Perencanaan Kudeta PKI 1965 (1): Situasi yang Mendukung

Perencanaan Kudeta PKI 1965 (1): Situasi yang Mendukung [1]

 

cropped-monumen-icon.pngMerupakan watak dari Partai Komunis di manapun bahwa tujuan akhir perjuangannya ialah merebut kekuasaan negara dengan mendirikan Pemerintahan Demokrasi Rakyat. Partai Komunis mempunyai doktrin mereka pegang teguh. Kesediaan mereka menerima ideologi nasional hanyalah merupakan siasat, agar keberadaannya tidak dicurigai dan diberi hak hidup berdampingan dengan partai politik lain. Dalam kacamata komunis jangankan menerima ideologi lain, meniru gaya hidup kapitalis saja sudah dianggap dosa besar sebagai perbuatan reformis.

Partai Komunis mau tunduk kepada ketentuan pemerintah, menerima ideologi nasional hanya sebagai alat agar mereka diberi hak hidup. Akan tetapi begitu kekuatan dan pengaruhnya sudah besar, “kesetiaan dan. kepatuhan” segera ditinggalkan. Kenyataan itu dapat dilihat pada tahun 1965. Pada saat pengaruh PKl sudah mendominasi percaturan politik nasional, pernyataan tunduk pada “Pancasila hanya sebagai alat pemersatu dan kalau sudah bersatu Pancasila tidak diperlukan lagi”.

Pada tahun 1965 PKI sudah berada di atas angin, situasi dan kondisi politik nasional memberi peluang kepada PKI untuk merebut kekuasaan. Situasi dan kondisi yang menguntungkan PKl antara lain:

a. Dominasi PKI di bidang politik

Sejak awal kebangkitan PKI pada tahun 1950, mereka merubah pola politik dari ekstrim kepada politik kerjasama. PKI merasakan banyak fihak yang terus merasa curiga terhadap PKI. Karena itu PKl membina kerjasama dengan salah satu partai besar yang tidak memusuhinya yaitu kelompok Nasionalis (PNI). PKl menyadari kerjasama ini menguntungkan PNI, tetapi bagi PKl yang terpenting bahwa kebijaksanaan pemerintah tidak merugikan perjuangan PKI.

Mereka menyadari perlunya PKI menempuh jalan parlementer, sebab massa PKI belum siap untuk menempuh jalan revolusi. Ternyata kemudian dengan menempuh perjuangan Parlementer, pertumbuhan PKI semakin pesat. Pada Pemilu 1955, PKI muncul sebagai kekuatan nomor 4 terbesar di Indonesia. Hasil pemilihan umum yang tadinya diharapkan dapat mendatangkan kestabilan politik ternyata tidak terwujud malahan semakin menimbulkan jurang perpecahan. Di daerah-daerah terjadi pergolakan yang bermuara pada timbulnya pemberontakan PRRI/Perrnesta. Pemerintah mengumumkan Negara Dalam Keadaan Bahaya (SOB), pada 1957 semua kegiatan politik dibatasi. Sejak itu, peran partai politik semakin merosot. Dengan tindakan tegas pemerintah, ABRI dengan bantuan rakyat berhasil memadamkan pemberontakan itu dalam waktu relatif singkat. Setelah pemerintah dengan sukses memadamkan pemberontakan, di Indonesia muncul dua kekuatan yaitu NU dan PKI yang sebelumnya bekerjasama dengan PNI. Kini PKI mengalihkan kerjasama kepada Presiden Soekarno untuk melawan TNI -AD. Presiden Soekarno yang tidak memiliki kekuatan terorganisir untuk mendukung gagasannya, berharap dapat memanfaatkan dukungan PKI yang besar dan militan bagi tujuan politiknya.

PKI masih berharap memanfaatkan cara parlementer untuk mengembangkan kekuatannya. Terutama setelah melihat Presiden Soekarno banyak memberikan konsesi politik untuk duduk dalam badan-badan pemerintahan yang baru dibentuk. PKI sudah memperkirakan jika Pemilihan Umum ke-2 dilaksanakan, PKI akan dapat keluar sebagai pemenang, saingan dan musuh utamanya Masyumi sudah dibubarkan. Dengan demikian jalan menuju kekuasaan komunis terbuka lebar tanpa menempuh jalan revolusi.

Sampai tahun 1965 semua kekuatan politik dapat dibungkarn PKI. Kalaupun ada partai yang anti PKI, mereka tidak berani lagi menyuarakan aspirasinya. Siasat PKI menghancurkan partai-partai politik dilakukan sebagai berikut :

  1. Merangkul partai politik tertentu supaya mau menerima atau mendukung politik PKI, atau minimal tidak menghalangi politik PKI.
  2. Melakukan isolasi politik terhadap partai-partai atau kekuatan yang menentangnya. Partai atau kekuatan tersebut dipojokkan dengan berbagai tuduhan dan fitnahan, sampai akhirnya dibubarkan (BPS, Manikebu, Murba).
  3. Melakukan infiltrasi ke dalam tubuh partai serta kekuatan tertentu. PKI menyusupkan kader-kadernya ke dalam tubuh partai dan organisasi tertentu, dan dengan kelihatannya dapat mengadu domba antara pimpinan maupun antar anggota. Dengan demikian mereka dapat menguasai pimpinan partai atau organisasi itu untuk menjadi satelit PKI.
  4. Melakukan isolasi secara phisik. ini ditujukan kepada mereka yang oleh PKI disebut “kepala batu”, tidak mau tunduk pada keinginannya. Kepada mereka yang dianggap kepala batu, PKI tidak segan melakukan tindakan kekerasan, teror sampai kepada pembunuhan.

b. Kebijaksanaan Politik Dalam Negeri Menguntungkan PKI

Dukungan PKI tanpa reserve terhadap kebijaksanaan Presiden Soekarno, dibalas oleh Presiden Soekarno dengan memberikan konsesi-konsesi politik kepada PKI yang dianggapnya sebagai partai yang revolusioner. Kepercayaan yang diberikan ini oleh PKI dimanfaatkan untuk memasukkan Program PKI sebagai Program Nasional. Program Manipol tidak lain Program MIRI PKI seperti yang diakui sendiri oleh Sjam Kamaruzaman, yang menyatakan melaksanakan Manipol dengan baik berarti melaksanakan program PKI dengan baik pula.[2]

Demikian pula halnya dengan program Nasakom, merupakan pemenuhan tuntutan PKI untuk duduk dalam pemerintahan dari Pusat sampai ke daerah-daerah. Di daerah-daerah yang tadinya pengaruh PKI masih relatif lemah, mendapat kesempatan berkembang, karena mereka pun harus terwakili di lembaga pemerintahan maupun DPRD. Di sini terlihat bahwa kebijaksanaan pimpinan nasional turut menyuburkan perkembangan PKI.

c. Kebijaksanaan Politik Luar Negeri

Politik penjajahan negara Barat (kapitalisme) terhadap Negara di Asia dan Afrika serta Amerika Latin menimbulkan pergolakan di negara-negara tersebut. Gelora semangat anti penjajahan (nekolim) itu dimanfaatkan oleh negara-negara Komunis, yang bertindak selaku pahlawan pembebasan nasional untuk menanamkan pengaruhnya. Keadaan ini dimanfaatkan oleh PKI dengan mempengaruhi Presiden Soekarno, untuk menentang pembentukan Federasi Malaysia yang diprakarsai Inggris. Federasi Malaysia itu dianggap PKI sebagai upaya Nekolim untuk mengepung Indonesia. Presiden Soekarno yang dikenal sebagai pelopor pembebasan nasional bangsa-bangsa Asia- Arika termakan bujukan PKI untuk menentang pembentukan Federasi Malaysia dengan menjalankan politik konfrontasi. Dibentuklah Komando Dwi Komando Rakyat (Dwikora) dengan tujuan membantu perjuangan kemerdekaan rakyat Malaysia dan Kalimantan Utara, mengenyahkan Inggris dan sekutu-sekutunya dari wilayah itu. Kebijaksanaan politik konfrontasi Indonesia mendapat dukungan kuat dari blok Komunis (RRC) dengan maksud menjepit kedudukan Amerika Serikat di Vietnam.

Kesempatan ini dimanfaatkan sebaik-sebaiknya oleh PKI untuk melatih orang-orangnya sebagai sukarelawan Dwikora, yang mencapai jumlah 21 juta orang. PKI mempersiapkan tenaga sukarelawan ini sebagai tenaga pemukul bila waktunya tiba untuk melancarkan perebutan kekuasaan.

d. Keadaan ekonomi yang terus merosot

Perjuangan membebaskan Irian Barat dilakukan dengan mengerahkan segenap kemampuan bangsa Indonesia tidak terkecuali di bidang ekonomi. Rencana pembangunan ekonomi yang digariskan Presiden Soekarno tidak berjaIan, karena titik berat perjuangan terfokus pada bidang politik mercu suar. Keadaan ekonomi yang suram ini dibebani lagi oleh perjuangan baru yaitu mengganyang Malaysia. PKI memang sengaja menciptakan situasi yang demikian untuk menghilangkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Dengan liciknya PKI menyebut kebobrokan ekonomi karena pemerintah belum melaksanakan kabinet berdasarkan Nasakom. Karena itu PKI bersama ormas-ormasnya menuntut pembentukan Kabinet Nasakom sekarang juga. Tuntutan PKI itu sama sekali di Iuar sasaran, padahal mereka sengaja berbuat supaya keadaan ekonomi collapse, sebagai prasyarat merebut kekuasaan negara.

e. Tersedianya Tenaga Terlatih (Sukwan) yang besar

Perjuangan Pembebasan Irian Barat (Trikora) dan konfrontasi dengan Malaysia (Dwikora) telah dimanfaatkan oleh PKI untuk melatih sukarelawan-sukarelawan di berbagai pelosok. Tidak hanya sampai di situ, PKI menuntut pada pemerintah untuk mempersenjatai mereka. Pada saat hangat-hangatnya perjuangan Dwikora awal 1965, PKI bersama semua ormasnya dengan gencar menuntut mempersenjatai kaum buruh dan tani menghadapi serangan imperialis.

D.N. Aidit dalam pidato radio dan televisi menyambut Komando Presiden ke Iuar dari PBB, meminta supaya buruh dan tani dipersenjatai. Menurut Aidit bila senjata sudah ada di tangan buruh dan tani, tidak ada kekuatan di dunia yang bisa mematahkan.[3] Tuntutan senada disampaikan lagi pada kesempatan menerima delegasi Pamong Desa dari Jawa Tengah.[4]

Ada semacam skenario yang digariskan PKI, yaitu begitu suatu tuntutan dikemukakan oleh ketua Partai, maka semua ormas­-ormasnya melakukan tuntutan yang sama pula termasuk partai politik yang menjadi satelit PKI. Hal itu tercermin dari pernyataan Ketua Partindo K. Wardojo. Ia menyetujui usul Ketua CC PKI D.N. Aidit kepada Presiden Soekarno untuk mempersenjatai buruh dan tani. Menurutnya revolusi Indonesia adalah revolusi rakyat, sehingga tindakan mempersejatai buruh dan tani benar-benar merupakan bersatunya rakyat dan Bung Karno.[5]

Tuntutan PKI itu belum terlaksana, terutama karena mendapat tantangan dari Pimpinan TNI Angkatan Darat. Menurut Jenderal Yani kalau ternyata Nekolim menyerang Indonesia, tidak hanya buruh dan tani saja dipersenjatai tetapi seluruh rakyat Indonesia. PKI terus saja meningkatkan tuntutannya, yaitu berupa Pembentukan Angkatan V. Gagasan PKI ini mendapat tanggapan positif dari Presiden Soekarno, seperti yang diucapkannya pada pembukaan kuliah perdana Lembaga Pertahanan Nasional pada bulan Mei 1965. Juga Men/Pangau Omar Dhani menyetujui gagasan tersebut. Akan tetapi Menteri/Pangad Jenderal A. Yani menentangnya. Semula gagasan pembentukan Angkatan V berasal dari saran PM Chou En Lai kepada Presiden Soekarno, yang sekaligus menjanjikan akan memberikan bantuan senjata sebanyak 100.000 pucuk.[6] Dari dokumen-dokumen PKI yang ditemukan kemudian ternyata bahwa Angkatan V itu berintikan Pemuda Rakyat, dan Buruh Tani yang nantinya dijadikan tenaga poros dari Tentara Republik Rakyat Indonesia.[7]

f. Penguasaan Media Massa oleh PKI

PKI menyadari besarnya peranan media massa. Sebab itu menjadi salah satu program PKI untuk menguasai media massa dan menghancurkan media massa kekuatan politik lain yang menentangnya. Sampai awal tahun 1965, PKI berhasil menguasai media massa. Semua surat kabar dan majalah yang tidak selaras dengan garis politik PKI dicabut Surat Ijin Terbitnya. Surat kabar atau majalah tersebut dituduh sebagai antek BPS.

Pada tanggal 24 Februari 1965, sebanyak 24 buah surat kabar harian dan mingguan di Jakarta dan Medan dicabut SIT -nya. Antara lain yang terbit di Jakarta ialah: Merdeka, Warta Berita, Karyawan, Garuda, Semesta, Berita Indonesia, Revolusioner, Indonesian Observer, Mingguan Berita Indonesia, Mingguan Sport dan Film, Gelora Minggu dan Suluh Minggu. Sedang yang terbit di Medan ialah : Harian Indonesia Baru, Bintang Indonesia, Tjerdas Baru, Mimbar Umum, Waspada, Duta Minggu, Suluh Massa, Mimbar Taruna, Genta Revolusi, Resopim dan Warta Soksi.[8]

Nasib yang sama kemudian menyusul beberapa surat kabar harian, mingguan dan majalah yang terbit di Jakarta, Medan, Padang, dan Semarang. Pencabutan ijin terbit dilakukan Menteri Penerangan pada tanggal 23 Maret 1966 atas : Majalah Mingguan Film (Jakarta), Harian Pembangunan, Mingguan Waspada Taruna, Siaran Minggu dan Syarahan Minggu (Medan), Harian Aman Makmur (Padang), dan Mingguan Pos Minggu (Semarang)[9] Sedangkan di Surabaya dilakukan pencabutan ijin terbit terhadap surat kabar Manifesto, Suara Rakjat, Obor Revolusi, dan Dinamika.[10]

Tindakan selanjutnya adalah pemecatan wartawan-wartawan senior oleh PWI Pusat terhadap Adam Malik, BM. Diah, HB. Jasin, Sajuti Melik, dan Tengku Sjahril dengan tuduhan sebagai tokoh pendukung BPS.[11] PKI berhasil menguasai PWI serta Lembaga Kantor Berita Antara.

 

g. ABRI yang tidak kompak

Tidak kompaknya ABRI sebenarnya tidak lepas dari kebijaksanaan politik nasional saat itu. Presiden Soekarno dalam mencapai ambisi politiknya, tidak menghendaki adanya sesuatu kekuatan lain yang dapat menyainginya. Sebab itu upaya mewujudkan integrasi ABRI yang ditangani lr. Djuanda tidak terlaksana. Reorganisasi ABRI tahun 1962 yang menempatkan Presiden Soekarno memimpin langsung ABRI, menyebabkan ABRI tidak kompak. Situasi revolusioner dan “jor-joran” (kompetisi yang tidak sehat antar ABRI) sangat menguntungkan PKI. Di lain pihak menjadi salah satu program PKI untuk membuat ABRI tidak kompak, supaya lebih mudah diadu domba. Rangkaian ceramah-ceramah Ketua CC PKI D.N. Aidit di semua lembaga pendidikan ABRI dengan sengaja mencoba mengadu domba ABRI. Tidak sedikit dari mereka yang termakan hasutan tersebut. Tidak kompaknya ABRI itu antara lain tercermin dari perlombaan antar angkatan dalam membangun kekuatan. Di dalam satu angkatan timbul semacam rasa tidak puas antara bawahan dan atasan.

Secara umum dapat dikatakan situasi nasional pada tahun 1965 benar-benar sangat menguntungkan PKI. Semua kekuatan politik sudah berada di bawah dominasi PKI. Kalaupun ada kekuatan anti PKI, sudah tidak lagi berani menentang secara terbuka. Walaupun PKI sesumbar mengatakan bahwa sepertiga kekuatan ABRI sudah berada di tangannya, namun untuk memulai gerakan mereka masih memperhitungkan kekuatan TNI-AD, yang dinilai PKI sangat anti komunis dan memiliki militansi dan semangat nasional tinggi. Sebenarnya di dalam TNI Angkatan Darat sendiri sel-sel PKI sudah berhasil mempengaruhi anggota-anggota TNI-AD. PKI sendiri sangat berkepentingan terhadap kekuatan bersenjata yang dapat mendukung aksi -aksinya.

Sebenarnya perencanaan kudeta PKI (Ren. Ops) sudah lama disiapkan. Akan tetapi pelaksanannya (Prin.Ops) masih menunggu saat yang tepat. Menurut pengakuan Ketua Biro Chusus Sjam Kamaruzaman di muka Mahmillub, dalam diskusi-diskusi CC PKI sejak 1965, Pimpinan TNI Angkatan Darat dinilai sebagai penghalang pelaksanakan program perjuangan PKI bahkan menunjukkan sikap permusuhan terhadap PKI. Selain itu, PKI menilai TNI Angkatan Darat memiliki potensi kekuatan sosial politik yang tangguh sehingga diperlukan perhitungan yang matang untuk menghadapinya.

Tindakan pimpinan TNI-AD yang dianggap menghalangi program PKl antara lain:

  1. Pengembangan Doktrin Teritorial, dianggap menghambat penyebaran pengaruh PKI di daerah pedesaan.
  2. Jawaban terhadap tuntutan PKI untuk Nasakomisasi ABRI. Jenderal Yani menyatakan, “bahwa keinginan PKI untuk campur tangan dalam pimpinan ABRI dirasa tidak diperlukan” khususnya partai politik tidak perlu mencampuri urusan Angkatan Darat, karena dapat diatur sendiri oleh Angkatan Darat.
  3. Penolakan tuntutan pembentukan Angkatan V oleh Men/ Pangad Jenderal Yani. Bahwa pembiayaan bagi pembinaan empat Angkatan Bersenjata saja telah cukup berat membebani rakyat, dan bahwa pengendalian komando terhadap lima angkatan akan menjadi lebih sulit lagi.
  4. Dalam Seminar TNI Angkatan Darat pada bulan April 1965, TNI-AD mengeluarkan sikap, “Menegakkan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit, tetap taat kepada setiap komando Presiden/Mandataris MPRS/Pangti ABRI/ PBR Bung Karno, dan waspada terhadap gejala-gejala penyelewengan dari ideologi Pancasila.

Menghadapi kenyataan itu, PKI secara sistematis melakukan tindakan memojokkan Pimpinan TNI-AD dengan tuduhan :

  1. Sebagai Kabir {Kapitalis Birokrat} bertujuan memperkaya diri serta mempunyai maksud jahat untuk merebut kekuasaan.
  2. Pimpinan TNI-AD bersekongkol dengan feodalis dan imperialis. Tindakan tersebut adalah kontra revolusioner karena menentang kekuatan progresif revolusioner/PKI.
  3. Membuat isyu “Dewan Djenderal”, yang menggambarkan bahwa pimpinan TNI-AD bermaksud melakukan kudeta. Sebagai tindak lanjutnya dalam briefing CC PKI pada bulan April 1965 diputuskan nama-nama Jenderal yang harus disingkirkan, A.H. Nasution, A Yani, Haryono MT, Suprapto, Pandjaitan, S. Parman dan Sutojo. Di samping itu terdapat pula beberapa tokoh nasional : Moh. Hatta, Adam Malik, dan Sukarni. Nama-nama tersebut kemudian diajukan Sjam kepada D.N. Aidit pada bulan September 1965. Nama-nama Hatta, Adam Malik dan Sukarni dicoret agar tidak membuka front yang lebih lebar.

Kegiatan persiapan gerakan dimulai pada tanggal 12 Agustus 1965, setelah Ir. Sakirman menyampaikan info “Dewan Djenderal” kepada Ketua CC PKI D.N. Aidit di kediamannya.[12] Informasi ini kemudian dibawa ke Sidang Politbiro diperluas yang dihadiri oleh D.N. Aidit, M.H. Lukman, Njoto, Sudisman, Ir. Sakirman, Anwar Sanusi, Rewang, Suwandi, Peris Pardede dan Njono. Pada sidang itu dibahas 3 topik, yaitu :

  1. Kesehatan Presiden Soekarno yang semakin parah dalam bulan Agustus 1965. Menurut informasi dokter RRC yang merawatnya, Presiden Soekarno tidak akan bertahan lama. Kalau tidak meninggal, ia akan lumpuh.
  2. Informasi adanya “Dewan Djenderal” yang merencanakan kudeta (coup d’etat)
  3. Adanya inisiatif dari para “perwira yang ‘berpikiran maju” yang mau mendahului kup (coup) Dewan Djenderal.

Mengenai Dewan Djenderal menurut pengakuan Waluyo, “Dewan Djenderal” ini adalah produk Biro Chusus. Menurut Munir Dewan Djenderal tidak lebih dari suatu identifikasi, suatu pemberian nama untuk sasaran tertentu.[13] Menurut pengakuan Njono di depan Sidang Mahmillub, pembahasan itu berlangsung selama 3 kali sidang. Isyu “Dewan Djenderal” merupakan isyu yang dilontarkan Biro Chusus PKl yang disebarkan dalam bulan Mei, Juni, Juli 1965. Tujuannya adalah untuk memanaskan situasi revolusioner. Isyu tersebut disebarkan melalui, badan-badan partai, maupun secara perorangan oleh tokoh-tokoh PKl kepada pejabat-pejabat tinggi Negara, baik secara formal maupun secara informal. Selain itu juga disebarkan melalui Fraksi PKl dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-GR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), maupun Front Nasional.

Pada sidang terakhir D.N. Aidit menanyakan kepada para peserta, apakah mereka dapat menyetujui apabila “perwira-perwira yang berpikiran maju” itu mendahului? Karena semua peserta diam, Aidit bertanya lagi. “Kalau begitu apakah sidang Politbiro CC dapat menyerahkan persoalan ini kepada Dewan Harian Politbiro?” Oleh karena semua anggota diam saja, maka Aidit memutuskan hal itu diserahkan kepada Dewan Harian Politbiro CC yang terdiri atas empat anggota yaitu D.N. Aidit, Njoto,MH. Lukman dan Sudisman. Kemudian dari hasil rapat Dewan Harian Politbiro diambil kesepakatan dan kebulatan untuk melaksanakan operasi militer dengan membentuk Dewan Revolusi sebagai pengganti Kabinet Dwikora yang harus digulingkan. Sebutan “Dewan Revolusi” itu berasal dari saran Sudisman, karena menganggap junta militer sudah tidak populer.[14] Kemudian keputusan ini disampaikan kepada partai dalam Sidang Politbiro CC PKl tanggal 28 Agustus 1965.

Berdasarkan keputusan Rapat Dewan Harian Politbiro CC untuk mengadakan operasi militer, rapat menugaskan kepada Njono (Sekretaris Comite PKl Jakarta Raya dan anggota Politbiro) untuk menyiapkan tenaga cadangan guna membantu operasi militer tersebut. Sedangkan kepada Sjam (Kepala Biro Chusus) diperintahkan untuk menyiapkan konsep Dewan Revolusi. Setelah konsep tersusun diserahkan kepada D.N. Aidit. D.N. Aidit mengadakan beberapa perubahan tentang beberapa nama dan mengembalikan konsep tersebut kepada Sjam pada tanggal 30 September 1965. Pedoman yang digunakan dalam menyusun konsep Dewan Revolusi itu, ialah untuk memberi kesan bahwa Dewan ini mewakili dan mencakup semua golongan masyarakat baik sipil maupun militer, khususnya sesuai dengan gagasan Nasakom. Komposisi anggota Dewan Revolusi dibuat sedemikian rupa sehingga seolah-olah tidak ada dominasi pihak komunis. Dewan Revolusi merupakan kekuasaan tertinggi yang bersifat sementara, sebagai peralihan menuju pemerintahan baru yang dikehendaki PKI. Mengenai penyiapan tenaga cadangan, Njono selaku Sekretaris Comite PKI Jakarta Raya memerintahkan kepada Comite-comite Seksi PKI untuk menyiapkan tenaga sekitar 2.000 orang. Sedang pengiriman tenaga-tenaga itu untuk dilatih di Lubang Buaya dikoordinasikan oleh Sukatno (Sekjen Pemuda Rakyat). Rupanya ketika Politbiro CC PKI melancarkan isyu adanya Dewan Djenderal (DD), secara diam-diam organisasi massanya telah mempersiapkan kekuatan dengan latihan kemiliteran untuk anggotanya, dengan dalih Latihan Sukarelawan Dwikora di Lubang Buaya.

Menurut kesaksian Mayor Udara Sujono dalam Sidang Mahmilub Njono, latihan Hansip di Lubang Buaya didasarkan pada statemen Menteri/Pangau Omar Dhani. Di mana ditegaskan berulang kali tentang pidato Presiden Soekarno di Lemhannas tentang pembentukan Angkatan V. Dalam statemen itu Menteri/Pangau mendukung adanya Angkatan V.

Latihan Angkatan I itu dimulai pada tanggal 5 Juli 1965. Setiap angkatan berlangsung antara 7 sampai 10 hari. Latihan ini diberi nama Wahana Krida Ketahanan Revolusi (Wada Hanrev). Dalam kenyataannya yang direkrut untuk mengikuti latihan di Lubang Buaya ini adalah organisasi massa PKI, pendukung Angkatan V seperti BTI, Pemuda Rakyat, CGMI, SOBSI, SBKA, Serbaud, dan lain-lain. Di antara mereka juga terdapat peserta dari luar daerah Jakarta. Sampai saat meletusnya kudeta G30S/PKI, telah berhasil di didik 5 angkatan dengan jumlah kurang lebih 3.700 orang. Para instruktur/pelatih terdiri dari oknum Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan P3 AU, khususnya mereka yang telah lulus mengikuti Kursus Kader Nasakom ditambah sejumlah anggota Front Nasional Pusat. Tokoh-tokoh PKI seperti Tjugito dan Sunardi ikut memberi pelajaran.

Walaupun latihan ini diselenggarakan oleh oknum anggota (PPP) AU yang dipimpin Mayor Udara Sujono, tetapi semua kebutuhan latihan (termasuk biaya makan dan kebutuhan lain) dan penyaringan (seleksi) peserta latihan ditangani oleh orang-orang PKI. Pada saat menjelang pelaksanaan gerakan, para peserta yang lulus dipanggil kembali ke Lubang Buaya. Panggilan pertama pada tanggal 17 September 1965 sebanyak 500 orang. Panggilan kedua pada tanggal 28 September 1965 sebanyak 800 orang. Mereka ini disusun dan dimasukkan dalam pasukan Pasopati, Bima Sakti dan Gatotkaca. Latihan di Lubang Buaya merupakan bagian dari persiapan kudeta, sebagaimana keputusan Sidang Politbiro CC PKI tanggal 28 Agustus 1965.

Sejak Dewan Harian Politbiro mengambil keputusan mengadakan operasi militer mendahului “kup Dewan Djenderal”, maka pada akhir Agustus dan awal September 1965 pimpinan kolektif Biro Chusus terus menerus melakukan kegiatan rapat dan pertemuan. Hasil keputusan dan kesimpulan rapat-rapat tersebut dilaporkan kepada Ketua CC PKI D.N. Aidit untuk mendapatkan keputusan serta instruksi.

Hasil Keputusan rapat ialah tersusunnya pimpinan gerakan :

  • Pimpinan Tertinggi Gerakan   : Ketua CC PKI D.N. Aidit
  • Pimpinan Pelaksana Gerakan : Ketua Biro Chusus Sjam
  • Wakil Pimpinan Pelaksana      : Pono
  • Pimpinan Bagian Observasi    : Waluyo.

Berdasarkan Instruksi Pimpinan Tertinggi Gerakan (D.N. Aidit). berturut-turut dari tanggal 6 sampai 29 September 1965 diadakan rapat-rapat dan pertemuan persiapan pelaksanaan gerakan. Dalam rapat dan pertemuan tersebut diikutsertakan Kepala Biro Chusus Daerah.

—DTS—

[1]     Sumber : Buku “Komunisme di Indonesia Jilid IV: Pemberontakan G.30.S/ PKI Dan Penumpasannya (Tahun 1960-1965), Jakarta: Pusjarah TNI, 1999

[2]     Harian Angkatan Bersendjata,’’ Sidang Mahmillub Sjam”, 24 Februari 1968

[3]     Harian Rakjat, 15 Djanuari 1965

[4]     Harian Rakjat, 21 Djanuari 1965

[5]     Harian Rakjat, 18 Djanuari 1965

[6]     Wawancara dengan Mayjen TNI {Pur} J. Muskita, Jakarta, 25 April 1992

[7]     Karya Wira Jati, Edisi Khusus No. 21 tho ke IV j 1966, hal. 25

[8]     Harian Rakjat, 25 Februari 1965

[9]     Harian Rakjat, 24 Maret 1965

[10]    Kohar Hari Sumanno, Hukum Dan Ketahanan Nasional, Jakarta, hal. 190

[11]    Harian Rakjat, 26 Februari 1965

[12]    Harian Angkatan Bersendjata, Sidang Mahmillub Sjam tanggal 21 Februari 1968

[13]    Ceramah Kol. Pur. Soegondo di Ditsus Lemhannas tanggal 6 Agustus 1992

[14]    G30S Dihadapan Mahmillub I (Perkara Njono), Pusat Pendidikan Kehakiman A.D. (AHM-PTHM), Djakarta, 151

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.