TAHANAN  MADIUN BOLEH PULANG  SEBENTAR

TAHANAN  MADIUN BOLEH PULANG  SEBENTAR  [1]

 

 

15 Maret 1963

 

Kawan-kawan dari Madiun tiba di stasiun Gambir. Satu per satu saya lihat mereka turun dari kereta api ketika saya berdiri di peron bersama Sudarpo. Di muka sekali tampak sesosok tubuh pendek pakai peci dan sarung. Ia Kyai Isa Anshary Rada kurus kelihatannya .

Lalu turun Anak Agung Gde Agung pakai celana pendek berjas hujan dan di belakangnya menyusul tubuh jangkung Mochtar Lubis. Kedua orang ini dinamakan oleh M. Cranston dalam buku Human Rights Today yang baru saya baca sebagai prisoners of conscience (tahanan-tahanan hati nurani), yakni mereka  yang terdapat di berbagai negeri yang ditahan secara fisik oleh pihak yang berkuasa tanpa pernah mengalami pengadilan selayaknya sedangkan mereka itu tidak pernah di depan umum melakukan atau menganjurkan tindakan kekerasan terhadap pihak yang memerintah. Lalu turun Subadio Sastrosatomo pakai celana pendek

sampai di atas dengkul alias “celana nabi” dan ia berkata:

‘Lho wis bengi kok kowe ngenteni“.

Kami bersalaman dan ia berseri-seri mukanya. Lalu yang lain-lain muncul. Prawoto pakai kemeja lurik Yogya,bermantel, berjalan tetap tenang dan bermartabat. Jenggotnya tentu tidak ketinggalan M. Yunan Nasution menegur saya dalam bahasa Minang. Mohd. Roem juga pakai mantel berjalan pincang seperti biasa .E.Z. Muttaquien dari GPII dikerumuni oleh istri dan handai tolannya.

Max Hamid Alkadri, Sultan Pontianak telah disambut oleh istrinya. Muncul H. Princen, si Belanda totok yang pernah berjuang dalam TNI setelah ia meninggalkan tentara kerajaan Belanda, kemudian jadi warga negara RI kemudian naik haji kemudian jadi tokoh IP-KI.

Mereka itu semua tahanan-tahanan politik dari penjara Madiun yang diperbolehkan oleh Peperti pulang ke rumah masing-masing selama dua hari untuk berlebaran di tengah keluarga . Seperti juga halnya dengan Sjahrir yang waktu Lebaran boleh keluar sebentar dari tahanannya di RSPAD.

Dari salah seorang tahanan Madiun itu saya dapat keterangan, sebetulnya tanggal 3 Maret yang lalu mereka sudah bisa datang ke Jakarta. Peperti telah memutuskan memberi izin kepada mereka puIang sebentar menengok keluarga. Tetapi kabarnya Dr. Subandrio, ketua Badan Pusat Intelijen (BPI) tidak setuju tahanan-tahanan itu diberi kelonggaran demikian.

Sampai di mana benarnya cerita ini saya tidak tahu tentunya. Tetapi saya pikir dia bukan nonsens alias omong kosong sama sekali. Saya ingat membaca buku Arnold Brackman Indonesian Communism yang baru saja terbit belum lama berselang. Brackman menyingkapkan bagaimana anggapan Subandrio tentang Sjahrir dan kawan-kawannya yang ditahan itu. Dalam sebuah interview dengan Brackman di New Rochelle, Amerika tanggal 17 Agustus 1962 Subandrio menyatakan tentang Sjahrir dan lain-lain orang yang telah ditahan sejak tanggal 16 Januari 1962 sebagai berikut:

“They have no place in our society” (Mereka tidak punya ternpat dalam masyarakat kami).

Jadi mengingat ucapan Subandrio tadi bukan mustahil cerita tadi benar. (SA)

 

 

[1] Catatan wartawan senior Rosihan Anwar, suasana sosial politik bangsa Indonesia, menjelang peristiwa G30S-PKI 1965, antara tahun 1961-1965. Dikutip dari buku “Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965”, Jakarta : Sinar Harapan, 1980, hal. 349-351.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.