AKTIFNYA RRC di INDONESIA

AKTIFNYA RRC di INDONESIA [1]

 

25 Agustus 1965

 

Senin sore yang Ialu pukul 5 tanggal 23 Agustus Mayjen M.T. Haryono Deputy III Pangad untuk urusan kekaryaan dan merupakan orang yang sering dikonsultasi oleh Letjen A. Yani untuk urusan-urusan politik mengadakan pertemuan dengan teman-teman saya. Haryono menginsyafi benar kemerosotan keadaan negara di segala bidang. Ia insaf harus dicari jalan keluar dari kemandekan politik dan ekonomi sekarang. Ia suka berdiskusi dengan teman-teman saya.

Sore itu ia mengatakan walaupun ada suatu kebijakan untuk keluar dari kemandekan sekarang namun bagaimanakah menjalankannya? Haryono memang zwaarhoofdig dan cenderung memandang suram pada segala sesuatu.

“Kau tidak tahu betul bagaimana keadaan dalam kalangan Tentara sendiri sekarang ini. Banyak yang tidak beres di sana sehingga apakah yang dapat dilakukan dengan Tentara sebagai alat?” ujar Haryono.

Selanjutnya Haryono membicarakan hal yang kini bukan rahasia Iagi yakni beberapa minggu yang lalu didaratkan di beberapa tempat di pantai Jawa Barat dan Jawa Tengah (Mauk, Pangandaran, Tegal dan Pacitan) sejumlah senjata ringan yang banyaknya kurang lebih 37.000 pucuk. Yang didaratkan di Jawa Barat dapat disergap oleh anak buah Mayjen Umar Wirahadikusuma dan Mayjeu Ibrahim Adjie sedangkan yang didaratkan di Jawa Tengah diketahui lokasinya tetapi belum diserap oleh Tentara senjata-senjata itu mempunyai laras yang dapat diganti-ganti dan dicocokkan untuk peluru Rusia, RRC, Amerika. Serupa dengan senapan senapan yang dipunyai oleh Vietcong di Vietnam Selatan.

Asal pengapalan senjata-senjata itu ialah pelabuhan Macao dan menurut informasi penyelundupan ini adalah akibat pekerjaan seorang pejabat negara yang menjadi anggota Partindo dan bukan mustahil bekerja untuk RRC pula. Tentara mengatakan senjata-senjata itu belum dikirim lengkap dengan peluru-­pelurunya dan oleh karena itu kini ditunggu sampai amunisinya datang kemudian barulah dilakukan penyergapan. Situasi ini sungguh serius dan menunjukkan bahwa intervensi dan sibversi dari luar berlaku sangat mendalam.

RRC kini memang aktif di Indonesia. Ketika Wakil/Menteri Luar Negeri RRC Chen Yi berbicara dengan pembesar­pembesar Indonesia ketika berlangsung perayaan 20 tahun kemerdekaan Indonesia, maka Chen Yi dengan terus terang mengatakan :

“Uni Soviet kini harus dikategorikan sebagai Nekolim”.

Janganlah mengharapkan bantuan lagi dari Uni Soviet dan jika Indonesia membutuhkan suku cadang, maka RRC sejauh kesanggupann ya akan mensuplai Indonesia, demikian Chen Yi.

Sebaliknya pembicaraan antara Wakil PM I Uni Soviet Murasov dengan Presiden dan Subandrio pada tanggal 18 Agustus yang lalu kabarnya berlangsung secara “seram”. Murasov secara blak-blakan menyesali sikap Indonesia yang walaupun telah dibantu dengan senjata oleh Uni Soviet, namun dalam politiknya menyokong RRT dan sama sekali tidak mau memperjuangkan dapat ikut sertanya Uni Soviet dalam Konperensi A-A ke II. Murasov juga menagih kembali pembayaran hutang Indonesia kepada Uni Soviet untuk senjata­senjata yang telah dikirim. Adapun hutang Indonesia kepada Uni Soviet untuk senjata-senjata itu kurang-lebih sebesar juta dolar Amerika.

Apakah karena semua ini, wallahu’alam , akan tetapi kenyataannya adalah bahwa dalam rapat Presidium tanggal 22 Agustus yang lalu Presiden mengatakan kita jangan berharap apa-apa lagi dari Uni Soviet berupa bantuan. Kita harus­ mengusahakan mencari sumber-sumber bantuan dari segala pihak. Kita tidak seharusnya membiarkan pintu kita tertutup ke arab dunia Barat. Dan kita harus mengusahakan pula jangan sampai

“dipayungi oleh RRT ,” demikian kata Presiden.

Akan tetapi mood  Presiden tadi tidaklah dengan sendirinya berarti akan ada pengaruhnya pada situasi serta perimbangan politik di dalam negeri. Presiden masih tetap menegakkan gedung kerangka politi yang didengung-dengungkan selama ini yaitu kerangka yang berporoskan dan berjiwakan Nasakom. Presiden tidak dapat dan tidak mau afstoten atau melemparkan begitu saja PKI Presiden membutuhkan PKI. (SA)

 

[1] Catatan wartawan senior Rosihan Anwar, suasana sosial politik bangsa Indonesia, menjelang peristiwa G30S-PKI 1965, antara tahun 1961-1965. Dikutip dari buku “Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965”, Jakarta : Sinar Harapan, 1980, hal. 540-542.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.