AKSI-AKSI PKI DALAM BADAN LEGISLATIF TAHUN 1950-1959 (1): AKSI-AKSI PKI DALAM PARLEMEN

AKSI-AKSI PKI DALAM BADAN LEGISLATIF TAHUN 1950-1959 (1): AKSI-AKSI PKI DALAM PARLEMEN [1]

 

 

Dalam sistem demokrasi liberal, maka golongan-golongan yang dianggap membawa aspirasi-aspirasi dan aliran dalam masyarakat diwakili secara proposional dalam parlemen. Dalam hal ini golongan komunis tidak terkecuali, mereka mempunyai wakil dalam parlemen. Partai Komunis Indonesia (PKI) mendapatkan jatah dalam parlemen dan dalam lembaga- lembaga perwakilan di daerah sejak masa RIS. Sekalipun jumlah kursi yang didapat oleh PKI tidak banyak, tetapi peristiwa ini membawa dampak politis dan strategis yang sangat penting bagi langkah PKI selanjutnya. Hal ini berarti diterimanya kembali kehadiran kaum komunis di tengah­tengah masyarakat dan hak hidupnya diakui tanpa syarat. Dengan demikian, dosa -dosanya sebagai pemberontak pada tahun 1948 di Madiun, tidak lagi dipermasalahkan, lepas dari tanggung jawabnya secara hukum. Dalam waktu singkat PKI dapat muncul kembali praktis tanpa tantangan dari golongan non-komunis. Walaupun, ada pendapat, bahwa gerakan komunis lebih mudah diawasi bila mereka diberi legalitas. Sebagian lagi berpendapat, bahwa walau bagaimanapun PKI adalah partai kecil dan lemah sehingga tidak merupakan bahaya karena PKI telah banyak kehilangan tokoh­-tokohnya yang mati tertembak dalam pemberontakaan di Madiun yang menyebabkan organisasinya berantakan dan anggotanya tinggal beberapa ribu orang.

Pendapat tersebut dipergunakan sebaik-baiknya oleh PKI dibawah kepemimpinan DN. Aidit untuk bangkit dan mengembangkan kembali partainya melalui jalan damai (jalan parlementer). Jalan damai tersebut bermakna kesementaraan karena pertama, bagi PKI jalan damai sebagai suatu penipuan (desepsi) guna mendapatkan simpati dan dukungan masyarakat, sekalipun secara ideologis tetap menempuh jalan kekerasan (revolusioner) untuk mencapai tujuan akhirnya, yakni merebut kekuasaan negara; kedua, menggunakan lembaga perwakilan (DPR) untuk memperoleh kemenangan dari sisi lain, yaitu masuk ke dalam kekuatan sosial politik lain, agar dapat mempengaruhi dan kalau mungkin menguasai organisasi lain itu, untuk mendukung kepentingan politik PKI dalam mencapai tujuan organisasi tersebut.[2]

Masuknya PKI dalam parlemen dimulai sejak dilantiknya Parlemen dan Senat RIS. Dewan Perwakilan Rakyat RIS tersebut mewakili seluruh rakyat Indonesia, dan anggotanya berjumlah 156 orang anggota.[3]

Dalam parlemen RIS tersebut terdapat tiga fraksi yakni Fraksi Islam, Fraksi Nasionalis dan Fraksi Sosialis. Fraksi Islam ini memperjuangkan ideologi Islam yang didukung oleh partai Masyumi, PSII dan NU; Fraksi Nasionalis didukung oleh PNI dan PIR sedangkan Fraksi Sosialis didukung oleh PKI dan partai Buruh. Anggota parlemen RIS dilantik oleh Presiden Soekarno pada tanggal 15 Pebruari 1950 bertempat di gedung “Concordia” Jalan Sipayers no. 1 Jakarta (sekarang Departemen Keuangan, Jalan Dr. Wahidin 1). Kemudian pada keesokan harinya, 16 Pebruari 1950, Parlemen RIS mengadakan sidangnya yang pertama kali.

Dalam sidang parlemen pertama ini berbicara wakil-wakil dari berbagai daerah. Masalah yang menjadi perdebatan adalah mengenai soal kedudukan negara-negara bagian berhubung dengan diajukannya rencana undang-undang oleh pemerintah mengenai perubahan susunan kenegaraan di berbagai daerah. Wakil-wakil dalam parlemen baik wakil dari pihak Republik (RI) maupun wakil-wakil di luar daerah Republik (negara-negara) menghendaki hapusnya negara-negara boneka Belanda.

Mr. Sartono dari fraksi nasional terpilih sebagai Ketua Parlemen RIS dalam pemilihan yang berlangsung tanggal 21 Pebruari 1950. Pada keesokan harinya 22 Pebruari 1950 dilakukan pemilihan Wakil Ketua dan Sekretaris Jenderal Parlemen, masing-masing terpilih Mr. Tambunan (Wakil Ketua I), Arudji Kartawinata (Wakil Ketua II) dan Mr Sumardi sebagai Sekretaris Jenderal.[4]Pimpinan Parlemen tersebut disahkan oleh Presiden Sukarno pada hari itu juga dengan Keputusan Presiden RIS No. 99 tahun 1950.[5] Sebagai Ketua Senat terpilih M.A. Pellaupessy dan wakilnya Mr. Teuku Moh. Hasan.

Dengan terbentuknya Negara Kesatuan sejak tanggal 17 Agustus 1950, maka anggota-anggota parlemen dan Senat RIS semua menjadi anggota parlemen Dewan Perwakilan Rakyat Sementara Republik Indonesia (DPRS- RI).

Dalam sidang terbuka parlemen pada bulan Oktober 1951, PKI mengajukan mosi agar persetujuan KMB segera dibatalkan. Mosi itu diajukan oleh anggota PKI Peris Pardede CS. Mosi Pardede tersebut disokong oleh “fraksi kiri” sepenuhnya. Tujuan dari mosi ini tidak lain, PKI ingin tampil kembali secara parlementer. Mosi Pardede menghendaki perubahan posisi kabinet Natsir dan pembatalan perjanjian KMB dengan segala konsekuensinya, didukung pula oleh PSI.[6]

Sementara itu Program Kabinet Natsir tidak dapat berjalan sebagaimana diharapkan. PNI sebagai partai kedua terbesar dalam parlemen tidak turut serta dalam kabinet, karena merasa tidak diberi kedudukan yang sesuai. PNI sebagai partai oposisi, melalui anggotanya di Parlemen S. Hadikusumo, menyampaikan mosi kepada pemerintah yang isinya tentang pencabutan PP No. 39 tahun 1950 mengenai pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sementara (DPRDS) dengan alasan tidak demokratis. Mosi yang terkenal dengan mosi Hadikusumo ini dimajukan dalam sidang Parlemen tanggal 12 Januari 1951. Mosi di tandatangani oleh S. Hadikusumo (PNI), Sutarjo (PIR), Karnadijaya (Parindra), Tejasukmana (Partai Buruh), Aruji Kartawinata (PSII), Tambunan (Parkindo), Abdulhayat (Buruh), Abdulrachman (Tani), Tjugito (PKI), K. Werdoyo (Buruh) dan Moch. Enoch (Parki).[7] Mosi Hadikusumo mendesak kepada pemerintah supaya :

  1. Secepat mungkin mencabut PP. 39/1950 dan lain-lain peraturan semacam itu.
  2. Mengganti peraturan-peraturan tersebut di atas dengan UU pemilihan atas peraturan pemilihan yang demokratis.
  3. Membubarkan DPR Daerah yang telah terbentuk menurut peraturan-peraturan pemerintah tersebut di atas.[8]

Parlemen membahas mosi Hadikusumo tersebut pada sidang tanggal 19 Januari 1951. Setelah melalui perdebatan yang menegangkan, akhirnya sidang parlemen tanggal 22 Januari 1951 menerima baik Mosi Hadikusumo. Namun pemerintah (kabinet) tidak dapat melaksanakan mosi itu karena alasan juridis formal dan politis. Antara pemerintah dan parlemen terjadi perbedaan faham (pandangan).

Penerimaan mosi Hadikusumo oleh Parlemen tersebut menimbulkan reaksi spontan, dan ketegangan-ketegangan politik di daerah-daerah sukar dihindarkan.

Karena berbagai masalah, akhirnya PM. Natsir menyerahkan mandatnya sebagai Perdana Menteri pada tanggal 20 Maret 1951 kepada Presiden Soekarno. Berdasarkan keputusan Presiden No. 43 tahun 1951, maka sejak 21 Maret 1951 Kabinet Natsir didemisionerkan, sambil menunggu kabinet baru dibentuk.

Kabinet Natsir digantikan oleh Kabinet Dr. Sukiman Wirjosandjojo (Masyumi) dengan wakilnya Suwiryo dari PNI. Dalam programnya Kabinet Sukiman banyak meneruskan kebijaksanaan kabinet sebelumnya. Kabinet Sukiman memulai tugasnya masih berhadapan dengan masalah pemogokan buruh, yang merupakan masalah yang cukup serius. Sukiman mengambil alih pelaksanaan Keputusan Militer Nomor 1 dari pemerintahan Natsir. Pelaksanaan keputusan ini tidak meredakan situasi malahan menambah ketegangan situasi. Pemimpin PKI (Aidit) melihat posisi pemerintah yang dalam keadaan sulit kemudian melancarkan kembali aksi-aksi tuntutan baru, dalam rangka mencari popularitas, yakni menuntut tunjangan lebaran bagi kaum buruh Islam. Tuntutan tersebut diikuti dengan aksi-aksi pemogokan sehingga melumpuhkan Jawatan Kereta Api, perjalanan menggunakan bus dan perjalanan melalui jalur laut, pabrik-pabrik gula, perusahaan-perusahaan minyak, dan perkebunan-perkebunan. Oleh karena Keputusan Militer No.1 sudah dilaksanakan, maka terjadilah bentrokan-bentrokan dengan pihak militer/penguasa.

Dengan adanya tindakan penangkapan oleh Kabinet Sukiman terhadap orang-orang PKI yang lebih dikenal dengan Razia Agustus, terjadi reaksi dari fraksi PKI dalam Parlemen, di antaranya oleh Ir. Sakirman (Ketua Fraksi PKI dalam Parlemen), Ny. Mudigdo (anggota Fraksi PKI), Sidik Kertapati (Tani). Ir. Sakirman memprotes keras penangkapan-penangkapan terhadap orang-orang PKI, dan meminta supaya para tahanan tersebut segera di keluarkan dan direhabilitasi.[9] Sidik Kertapati menyatakan perlakuan-perlakuan para petugas pemerintah sewaktu ia ditahan sangat tidak demokratis tetapi fasistis, sedang Ny. Mudigdo mengatakan bahwa penangkapan-penangkapan dilakukan tanpa dasar hukum.[10]Ia meminta kepada pemerintah agar membentuk panitia pemeriksa tahanan terdiri dari anggota DPR dan dalam hal ini PKI sanggup memberi bantuan. Tanggapan di luar Fraksi PKI, muncul dari Mr. Sunarjo (PNI) yang meminta kepada pemerintah agar terdakwa yang tidak bersalah segera dilepaskan, dan yang salah diadili dalam sidang terbuka di muka hakim dengan pembelaan secukupnya.[11]

Selain itu secara diam-diam PKI mengorganisasi anggota-anggota keluarga yang terkena Razia Agustus dan mengadakan demonstrasi bersama ke Kejaksaan Agung, untuk menuntut keluarganya yang ditahan segera dibebaskan.[12]Untuk meredam reaksi-reaksi dan kritik tersebut, pada tanggal 29 Oktober 1951, PM Sukiman dalam sidang parlemen menjelaskan pertanggungjawaban pemerintah atas tindakan-tindakan pemerintah.

Sementara itu Menteri Luar Negeri Mr. Soebardjo menandatangani persetujuan Mutual Security Act (MSA) dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran di Indonesia. Persetujuan ini mendapat reaksi besar dari Parlemen. Fraksi PKI yang dipimpin oleh Ir. Sakirman memberikan reaksi paling keras.la menuduh bahwa negara-negara yang menerima MSA, akan kehilangan kedaulatan, kemerdekaannya dan dengan demikian akan menjadi negara jajahan Amerika di mana akan dapat dilakukan exploitasi sepenuhnya atas kekayaan benda dan tenaga manusia negeri-negeri yang terjajah itu untuk kepentingan peperangan dunia yang baru. Oleh karena itu PKI mengajak semua partai­-partai/gologan-golongan di seluruh Indonesia untuk bersatu dalam front nasional anti fasis guna menolak MSA tersebut dan lain-lain persetujuan yang merugikan rakyat Indonesia.[13]

Kerasnya kritik terhadap persetujuan tersebut, menyebabkan Menlu Mr. Soebardjo mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 21 Pebruari 1952. Akibat peristiwa itu kabinet Sukiman mengalami krisis. Dengan adanya krisis tersebut Masyumi maupun PNI yang merupakan partai pendukung kabinet menyarankan supaya PM. Sukiman menyerahkan mandatnya kepada Presiden Sukarno. Selanjutnya pada tanggal 23 Pebruari 1952 PM. Dr. Sukiman meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri.[14]

Kabinet baru yaitu Kabinet Wilopo, mulai bekerja sejak tanggal 3 April 1952.[15]Berbeda dengan kabinet terdahulu, Kabinet Wilopo mendapat dukungan dari PKI, SOBSI, Tani, maupun Masyumi dan PNI di Parlemen.[16]Perubahan sikap PKI maupun SOBSI dalam parlemen tersebut, merupakan peristiwa yang penting. Oleh karena untuk pertama kalinya sejak jatuhnya kabinet Mr. Amir Sjarifuddin pada tahun 1948, PKI dan SOBSI menyatakan menyokong kabinet.

Pada tanggal 8 April 1952, Sekretaris Biro SOBSI telah menyampaikan surat kepada Perdana Menteri Wilopo dan menyatakan harapan dan selamat atas terbentuknya Kabinet Wilopo tersebut. Bahkan mereka menilai susunan Kabinet Wilopo lebih progresif.[17]Dukungan terhadap Kabinet Wilopo juga disampaikan oleh Ir. Sakirman, Ketua Fraksi PKI dalam Parlemen dan K. Werdoyo (Ketua Fraksi Buruh dalam Parlemen) dalam sidang Parlemen tanggal 19 Juni 1952. Keduanya berpendapat dan “memuji” bahwa Kabinet Wilopo lebih demokratis daripada kabinet-kabinet sebelumnya.

Hal yang sangat penting untuk dicatat, jasa Kabinet Wilopo adalah penyusunan Undang-Undang Pemilihan Umum (Pemilu). Pada tanggal 25 November 1952, Kabinet Wilopo memajukan rencana undang-undang pemilihan umum, berdasarkan pilihan langsung kepada parlemen. Selanjutnya pada tanggal 27 November Parlemen mengadakan sidang untuk membahas rencana Undang-Undang Pemilu tersebut. RUU itu dibahas oleh Parlemen selama 18 minggu. Perhatian dari Fraksi Parlemen sangat besar, hampir semua Fraksi memajukan amandemen, yang jumlahnya mencapai 200 untuk RUU yang fidak lebih dari 110 pasal. Fraksi PKI memajukan + 100 amandemen dengan maksud untuk mengulur waktu, namun hal tersebut dapat dielakkan dan hasilnya pada tanggal 4 April 1953 undang-undang tersebut selamat dan diterima Parlemen. Undang-undang yang dihasilkan adalah Undang-Undang No.7 /1953 tentang pemilihan anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dikeluarkan pada tanggal 4 April 1953 dan dimuat dalam Lembaran Negara No. 29 tahun 1953.[18]

Sekalipun mula-mula PKI mendukung Kabinet Wilopo, akhirnya PKI menarik dukungannya karena dianggap merugikan PKI. Kabinet Wilopo pun tidak lama umurnya, karena terjadinya Peristiwa 17 Oktober 1952 dan persoalan tanah di Sumatra Timur atau Peristiwa Tanjung Morawa pada tanggal 16 Maret 1953 menyebabkan Kabinet Wilopo jatuh.

Peristiwa ini oleh PKI diangkat menjadi isyu politik nasional. Masuknya Peristiwa Tanjung Morawa ke dalam Parlemen diajukan oleh Serikat Tani Indonesia (SAKTI), yang lebih dikenal dengan sebutan mosi Sidik Kertapati.[19] Mosi tersebut menuntut agar pemerintah menghentikan sama sekali usaha pengosongan tanah yang diberikan kepada Deli Planters Vereniging (DPV) sesuai dengan keputusan pemerintah masa Kabinet Sukiman. Semua tahanan yang ada sangkut pautnya dengan Peristiwa Tanjung Morawa itu segera dibebaskan. Mosi Sidik Kertapati menjadi perdebatan dalam parlemen antara PNI dengan Masyumi. Bahkan PNI Sumatera Utara mengancam akan keluar dari PNI, apabila Fraksi PNI dalam Parlemen tidak mau mendukung mosi Sidik Kertapati. Sebagian besar anggota DPP PNI mendukung usul agar Gubernur A. Hakim meletakkan jabatannya. Akan tetapi usul ini tidak bisa diterima oleh pihak Masyumi.

Melihat perkembangan yang demikian, maka Dewan Partai PNI memutuskan untuk mendesak kedua partai pendukung kabinet agar kabinet mengundurkan diri saja. Pada tanggal 2 Juni 1953,[20] sebelum Parlemen mengadakan pemungutan suara terhadap mosi Sidik Kertapati, Kabinet Wilopo memutuskan untuk membubarkan diri.

Setelah Kabinet Wilopo jatuh, PKI mengeluarkan pernyataan yang menuntut pembentukan kabinet baru tanpa diikut sertakannya Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia). PKI menuntut dibentuknya kabinet Front Persatuan di mana turut serta semua elemen yang “demokratis dan progresif’ termasuk wakil-wakil dari kaum buruh dan tani. Kabinet baru yaitu Kabinet Ali Sastroamidjojo (PNI), susunan anggotanya dianggap oleh PKI memenuhi sebagian besar dari tuntutannya. Oleh karena itu PKI menyatakan sampai batas-batas tertentu memberikan dukungannya kepada Kabinet Ali Sastroamidjojo.

Dukungan PKI terhadap Kabinet Ali Sastroamidjojo disampaikan dalam pemandangan umum atas keterangan pemerintah dalam sidang pleno terbuka parlemen pada tanggal 29 Agustus 1953. Oleh Jr. Sakirman Ketua Fraksi PKI dalam parlemen[21].Kabinet Ali Sastroamidjojo ini dilantik oleh Presiden Soekarno pada tanggal 31 Juli 1953.

Selama masa Kabinet Ali, PKI memberikan dukungannya secara gigih pada PNI, walaupun diketahui oleh umum bahwa kabinet itu banyak terjadi korupsi, sehingga keadaan ekonomi terus menerus merosot yang menyebabkan penderitaan bagi rakyat dan juga bagi massa PKI sendiri. Namun demikian PKI tetap membela Kabinet Ali tersebut.

Setelah Kabinet Ali jatuh, diganti oleh Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi). Kabinet yang dipimpin oleh Masyumi dan didukung oleh PSI ini mendapat oposisi keras dari PKI. Kabinet Burhanudin Harahap berjasa dalam menyelenggarakan pemilihan umum yang pertama pada tanggal 29 September 1955, sekalipun hasil pemilu itu tidak menguntungkan Masyumi maupun PSI. Pada tanggal 3 Maret 1956 Burhanuddin Harahap mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno.

Sebagai penggantinya dibentuk Kabinet Ali Sastroamidjojo II. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi yang besar, di mana ketiga partai besar yaitu PNI, Masyumi dan NU memperkuat jajaran kabinet ini. Susunan Kabinet Ali II secara resmi diumumkan pada tanggal 20 Maret 1955 namun Kabinet Ali Sastroamidjojo II ini mendapat tantangan dari PSI dan PKI karena kedua partai tersebut tidak diikut sertakan.

Kabinet Ali menghadapi pelbagai masalah yang berat. Ada beberapa peristiwa penting yang perlu dicatat antara lain, lahirnya gerakan kedaerahan, diucapkannya Konsepsi Presiden mengenai demokrasi terpimpin, Kabinet Gotong Royong, dan diberlakukannya Undang-Undang Keadaan Bahaya sejak Maret 1957.

Sehubungan dengan situasi negara dilanda perpecahan politik, ideologi dan gerakan kedaerahan, Presiden Sukarno melontarkan Konsepsi Presiden pada bulan Pebruari 1957 dengan judul Menyelamatkan Republik Proklamasi.[22] Dalam konsepsinya itu Presiden mengisyaratkan Demokrasi Terpimpin akan dilaksanakan di Indonesia. Dalam rangka pelaksanaannya Presiden merasa perlu untuk membentuk kabinet gotong royong dan sebuah dewan nasional yang di dalamnya akan duduk wakil-wakil semua golongan fungsional.

Presiden Sukarno tanpa “tedeng aling-aling” (tirai) menghendaki agar orang-orang PKI duduk dalam kabinet gotong royong. Mengenai hal itu Presiden mengatakan antara lain sebagai berikut :

“Yah saya tahu, terhadap kepada PKI, ada beberapa saudara­-saudara atau pihak yang berkeberatan Apakah kita dapat terus menerus mengabaikan satu golongan yang di dalam pemilihan umum mempunyai suara enam juta”.[23]

Bagi PKI sendiri, konsepsi Bung Karno itu sangat menguntungkan. Oleh karena itu PKI segera menyatakan dukungannya walaupun masih dalam suasana pro dan kontra konsepsi Presiden, dan pada bulan Maret 1957 Undang-Undang Keadaan Bahaya (UUKB) diumumkan. Melalui undang-undang itu untuk sementara kegiatan semua partai politik dibekukan.

Gagasan akan dibentuknya kabinet gotong royong sama artinya dengan dibentuknya pemerintahan koalisi nasional. Pemerintahan koalisi nasional merupakan jalan lebar menuju Front Persatuan Nasional yang sudah lama di idam-idamkan oleh PKI.[24]

Selama masa Demokrasi Liberal ini, PKI menggunakan jalan damai (parlementer), karena kenyataan yang dihadapi PKI seperti Razia Agustus tahun 1951 (pada masa Kabinet Sukiman), disusul dengan berlakunya Undang-Undang Keadaan Bahaya 1957. Peranan PKI mulai meningkat tatkala eksekutif berada pada tangan kaum nasionalis kiri, yaitu dalam masa pemerintahan Ali Sastroamidjojo (1953 1955), di mana PKI secara tidak langsung duduk dalam jabatan eksekutif pula.

Dukungan PKI melalui parlemen kepada Kabinet Ali amat semakin jelas. PKI semakin memperkuat strategi jalan parlementer melalui dukungan tanpa reserve gagasan dan keinginan pribadi Presiden Sukarno, yang tertuang dalam Konsepsi Presiden 1957.

—DTS—

 

[1]     Sumber : Buku “Komunisme di Indonesia Jilid III: Konsolidasi dan Infiltrasi PKI Tahun 1950-1959, Jakarta: Pusjarah TNI, 1999

[2]     Zulfikar Ghazali, “PKI dan DPR Rl1950 -1966. Memahami Strategi Jalan Parlementer PKI”. Dimuat dalam PERSEPSI Edisi Khusus, Juni 1992, hal. 236.

[3]     Sekretariat DPR-GR, Seperempat Abad Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta, 1970, hal.94.

[4]     Bintan R: Saragih SH, Lembaga Perwakilan Dan Pemilihan Umum di Indonesia, Gaya MediaPratama, Jakarta, 1987 hal. 116.

[5]     Sekretariat DPR-GR, op. Cit., hal 98.Sin Po, 9 Oktober 1951.

[6]     Sin Po, 9 Oktober 1951.

[7]     Abadi, 1 Pebruari 1951.

[8]     Abadi, 20 Januari 1951.

[9]     Sin Po, 16 Pebruari 1952.

[10]    Sin Po, 21 Januari 1952.

[11]    Sin Po, 16 Pebruari 1952.

[12]    Sin Po, 27 Oktober 1952.

[13]    Sin Po, 27 Pebruari 1952.

[14]    Sin Po, 23 Pebruari 1952.

[15]    Departemen Penerangan, Susunan Kabinet Republik Indonesia 1945-1970, Pratnya Paramita, Djakarta, 1970 hal. 15.

[16]    Sin Po,20 Juni 1952.

[17]    Sin Po, 9 April 1952.1.

[18]    Badaruzzaman Busyairi, Boerhanuddin Harahap, Pilar Demokrasi, Bulan Bintang, Jakarta, 1989. hal. 89.

[19]    Ibid.

[20]    Ibid.,hal. 144.

[21]    Harian Rakjat, 31 Agustus 1953, hal.1.

[22]    Nugroho Notosusanto, Tercapainya Konsensus Nasional, 1966-1969, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1985, hal. 2.

[23]Presiden Sukarno, Menjelamatkan Republik Indonesia, Kementrian Penerangan, Djakarta, 1957, hal. 13.

[24]DN. Aidit, Menudju Indonesia Baru, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1955, hal. 957.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.