
AKSI-AKSI PKI DALAM BADAN LEGISLATIF TAHUN 1950-1959 (2): AKSI-AKSI PKI DALAM KONSTITUANTE [1]
Setelah pemilihan umum untuk anggota DPR bulan September tahun 1955, pemilihan tahap berikutnya adalah pemilihan umum anggota konstituante pada bulan Desember 1955. PKI dalam pemilihan umum untuk anggota konstituante itu masih tetap termasuk dalam kelompok empat besar. Jumlah anggota DPR terpilih sebanyak 257 anggota, maka untuk anggota konstituante sebanyak dua kali, yaitu 514. PNI mendapat anggota sebanyak 119 anggota, Masyumi 112 anggota, NU 91 anggota dan PKI mendapat sebanyak 80 anggota.
Pelantikan anggota Konstituante dilakukan pada tanggal 10 November 1956 oleh Presiden Sukarno, bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan di Bandung. Tugas utama anggota Konstituante adalah menyusun konstitusi baru bagi Republik Indonesia. Pada tanggal 20 November 1956, dilakukanlah pemilihan Ketua Konstituante dengan hasil sebagai berikut :
Ketua : Mr. Wilopo (PNI).
Wakil Ketua I : Prawoto Mangkusasmito (Masyumi).
Wakil Ketua II : KH. Faturachman Kafrawi (NU).
Wakil Ketua III : Dr. Leimena (Parkindo).
Wakil Ketua IV : Ny. Ratu Aminah Hidayat (IP-KI).[2]
Selama pelaksanaan sidang Konstituante, hampir semua materi pokok dapat diselesaikan dalam musyawarah untuk mufakat secara demokratis. Semua telah menyetujui bentuk negara Republik Indonesia Kesatuan – Bendera Merah Putih – Bahasa Nasional Indonesia – lagu Indonesia Raya – Lembaga- Iembaga kenegaraan Azas dasar hukum lain-lain.
Pada tanggal 4 November 1959 ketika sidang membicarakan mengenai “Dasar Negara” mulailah timbul perbedaan-perbedaan pendapat yang semakin lama semakin tajam dan melebar. Timbulnya perbedaan-perbedaan itu karena adanya keinginan yang berbeda dari masing-masing golongan tentang Dasar Negara :
- Golongan yang menginginkan Pancasila sebagai Dasar Negara didukung oleh PNI, PKI, Khatolik, Parkindo dan partai” kecil lainnya.
- Golongan yang menginginkan Islam sebagai Dasar Negara didukung oleh Masyumi, NU, PSII dan Perti.
- Golongan yang menginginkan Sosial Ekonomi sebagai Dasar Negara didukung oleh partai Murba.[3]
Dalam usaha untuk meyakinkan pendapatnya masing-masing golongan menampilkan juru bicaranya yang paling dipercaya di kalangan mereka. PKI menampilkan antara lain Ir. Sakirman, Wikana, Njoto dan Kyai Dasuki Siradj. PNI menampilkan antara lain Suwiryo, Roeslan Abdulgani, Arnold Mononutu, Kartono dan Nur St. Iskandar.
Masyumi menampilkan antara lain Muhammad Natsir, Mr. Kasman Singodimedjo, Hamka, Zaenal Abidin Achmad, Osman Raliby, Prof. KH. Kahar Muzakkir dan KH. Isa Anshary. NU menampilkan antara lain KH. Wahab Chasbullah, KH. Masjkur, H. Zainul Arifin, KH. Syukri Gozali dan Saifuddin Zuhri. PSI menampilkan antara lain Sutan Takdir Alisjahbana dan Sudjatmoko. IP- KI menampilkan antara lain Firmansyah dan Hamara Effendi.
Katholik menampilkan antara lain Prof. Suhardi dan I.J. Kasimo. Parkindo menampilkan antara lain Ds. Rumambi dan Locallo. Acoma menampilkan Sudjono, dan GPPS menampilkan Asmara Hadi. Perdebatan seru terjadi antara pendukung Pancasila sebagai dasar negara dengan pendukung Islam sebagai dasar negara.
Dalam pemandangan umum babak pertama, Ir. Sakirman mengemukakan, bahwa PKI menerima Pancasila tanpa perubahan dan mengajak semua fraksi dalam Konstituante secara aklamasi menerima Pancasila. Dalam menjelaskan mengapa PKI menerima Pancasila, Ir. Sakirman memajukan kupasan tentang tujuan revolusi Indonesia serta pengalaman-pengalaman di waktu permulaan revolusi. Dalam hubungan ini, Ir. Sakirman mengupas pendapat Ki Hajar Dewantara yang menyatakan bahwa Pancasila adalah faktor penting dari revolusi 17 Agustus 1945.
Menurut Ir. Sakirman, sebetulnya PKI menginginkan supaya Ketuhanan Yang Maha Esa diganti sila kemerdekaan beragama dan berkeyakinan hidup, formasi ini menurut Ir. Sakirman kecuali bersifat harian, cocok dengan pengalaman serta kebutuhan dan lebih sesuai dengan pikiran-pikiran yang hidup dalam Komisi I dan Panitia Persiapan Konstituante (PPK) serta lebih tepat jiwanya dengan ide yang orisinil Bung Kamo mengenai Sila Ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain.[4] Di sini dikutip inti pidato Ir. Sakirman tentang Pancasila menurut tafsirannya :
“Yakni bahwa pada masa peralihan dari jaman kolonial dan setengah feodal ke jaman nasional, yaitu ke jaman kemerdekaan penuh di lapangan politik dan ekonomi seluruh Indonesia, Pancasila dapat dijadikan alat penting dan menentukan dalam perjuangan untuk mencapai kemakmuran dan kebahagiaan di kalangan rakyat banyak”.
Pokok pikiran PKI yang disuarakan oleh Ir. Sakirman ini yang bisa kita tangkap adalah Pancasila dapat dijadikan alat yang penting dan menentukan.
Juru bicara PKI yang lain, Wikana dalam uraiannya menekankan harus adanya titik pertemuan seperti yang dialami selama ini, yaitu Pancasila. Tentang Pancasila dan Proklamasi, Wikana menguraikan pengalamannya sendiri di hari – hari sebelum dan saat Proklamasi.Dikatakan, hahwa memang bukan Pancasila yang melahirkan Proklamasi kemerdekaan, tetapi yang sudah jelas ialah bahwa revolusi kita dimulai dengan persatuan, dan persatuan, itu ialah Pancasila.Wikana tidak sependapat dengan golongan yang berpendapat, bahwa Pancasila yang dijadikan dasar Republik Indonesia itu sudah lahir seluruhnya sebelum Proklamasi, yang disebut Jakarta Charter. Menurut Wikana, lepas sama sekali dari apa yang disebutkan Panitia Persiapan Kemerdekaan di jaman Jepang.
Njoto menyatakan bahwa PKI ingin tetap mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara dan mengajak semua fraksi yang ada di dalam Konstituante termasuk Masyumi untuk menerima Pancasila tanpa perubahan.
Mengapa PKI menerima Pancasila, menurut Njoto alasannya nyata sama benar dengan alasan-alasan Kaum Nasionalis, Katholik, Hindu Bali, Animisme dan umat polytheis lainnya serta Kaum Atheis yang tergabung dalam partai apapun, yaitu demi keutuhan serta untuk mengeyahkan sisa-sisa kolonialisme dan feodalisme di tanah air dan untuk menegakkan, seperti yang dinyatakan di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Kalau kaum Protestan dan Khatolik telah menyatakan bahwa Pancasila dapat dipertanggungjawabkan kepada agama dan Tuhannya, PKI pun dapat mempertangungjawabkan penerimaan Pancasila terhadap Sosialisme.[5]
Alasan PKI mengajak semua fraksi di dalam Konstituante untuk menerima Pancasila tanpa perubahan dinyatakan oleh Njoto, karena PKI yakin tidak ada seorang anggota pun di dalam majelis Konstituante tidak menganut prinsip hormat-menghormati dan harga-menghargai. Oleh karena faktor inilah menurut Njoto yang paling dibutuhkan bagi kelangsungan hidup bangsa. Saling hormat menghormati dan saling harga-menghargai terhadap kepercayaan dan keyakinan lain menurut PKI adalah seperti oxigen karena tanpa dia tak mungkin hidup. Selanjutnya mengingat sebagian besar golongan menganut azas kemerdekaan beragama serta menyetujui perumusan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka PKI demi penghormatan serta penghargaan kepada fraksi-fraksi lain, menganjurkan Pancasila diterima secara aklamasi, tanpa perubahan.
Di dalam perdebatan mengenai Pancasila sebagai Dasar Negara, PKI menampakkan diri sebagai pembela dan pendukung Pancasila. Mengapa? Sebagaimana dikemukan pada bab terdahulu, bahwa PKI sejak periode awal konsolidasinya sampai tahun 1959, secara konsisten mengikuti garis kanan (Stalin) dengan program front persatuannya. PKI menampilkan wajah demokratis untuk menghapus citranya yang buruk di masa lalu, sekalipun PKI telah menjadi salah satu pemenang dalam Pemilihan Umum 1955. PKI tidak mau mengorbankan program maksimumnya, karena suksesnya program minimumnya program front persatuan dipertahankan. Selanjutnya setelah dikaji secara cermat, ternyata PKI berbeda dengan golongan lain dalam menafsirkan Pancasila. PKI mempunyai tafsiran sendiri yang dipertanggungjawabkan kepada sosialisme (baca komunisme), sebagaimana ditegaskan oleh Njoto. PKI juga menganggap bahwa Pancasila adalah alat untuk mencapai kemakmuran, bukan sebagai falsafah atau pandangan hidup bangsa.
Pada tanggal 11 Desember 1958 pada saat masa Sidang Panitia Persiapan Konstituante akan berakhir terjadilah situasi baru, yaitu sehubungan dengan masuknya usul tunggal dari “blok pendukung Pancasila” antara lain terdiri dari PNI, PKI, Murba, GPPS dan sejumlah fraksi kecil lainnya yang secara bersama-sama mengajukan satu rumusan untuk Mukadimah Undang-Undang Dasar yaitu supaya Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Proklamasi 1945 selengkapnya dijadikan Mukadimah Undang-Undang Dasar yang akan datang.[6]
Pada umumnya terciptanya suatu rumusan tunggal ini mendapat sambutan dari kalangan luas di gedung Konstituante sebagai suatu kemajuan yang pesat. Dengan demikian, maka di antara pendukung Pancasila tidak akan terjadi perbedaan rumusan satu sama lain. Terjadinya satu rumusan merupakan suatu toleransi yang sangat besar terhadap golongan manapun juga karena Pembukaan (Mukadimah) Undang-Undang Dasar 1945 itu milik seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian penerimaan Mukadimah itu sebagai dasar negara tidak merugikan, tidak menyalahkan, serta memenangkan siapapun, melainkan merupakan keputusan yang berisi toleransi sedalam-dalamnya.
Dengan masuknya rumusan tunggal dari blok pendukung Pancasila itu, maka pada tanggal 3 Maret 1959 para pendukung Islam mengadakan rapat kemudian menyatakan, bahwa Liga Muslimin yang terdiri dari NU, PSII, Perti, Masyumi dan PPTI tetap memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Dengan demikian, telah jelas bahwa kompromi, musyawarah mengenai dasar negara sudah tertutup. Toleransi yang ditawarkan oleh pendukung Pancasila tidak mendapat sambutan dari pihak pendukung Islam.[7]
Pada tanggal 6 Maret 1959 diadakanlah pertemuan antara pemerintah yang diwakili Perdana Menteri Djuanda, Wakil Perdana Menteri I Mr. Hardi, Wakil Perdana Menteri II Dr. Leimena, Menteri Penerangan Sudibyo dan Menteri Negara Muhammad Yamin dengan Presidium Dewan Konstituante. Dalam pertemuan ini yang menjadi masalah pokok adalah usul menetapkan UUD 1945 sebagai UUD tetap, dan Presiden akan berpidato di muka Dewan Konstituante untuk menganjurkan kembali ke UUD 1945.
Semula Sidang Pleno Konstituante ditetapkan pada tanggal 29 April 1959, dengan acara mendengarkan pidato Presiden Sukarno sebagai acara yang bersifat khusus. Akan tetapi Mr. Wilopo selaku ketua Dewan Konstituante dengan Persetujuan Panitia Musyawarah Dewan Konstituante, menyarankan agar acara itu tidak diadakan dalam Sidang Khusus, melainkan sebagai acara Sidang Pleno. Dengan demikian Sidang Pleno Dewan Konstituante itu akan berlangsung secara resmi.
Rencana Sidang Pleno tanggal 29 April 1959 yang telah disetujui itu dibatalkan, karena adanya rencana Presiden pergi keluar negeri pada akhir bulan April 1959. Pada tanggal 14 Maret 1959 Pemerintah sekali lagi mengadakan pertemuan dengan pimpinan Dewan Konstituante dan Panitia Musyawarah Konstituante, mengusulkan agar Sidang Pleno Dewan Konstituante dimajukan pada tanggal 22 April 1959.
Pada tanggal 22 April 1959 Presiden menyampaikan amanatnya. Dalam pidato yang memakan waktu kira-kira dua setengah jam itu, Presiden meminta kepada anggota Dewan untuk menetapkan UUD 1945 sebagai UUD tetap. Menurut Presiden hanya dengan jalan kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 itulah kita akan dapat menyelesaikan tingkatan revolusi yang ada sekarang. Dalam pidatonya yang berjudul “Respublica sekali lagi Respublica” ini, Presiden juga mengatakan bahwa kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 berarti kita kembali kepada demokrasi yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 itu yang dinamakan “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”[8] dan inilah yang kemudian dimaksudkan dengan Demokrasi Terpimpin.
Pada tanggal 29 April 1959 dimulailah pemandangan umum babak pertama untuk membicarakan anjuran Presiden untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Sejak dimulainya pembahasan tentang anjuran Presiden itu, suasana sidang sudah nampak adanya dua pendapat yang saling bertentangan. Kelompok Islam tetap memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dan kelompok Nasionalis Non Islam yang memperjuangkan Pancasila sebagai dasar negara dan ingin kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 tanpa perubahan.
Njoto, Wikana, Karel Supit wakil dari PKI di dalam perdebatan itu menegaskan bahwa tidak mungkin konstituante menyusun Undang-Undang Dasar baru, karena itu usul dari pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 masuk akal dan PKI mendukung sepenuhnya.
Saifuddin Zuhri dari NU mengatakan, bahwa di dalam istilah “Demokrasi Terpimpin terdapat perkataan Demokrasi“, karena itu merupakan hal biasa apabila diperbincangkan di dalam lembaga demokrasi tertinggi. Ia mengusulkan agar Piagam Jakarta (Jakarta Charter) dicantumkan di dalam Konstitusi Proklamasi yang akan diberlakukan. Demikian juga Mansur juru bicara NU menginginkan agar Piagam Jakarta sebagai “Pokok-Pokok Kaidah Azas Negara, Sumbernya Undang-Undang”. Selain itu juga diusulkan pasal-pasal di dalam Konstitusi Proklamasi harus diubah dan disesuaikan dengan Piagam Jakarta.
Prawoto Mangkoesasmito, dari Masyumi, mengusulkan agar Konstituante setidak-tidaknya masih terus bekerja sampai tahun 1960, untuk melanjutkan pekerjaan sesuai dengan tugas yang diberikan kepadanya. Menurut pendapat Prawoto andaikata usul ini diterima, maka soal kembali ke Konstitusi Proklamasi mungkin dapat terlaksana, tetapi tidak pada waktu pemimpin-pemimpin Indonesia sekarang ini berkuasa. Mereka tidak akan mampu menghidupkan kembali jiwa 1945. Hamka, dari Fraksi Masyumi juga mengatakan terus terang, bahwa dengan kembalinya Konstitusi Proklamasi dengan sistem “Demokrasi Terpimpin” akan timbul diktator.[9]
Pada tanggal 21 Mei 1959 Pemerintah dalam hal ini Perdana Menteri Djuanda memberikan keterangan lagi kepada Dewan Konstituante agar UUD 1945 dijadikan UUD tetap sebagaimana telah diamanatkan Presiden Sukarno pada tanggal 22 April 1959 yang lalu. Dengan demikian pemerintah mengharapkan pada HUT RI tahun 1959 dapat kita rayakan di bawah naungan UUD 1945.
Setelah mendengar keterangan ini, maka tokoh-tokoh partai Islam seperti NU dan PSII merasa optimis dapat mengatasi keadaan. Menurut pendapat mereka dalam waktu singkat mereka akan membuat pernyataan, tetapi sebelum itu mereka menyatakan akan mengadakan rapat dulu. Mereka jadi optimis karena pemerintah menyatakan bahwa Piagam Jakarta sebagai bagian yang historis dari UUD 1945, tidak akan dihapuskan karena ia tidak dapat dipisahkan dari UUD 1945.
Pada tanggal 25 Mei 1959 Dewan Konstituante memulai lagi pemandangan umum babak penegasan tentang anjuran pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945, namun hasilnya tetap sama saja seperti babak pertama yang lalu yaitu kelompok Islam tidak setuju untuk kembali kepada UUD 1945 dan kelompok Non Islam setuju untuk kembali kepada UUD 1945 dengan tanpa perubahan. Yang termasuk kelompok Islam itu ialah Masyumi, NU, PSII, Perti, dan AKUI tetapi ada juga partai Non Islam yang mendukung kelompok ini yaitu Partai Buruh, PIR-H, Fraksi Lima, Gerpes, PPTI. Kelompok Non Islam terdiri dari : PNI, PKI, Republik Proklamasi, Parkindo, Katholik, PSI, Persatuan Irian Barat, GPPS, Murba, Golongan Eropa, P3RI, Baperki, Permai, dan lain-Iain.[10]Demikianlah bahwa masing-masing pihak tetap bersikap keras pada pendiriannya masing-masing.
Pemerintah gelisah dan memperingatkan Konstituante, jika anjuran pemerintah tidak diterima, maka berbagai kemungkinan bisa terjadi. Pemerintah menyerahkan mandatnya kembali, ataupun Konstituante dapat dibubarkan, karena keduanya tidak dapat bekerjasama. Pertentangan antara Dewan Konstituante dan pemerintah tentu akan berlanjut juga di DPR. Sebab perbandingan fraksi dalam DPR hampir sama dengan perbandingan fraksi-fraksi di dalam Dewan Konstituante.
Pada tanggal 30 Mei 1959 diadakan pemungutan suara terhadap usul dari Blok Islam tentang dimasukkannya Piagam Jakarta ke dalam Mukadimah UUD 1945 dan memasukkan hukum Islam di dalam Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945 . Usul Amandemen Blok Islam hasilnya adalah 201 suara setuju dan 265 suara menolak.
Ketika ternyata usul Blok Islam kalah suara dan usulnya ditolak, maka Ketua Umum NU KH. Wahab Chasbullah marah dan mengatakan :
“kalau Dewan Konstituante menolak amandemen Blok Islam, maka Blok Islam yang disokong oleh 85 % rakyat Indonesia akan menolak secara keseluruhan UUD 1945 dan menyalahkan pihak yang menerimanya apabila terjadi suatu junta militer”. [11]
Pada hari yang sama (tanggal 30 Mei 1959) diadakanlah pemungutan suara mengenai usul pemerintah tentang kembali ke UUD 1945. Hasilnya 269 suara setuju dan 199 suara menolak. Sedang jumlah suara yang dibutuhkan 2/3 x 474 jumlah anggota yang hadir, yaitu 316 suara.
Pemungutan suara kedua dilakukan pada tanggal 1 Juni 1959 dengan hasil 264 suara setuju dan 204 suara menolak. Suara yang dibutuhkan agar usul diterima ialah 2/3 x 468 anggota yang hadir, yaitu 312 suara.
Pemungutan ketiga (terakhir) diadakan pada tanggal 2 Juni 1959. Adapun hasilnya 263 suara setuju dan 203 tidak setuju, padahal yang diperlukan 2/3 x 468 anggota yang hadir, yaitu 312 suara.[12]
Setelah pemungutan suara ketiga atau terakhir selesai, Mr. Wilopo menyarankan agar Dewan Konstituante mengadakan reses, dan Pimpinan Dewan Konstituante merencanakan untuk mengadakan pertemuan dengan pemerintah.
Usul Ketua Konstituante ini kemudian ditanda tangani oleh 57 orang anggota. Di antara mereka ini telah berbicara Sudiono Djojoprajitno (Murba), Hamara Effendi (lPKI), Asnawi Said (GPPS) dan Anwar Sanusi (PKI). Sudiono Djojoprajitno mengatakan bahwa meskipun Dewan Konstituante tidak dapat memenuhi syarat dua pertiga suara dari yang ditentukan oleh Pasal 137 UUD 1950 untuk diterimanya sebagai UUD tetap, tetapi hendaknya suara itu jangan sia-sia dan tetap dijadikan keputusan Dewan Konsituante. Hamara Effendi menyatakan agar Konstituante membubarkan diri saja. Akan tetapi Anwar Sanusi wakil PKI di Konstituante mengatakan agar Konstituante meneruskan sidang-sidangnya karena PKI ingin agar dalam hal menetapkan UUD 1945 itu dilakukan secara konstitusional. [13]
Demikianlah ada beberapa usul yang dilakukan oleh anggota Konstituante ketika untuk ketiga kalinya Dewan Konstituante gagal menetapkan UUD 1945 secara konstitusional. Namun ketua Dewan tetap pada pendiriannya agar Dewan Konstituante reses dan para pemimpinnya supaya mengadakan perundingan dengan pemerintah, tentang status Dewan Konstituante.
Sementara itu, karena situasi yang tidak menentu di dalam Dewan Konstituante, maka Fraksi PKI, dan PNI mengumumkan bahwa untuk selanjutnya tidak akan menghadiri sidang-sidang Konstituante lagi. Dengan demikian, maka quorum tidak akan dapat tercapai. Oleh karena itu Dewan tidak dapat bersidang dengan sah.[14]Karena suasana yang demikian ini, semua orang mengarahkan pandangannya kepada Presiden Sukarno yang sedang mengadakan kunjungan ke negara-negara Skandinavia, Italia, Amerika Latin, Turki dan Uni Soviet. Sementara itu di Tokyo Presiden Sukarno mendengar hasil pemungutan suara di Konstituante. Perdana Menteri Djuanda menjelaskan, bahwa keputusan terakhir ada di tangan Presiden Sukarno. Ketua PNI mengirimkan kawat kepada Presiden Sukarno di Tokyo yang isinya mengharapkan agar Presiden mengeluarkan dekritnya untuk kembali kepada UUD 1945 dan juga membubarkan Konstituante.[15]
Setibanya di tanah air pada tanggal 28 Juni 1959, Presiden langsung menyatakan janji akan mengambil keputusan yang tegas dalam waktu singkat mengenai masalah kembali ke UUD 1945.
Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Sukarno membubarkan Konstituante melalui Dekrit Presiden dan menyatakan UUD 1945 berlaku. Naskah Dekrit itu berbunyi :
Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, kami Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang.
Menetapkan pembubaran Konstituante.
Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini dan tidak berlaku lagi Undang-Undang Dasar Sementara.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Ditetapkan : Di Jakarta
Pada tanggal : 5 Juli 1959
Atas Nama Rakyat Indonesia Presiden Republik Indonesia/
Panglima Tertinggi Angkatan Perang
Sukarno
—DTS—
[1] Sumber : Buku “Komunisme di Indonesia Jilid III: Konsolidasi dan Infiltrasi PKI Tahun 1950-1959, Jakarta: Pusjarah TNI, 1999
[2]Bintang Timur, – 23 November
[3] Warta Bandung, 4 November 1957.
[4] Warta Bandung, 13 November 1957.
[5] Warta Bandung, 28 November 1957.
[6] Warta Bandung, 4 Maret 1959.
[7] Warta Bandung, 7 Maret 1959.
[8] Warta Bandung, 22 April 1959.
[9] Warta Bandung, 8 Mei 1959.
[10] Suluh Indonesia, 9 Mei 1959.
[11] Suluh Indonesia, 1 Juni 1959.
[12] Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid II, Djakarta 1960, hal.575, 591, 602, 618.
[13] Suluh Indonesia, 4 Juni 1959.
[14] Muhammad Yamin, op.cit.,hal 620 – 625.
[15] Suluh Indonesia, 28 Juni 1959.
Leave a Reply