi yang sedang praktek di Rumah Sakit Djebres. Kemudian orang-orang PKI menculik pula Darmosalimin dari Barisan Banteng dan Sastronegoro dari Bank Industri Negara.
Pada 17 September 1948, sehari menjelang proklamasi Pemerintahan Merah di Madiun, Kota Solo dikejutkan letusan meriam dari Laskar Pesindo yang pro FDR.
Sementara di Yogyakarta, menurut catatan Yusuf Hasyim merujuk Harian Aksi, datang Suripno, bekas wakil RI di Praha. Suripno diberitakan bermaksud memberi penjelasan kepada pemerintah tentang tersiarnya kabar bahwa Uni Soviet telah mengakui Republik Indonesia. Ternyata itu hanya tipu daya belaka. Kedatangannya sebenarnya terkait dengan persiapan konsolidasi untuk bangkitnya kembali komunis di bumi Indonesia. Ia menyelundupkan masuk Muso yang ketika itu disebutnya bernama Suparto dan diakui sebagai sekretarisnya. Suparto, yang belakangan diketahui ternyata Muso, adalah gembong PKI kawakan yang pemah memimpin dan mendalangi pemberontakan yang gagal pada 1926. Pemberontakan dengan tulang punggung SBKA tersebut berhasil dipatahkan Pemerintah Kolonial Belanda. Setelah gagal, Muso raib, melarikan diri ke luar negeri dan ternyata tinggal di Rusia. Selama dalam pelarian itu, Muso terus menjalin kontak dengan kalangan sehaluan, baik yang berada di luar negeri maupun di dalam negeri.
Setelah kedatangan kedua orang ini, aksi-aksi komunis memang terpacu kembali dan semakin menjadi-jadi. Sejarah mencatat, Muso tidak canggung dan tidak memerlukan waktu lama untuk menyesuaikan diri. Ia segera terjun ke kancah politik, tampil di rapat-rapat umum dan dengan terang-terangan menyerukan agar rakyat Indonesia menyokong FDR yang didirikan Amir Sjarifuddin yang memang berkiblat ke Uni Soviet. Ia menuduh Pemerintah Republik Indonesia lebih berpihak kepada AS, lemah dan tidak memikirkan rakyat. Dituding pula Perjanjian Linggarjati dan juga Renville sebagai salah satu bukti kegagalan Pemerintahan Kabinet Mohammad Hatta.
Kondisi politik semakin memanas dengan FDR berhasil menciptakan pemogokan buruh yang semakin luas. Berhasil pula dihasut Serekat Buruh Pemuda dan Tentara untuk bersedia secara bersama-sama menentang Pemerintah. Sebagai tokoh yang orator; Muso telah berhasil membius massa rakyat melalui pidato pidato yang muluk-muluk. Hasilnya, terjadilah Pemberontakan PKI 1948 di Madiun.
[1] Dikutip dari buku “KESAKSIAN KORBAN KEKEJAMAN PKI 1948, Kesaksian KH. Yusuf Hasyim”, hal 13-22
[2] KH Yusuf Hasyim (lahir di Jombang, Jawa Timur, 3 Agustus 1929 – meninggal di Surabaya, Jawa Timur, 14 Januari 2007 pada umur 77 tahun) adalah Putra pendiri NU Hadratussyeikh KH Hasyim Asy`ari, paman dari KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur
Leave a Reply