Kegagalan Kudeta PKI, Anugerah Indonesia

Kegagalan Kudeta PKI, Anugerah Indonesia

Pencermatan aspek-aspek mikro kesejarahan peristiwa G 30 S harus mampu mengungkap jati diri dan agenda-agenda PKI serta konstalasi politik nasional menjelang (prolog), pada saat maupun pasca terjadinya peristiwa (epilog). Peristiwa itu juga tidak boleh dilepaskan dari pencermatan terhadap iklim demokrasi liberal (tahun 1950-1959) dan demokrasi terpimpin (1959-1965) sebagai atmosphere menguntungkan bagi PKI yang membawanya sebagai salah satu pemain penting perpolitikan nasional. Hari-hari menjelang dan pada saat terjadinya peristiwa G 30 S juga sangat kaya bukti keterlibatan PKI sebagai intelektual aktor gerakan. Puncak peristiwa itu sendiri ditandai dengan pembantaian terhadap 6 perwira tinggi pucuk pimpinan Angkatan Darat dan pendemisioneran Kabinet Dwikora untuk digantikan Dewan Revolusi.

Telaah terhadap eksistensi PKI di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tabiat asli Komunisme sebagai sistem politik otoritarian internasional. Komunisme merupakan idiologi politik bersifat internasional dengan agenda —berdasarkan angan-angan atau utopianya— hendak mewujudkan masyarakat tanpa kelas. Menurut Mark —penggagasnya, seorang Yahudi  berkebangsaan Jerman dan akhirnya memeluk agama Protestan— agenda itu diwujudkan melalui cara perjuangan kelas sebagai pemicu revolusi. Revolusi sosial diyakini sebagai cara memenangkan kelas pekerja (proletar) atas kaum kapitalis (borjuis) untuk kemudian dibentuk periode transisi yang dinamakan diktaktor proletar. Merupakan sistem politik keditaktoran yang akan dijalankan oleh pelopor-pelopor kaum buruh dan tani untuk mengikis habis unsur-unsur kapitalisme. Menurutnya, apabila masyarakat tanpa kelas telah terbentuk, negara dan kepemimpinan diktaktor dengan sendirinya akan hilang.

Gagasan itu sekilas memang tampak menggiurkan. Namun apabila kita lihat dari fakta kesejarahan hari ini —setelah satu setengah abad, idiologi dan sistem politik itu berusaha diaplikasikan— bukan saja terbukti sebagai gagasan utopis, akan tetapi telah menjelma sebagai sistem politik otoritarian dan mesin pembunuh kemanusiaan. Pembasmian terhadap kelas tertentu atau kelompok/ orang yang berbeda pendapat, dapat dibenarkan dalam proses pembentukan masyarakat tanpa kelas. Secara jelas sejarah mencatat lebih dari 100 juta jiwa terbunuh dalam sistem Komunis, sebelum akhirnya mengalami kebangkrutan yang ditandai dengan runtuhnya imperium Komunis Uni Soviet.

Jumlah Pembantaian Rejim Komunis Dunia

TAHUN

NEGARA

JUMLAH

KETERANGAN

1917-1923

Rusia

500.000 rakyat Rusia

dibantai rejim Komunis Lenin

1929

Rusia

6 juta petani kulak Rusia

dibantai rejim Komunis Stalin

1925-1953

Rusia

40 juta rakyat Rusia

dibantai rejim Komunis Stalin

1947-1976

Cina

50 juta penduduk RRC

dibantai rejim Komunis Mao Tsetung

1975-1979

Kamboja

2,5 juta rakyat Kamboja

dibantai rejim Komunis Polpot

1950-an s/d 1980-an

Rakyat Eropa Timur

1 juta rakyat Eropa Timur Berbagai Negara

dibantai rejim Komunis setempat dibantu Rusia-Soviet

1950-an s/d 1980-an

Negara-Negara Amerika Latin

150.000 rakyat Amerika Latin

dibantai rejim Komunis setempat

1950-an s/d 1980-an

Negara-Negara Afrika

1,7 juta rakyat di Negara-negara Afrika

dibantai rejim Komunis setempat

1978-1987

Afganistan

1,5 juta rakyat Afganistan

dibantai rejim Komunis Najibullah

Sumber:    Stephen Courtois (editor), The Book of Communism-Crimes, Teror, Repression, (Havard University Pres, 2000); dalam Taufiq Ismail, 2004:5

Taufiq Ismail dalam bukunya Katastropi Mendunia merekonstruksi kekejaman Partai Komunis sedunia —selama 74 tahun (1917-1991) di 76 negara— telah menghilangkan nyawa manusia sebanyak 1.350.000 orang pertahun, 3.702 sehari, 154 orang perjam, 2,5 orang permenit atau ekuivalen dengan 24 detik per orang[1]. PKI sendiri merupakan bagian dari Komunisme internasional (Comintern) yang keterkaitannya dapat dilacak sejak bulan Desember 1920, dimana Perserikatan Komunis di Hindia Belanda secara mutlak menerima 21 syarat keanggotaan sebagai bagian dari Comintern.

Sebagian isi syarat keanggotaan tersebut adalah: (a) pengakuan secara konsisten terhadap diktaktor proletariat dengan perjuangan untuk mengamankan dan mempertahankannya, (b) pemutusan kerjasama menyeluruh dengan kaum reformis dan centris serta penyingkiran mereka dari partai, (c) melaksanakan perjuangan dengan metode kombinasi legal dan illegal, (d) bekerja secara sistematis di dalam negara, militer, organisasi buruh reformis dan parlemen borjuis, (e) setiap partai anggota Comintern adalah partai Komunis dan dibentuk atas prinsip-prinsip sentralisme demokrasi, (f) semua keputusan dari konggres Comintern dan Executive Committee of Commmunist International (ECCI) akan mengikat terhadap semua partai yang berafilisasi dengan Comintern, dan (g) Comintern dan ECCI juga terikat untuk mempertimbangkan adanya perbedaan kondisi dari setiap partai yang berbeda tempat bekerja dan perjuangannya dan secara umum resolusi yang diajukan mengenai suatu masalah hanya akan diterima apabila resolusi itu dimungkinkan[2].

Pencermatan terhadap sajian data korban dan pola relasi antara PKI dengan Comintern akan segera membimbing akal sehat kita untuk tidak serta merta menyesali tumbangnya PKI dengan segala sanksi moral, politik dan hukum bagi para simpatisan maupun eks anggotanya. Sejarah memiliki logikanya sendiri sebagaimana terlihat dalam kasus kegagalan perebutan kekuasaan oleh PKI di Indonesia. Merupakan sebuah anugerah manakala Indonesia tidak masuk daftar korban kekejaman Komunis dalam jumlah besar sebagaimana dialami rakyat Soviet, RRC maupun negara-negara lainnya.



[1]     Taufik Isma’il, Katastropi Mendunia: Marxisme-Leninisme-Stalinisme-Maoisme-Narkoba, (Jakarta: Yayasan Titik Infinitum, 2004), 6

[2]     Sekretariat Negara, Gerakan 30 September: Pemberontakan Partai Komunis Indonesia-Latar Belakang Aksi dan Penumpasanya, (Jakarta: Sekretariat Negara, 1994), hlm 11-12.

3 Komentar

  1. Terus bagaimana dengan Pembataian pasca meletusnya Gerakan 30 September 1945 ? Yang disebut oleh Badan Intelejen Amerika Serikat, CIA sebagai “Pembantaian Terkejam Abad 20”.
    Pembantaian itu bersifat sistematis, dimana Aktor Pembantaian adalah Pemuda dari Ormas Islam (mayoritas Pemuda Anshor dari NU) yang dibelakangnya adalah TNI-AD. Obyek pembantaian adalah orang-orang yang diduga anggota PKI berserta Ormasnya. Memang banyak versi tentang jumlah korban pembantaian yang antara lain :
    1. Menurut Pers Barat sejumlah 500.000 -1 juta orang.
    2. Menurut Domo sejumlah 2 jura orang.
    3. Menurut Sarwo Edhie Wibiwo Komandan RPKAD yang melakukan pembantaian atas perintah Pangkokatib Letjen Soeharto, sejumlah 3 juta orang.

    Walaupun kudeta PKI gagal mekakukan kudeta sebanyak 3 kali (tahun 1926/1927, tahun 1965) sebagai dampaknya Indonesia masuk dalam cengkraman Kapitalisme-Imperialisme model baru.
    Saya berpendapat bahwa Order Baru dibangun berdasarkan kehendak Modal Multi Nasional dan dibangun diatas darah serta mayat pendukung Soekarno. Pertanyaannya adalah secara moral dan kemanusian apa bedanya Rezim Komunisme sebagai yang disebutkan diatas dengan Pemerintahan Otoriter Orde Baru dibawah Jenderal Soeharto yang caranya sama seperti Negara Fasis? Yaitu sama-sama melakukan pembunuhan, penangkpan dan penculikan terhadap jutaan rakyatnya sendiri.
    Saya kira alasan keduanya sama, yaitu untuk kepentingan stabilitas negara dan keamanan negara.
    Gagalnya Pemberontakan Gerakan 30 September, dilarangnya PKI beserta ideologi marxisme-komunisme-leninisme dan lenyapnya anggota PKI beserta anggota Ormasnya, jatuhnya Soekarno adalah kemenangan Liberalisme atas Komunisme di Asia dalam perang dingin.
    Sehingga terbuka lebar Modal Asing dari Perusahaan Multinasional dan Agen Keuangan Internasional seperti IMF dan Bank Dunia untuk mengeksplotasi Sumber Daya Alam dan Manusia Indonesia. Dimasa Soekarno hal ini ditentang, di Zaman Orde Baru dibawah pimpinan Sorharto, malah dibuka selebar lebarnya. Setelah jatuhnya Orde Baru terungkap bahwa Rezim Jenderal Soeharto terbukti disokong dan didukung oleh Pemodal Multinasional.
    Menurut saya ini sama saja. Ibaratnya Indinesia ternyata berhasil lolos dari Mulut Singa kemudian masuk ke Mulut Buaya.

  2. Saya kira yang menerima anugerah dari gagalnya kudeta PKI bukanlah Indonesia melainkan Kapitalis-Imperialis Internasional yaitu Pemodal Multinasional dan Agen Agen Keuangan Internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Hal ini tidak menggeherankan, dibanyak negara negara berkembang dunia selama perang dingin. Banyak negara berkembang yang menggunakan Rezim Militer yang secara jelas didukung Pemodal Multinasional. Setelah Era tahun 1990-an dan memasuki tahun 2000, Rezim militer dibanyak negara tersebut akhirnya runtuh dan pada prosesnya menuju demokratisasi. Proses hal inilah yang merupakan anak kesayangan dari Kspitalisme-Imperialisme, karena banyaknya terjadi privatisasi perusahaan negara/BUMN, pencabutan subsidi dan deregulasi peraturan perundang yang paksakan oleh IMF-Bank Dunia.

  3. okelah jon anggap saja komunisme dan liberalisme sama2 rusak dan tidak ada pilihan ketiga maka orang berakal lebih memilih kerusakan yang lebih ringan daripada puluhan juta nyawa hilang karena komunisme

Tinggalkan Balasan ke John Onto Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.