CATUR TUNGGAL DIUBAH JADI PANCA TUNGGAL

CATUR TUNGGAL DIUBAH JADI PANCA TUNGGAL [1]

 

17 Maret 1964

 

Catur Tunggal yang merupakan pimpinan di Daerah Tingkat I (Propinsi) dan terdiri atas 4 unsur yakni Gubernur, Panglima Angkatan Darat atau Angkatan Laut di daerah, Kepala Komisariat Polisi dan Kepala Kejaksaan atas komando Presiden Sukarno kemarin harus diubah menjadi Panca Tunggal. Di dalamnya kini juga dimasukkan wakil Front Nasional di daerah.

Biasanya Gubernur/Kepala Daerah sudah menjadi Ketua Front Nasional di daerahnya sehingga Komando Presiden tadi tampaknya tidak begitu perlu. Akan tetapi sebetulnya yang hendak dicapainya ialah efek politik dengan menunjukkan wakil rakyat diikut sertakan dalam pimpinan pemerintah daerah. Wakil Front nasional tentulah diambil dari wakil partai dan oleh karena dalam praktek Front Nasional sudah sangat diinfiltrasi oleh PKI atau paling tidak berorientasi kecenderungan PKI, maka Komando Presiden membentuk Panca Tunggal berarti juga terwujudnya gagasan Nasakom di daerah. Jadi PKI secara aktif dan legal diikutsertakan dalam pimpinan pemerintah daerah.

Komando lain yang kemarin diberikan oleh Presiden dalam rapat penutup Presidium Kabinet Kerja dengan Catur Tunggal se-lndonesia ialah supaya segera dimulai pendaftaran pemuda-pemudi sukarelawan di seluruh Indonesia ”dalam rangka menanggulangi ketahanan revolusi Indonesia dan untuk meninggikan kesiap siagaan rakyat” Presiden jelas mengutarakan komando pendaftaran sukarelawan ialah sebagai jawaban terhadap tindakan “Malaysia” belakangan ini yang memerintahkan mobilisasi umum di negaranya, selanjutnya sebagai reaksi atas keterangan Tengku Abdul Rahman dalam pidato kampanye pemilihan umumnya “dia tidak ·sudi lagi bertemu dengan orang itu”. Yang dimaksud oleh Tengku “dengan orang itu” adalah Presiden Sukarno.

Apakah komando tentang sukarelawan itu berarti Indonesia akan besikap lebih keras terhadap Malaysia dan menghadapi risiko perang? Tampaknya Presiden masih tetap mau pergi ke Konperensi Tingkat Tinggi Tiga Negara (Indonesia, Filipina, Malaysia). Selain daripada itu Presiden harus menenggang hubungannya dengan Manila. Jika ia terlalu radikal, maka Preside  Macapagal tidak dapat seluruhnya mengikuti Sukarno seperti yang diperihatkannya di bulan September 1963 ketika Manila serupa dengan Jakarta memutuskan hubungan diplomatik dengan Kuala Lumpur.

Poros Jakarta­Manil  kini mengalam  percobaan. Macapagal berada di bawah tekanan keras kekuatan-kekuatan politik di negerinya sendiri yang menghendaki supaya Manila mengakui Malaysia karena telah ternyata dari laporan Sekjen PBB U Thant “rakyat Sabah dan Serawak mau bergabung dengan Malaysia”.

Wakil Presiden Pelae·t dan Senator Raul  Manglapus ermasuk mereka yang mendesak kepada Macapagal supaya Filipina menjalankan politik luar negeri yang memperhitungkan keamanan nasional Filipina sendiri dan tidak hanya mau bersikap baik saja di antara Sukarno dengan Tengku. Dari Manila telah terdengar kabar tidak lama lagi akan diadakan hubungan konsuler antara Manila dengan Kuala Lumpur. (SA)

 

[1] Catatan wartawan senior Rosihan Anwar, suasana sosial politik bangsa Indonesia, menjelang peristiwa G30S-PKI 1965, antara tahun 1961-1965. Dikutip dari buku “Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965”, Jakarta : Sinar Harapan, 1980, hal. 431-433.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.