LIGA DEMOKRASI DILARANG

LIGA DEMOKRASI DILARANG [1]

 

2 Maret 1961

Di Sulawesi Utara Laurens Saerang, bekas kepala daerah Minahasa kemudian letnan kolonel dalam pasukan Permesta telah menyerahkan dirinya bersama 6.000 orang anak buahnya. Brigen A. Yani sendiri pergi ke sana menerima Laurens Saerang kembali “ke pangkuan Ibu Pertiwi”.

Junisaf Anwar yang pergi ke Minahasa sebagai wartawan kantor berita “PIA” menulis bahwa dengan menyerahnya Laurens Saerang hanya kurang lebih 1.000 pucuk senjata yang kembali sedangkan masih ada kurang lebih 10.000 pucuk senjata di tangan pasukan pasukan Permesta yang bergerilya terus di hutan-hutan.

Hari ini Presiden Sukarno selaku Penguasa Perang Tertinggi melarang sejumlah organisasi dan yang pertama disebutkan ialah Liga Demokrasi karena “organisasi ini mempunyai dasar yang tidak sesuai dengan Manifesto Politik (Manipol) yang telah menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara” .

Sementara itu pihak Liga Demokrasi sendiri mengambil kebijaksanaan pada tanggal 27 Ferbruari 1961 yakni Liga Demokrasi perlu dibubarkan karena “ternyata sesuatu organisasi seperti Liga Demokrasi tidak sesuai lagi dan tidak ada tempatnya lagi dalam masyarakat yang sudah ber-Manifesto Politik”.

Dengan demikian tamatlah riwayat suatu organisasi yang berdirinya dimungkinkan pada awal 1960 oleh dorongan pihak Tentara sendiri. Pada masa itu mereka hendak menyanggah pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) sebab ia bertentangan dengan asas-asas kerakyatan.

Parlemen angkatan seperti itu tidak dapat dianggap sebagai mewakili suara rakyat. Selain dari itu dikhawatirkan kaum komunis akan sangat bertambah pengaruhnya dengan cara pengangkatan ala gotong royong oleh Presiden Sukarno.

Akan tetapi dalam prakteknya DPR-GR terbentuk juga akhirnya dan kolonel yang tadinya aktif sekali peranannya dalam pembentukan Liga Demokrasi yaitu Ahmad Sukendro mendapat tugas belajar di Amerika Serikat. Kini Sukendro sudah ada, di negara itu, jauh dari pelupuk mata Presiden dan Liga Demokrasi sendiri harus membubarkan diri. (DTS)

 

 

[1] Catatan wartawan senior Rosihan Anwar, suasana sosial politik bangsa Indonesia, menjelang peristiwa G30S-PKI 1965, antara tahun 1961-1965. Dikutip dari buku “Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965”, Jakarta : Sinar Harapan, 1980, hal. 14-15.

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.