Di Tengah Desir Revolusi

Barisan Anti Komunis Banten

DITENGAH DESIR REVOLUSI

Oleh : H. Onny Sanwani Q.[1]

Penulisan sejarah bukan sekedar kegiatan intelektual dan akademisi, tetapi juga yang bermakna sosial dan politis. Alasan praktis rasional ini yang mendorong saya untuk menulis apa yang dirasakan dan dialami pada pertengahan tahun 1960-an. Secara jujur tulisan ini agak bersifat pribadi, sentimental, nostalgia dan juga egosentrik akan kehidupan bangsa dan negara.

Pada tahun 1960-an ini usia saya tegolong “Sturn und drang”, suatu usia penuh pencarian dan pergolakan dalam mencari jati diri. Saat sekarang usia saya mulai uzur, masuk strata 6 alias 60 tahun keatas. Wajar jika saya sering mengingat berbagai pengalaman dalam suka dan duka yang telah saya alami. Suatu proses neurologi yang lazim terjadi. Ingatan-ingatan yang dimasa lalu semakin menguat ketimbang ingatan-ingatan yang baru terjadi (lupa).

Sekarang banyak orang diantara kita yang melupakan dan kurang mengetahui pristiwa sejarah kehidupan sosial politik masa lalu. Akibatnya, tidak jarang terjadi pemahaman yang keliru atau tidak seutuhnya, bahkan dengan versi berbeda yang bisa menyesatkan dan berbahaya!

 Ø  Upaya Mereduksi Pancasila

Dari apa yang saya ketahui tahun 1960-an itu dicanangkannya “ayunan cangkul pertama pembangunan” oleh Presiden Soekarno, ialah disebut Orde Lama (Orla). Era Kepemimpinan Presiden Soekarno atau Bung Karno sangat diwarnai oleh pekatnya kehidupan politik, bahkan politik saat itu dijadikan panglima. Situasi ini cenderung disebabkan statusisasi figur kepemimpinan Presiden Soekarno sendiri sebagai Pemimpin Besar Revolusi dan Presiden Seumur Hidup.

Bung Karno gencar sekali berpidato dan melontarkan banyak gagasannya. RRI pun selalu menyiarkan pidato Bung Karno ke seluruh negeri. Kita harus mengakui kalau Bung Karno adalah seorang orator ulung, cepat menarik perhatian dan menawan pendengarnya, bicaranya berapi-api tegas dan tanpa “tedeng aling-aling”. Suaranya menggelegar, menantang dan tahan berbicara sampai berjam-jam tentang gagasan-gagasannya, seperti demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, jalannya revolusi kita, kaum kontra revolusioner, Amanat penderitaan rakyat atau Ampera, Manipol Usdek dan ide tentang NasaKom.

Namun, walaupun saya sering mendengar langsung dari radio (satu-satunya media elektronik) juga membaca koran, saya masih tidak bisa memahaminya dengan jelas. Saya lebih menangkapnya sebagai jargon dan retorika, belum bisa menghayatinya secara baik, apalagi sebagai ajaran atau indoktrinasi. Pengertian revolusioner oleh Presiden Soekarno didefinisikan, ‘rejeck yesterday and built tomorrow’ – meniadakan yang kemarin, membangun yang hari esok.

Sebagai hasil revolusi, bangsa Indonesia telah menetapkan Pancasila sebagai landasan ideologi bangsa dan negara dalam pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (sekarang diamandemen menjadi UUD 2002). Bagaimana cara Presiden Soekarno agar Pancasila dapat diterima oleh yang tidak mengenal Ketuhanan Yang Maha Esa dan Agama?

Solusinya, harus diperbaharui pengertian lamanya dengan diperas menjadi Trisila. Kemudian diperas lagi menjadi Ekasila, yakni gotong-royong. Dengan demikian, tidak terbaca lagi pengertian Ketuhanan Yang Maha Esa secara utuh.

Pada sisi lain D.N. Aidit dan kawan-kawannya tidak hanya dapat menerima, tetapi juga mengubah dengan pengertian Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa. Hanya alat, bukan filosofi dan ideologi dasar bangsa dan negara. Artinya, lebih kurang hampir sama dengan fenomena saat ini Pancasila oleh sebagian ‘basically’ tirani minoritas diwacanakan sebagai salah satu Pilar dari empat Pilar kebangsaan.

Pada saat itu PKI tetap bergeming tidak berubah, mempertahankan Marxisme Leninisme, Maoisme sebagai sandaran falsafahnya. Bahkan D.N. Aidit sebagai Sekjen CC PKI, didepan peserta Diklat Kader Revolusioner 1964, dengan tegas dan lantang menegaskan jika sosialisme di Indonesia tercapai, Pancasila tidak lagi dibutuhkan sebagai alat pemersatu.

Sebagai manusia, Soekarno mempunyai sifat lupa dan lengah, sehingga kebijakan politiknya dimanfaatkan oleh D.N. Aidit dan PKI untuk melancarkan Kudeta Gerakan 30 September 1965, Kamis, 4 Jumadil Akhir 1385, terjadi peristiwa penculikan dan pembunuhan para Perwira TNI dan Polri di Lubang Buaya Jakarta. Mereka gugur sebagai Kusuma Bangsa di tempat juangnya.

Sayang, disaat rakyat dihimpit duka yang dalam, Paduka Yang Mulia Pemimpin Besar Revolusi, tidak dapat hadir dalam pemakaman para Jenderal Anti Komunis, korban kebiadaban Dewan RevolusiG 30 S PKI.

 Ø  Konspirasi Ilahiyah

Historiografi di Jawa Barat dan Banten (masih menjadi karesidenan) pada pertengahan tahun 1960-an seluruh elemen pemuda – modernis (pelajar dan mahasiswa) pemuda – spritualis (santri) bahkan pemuda – konservatif (saya sendiri  hanya lulus SR / Sekolah Rakyat atau SD) bersinergi melakukan perlawanan terhadap gerakan PKI. Hanya dalam beberapa waktu gerakan massa demonstrasi anti komunis PKI dan onderbownya sangat menakjubkan.

Menurut Gubernur Jawa Barat Mashudi dalam buku “Memandu Sepanjang Masa” bahwa gerakan massa demonstrasi KAPPI, KAMI, Santri dan Pemuda tahun 1966, selain menuntut Soekarno di Mahmilubkan, juga melakukan tindakan menyobek-nyobek dan menginjak-injak gambar Presiden Soekarno yang diambil dari Gedung Pakuan Bandung.

Dipimpin oleh Soegeng Sarjadi, Uwes Corny (PII), Tjetje Hidayat Padmadinata, Tato S. Pradjamanggala dan Barna Somantri. Penyobekan gambar Presiden Soekarno bukan saja di Bandung, juga di Citangkil, Anyer, Cilegon, Serang, Pandeglang dan Lebak. Dipelopori oleh para Aktivis antara lain Muslim Djamaludin, Djazuli Mangkusubrata, Hasan Alaidrus, Humaedi, Sofjan Ichsan (KAMI), Djunaedi As’ad, Uu Mangkusasmita, Sumardin, Mutawali Waladi dan Embay Mulya Syarif (KAPPI).

Kalangan Pemuda-spiritualis (Santri) dan Pemuda konservatif termasuk saya sendiri dipimpin oleh senioren santri Rafei Alie dan Kang Rohimi. Guna mengkualitaskan gerakan khususnya “Laskar Ababil” dimotivasi melalui gemblengan spiritual di Telaga Cibuah oleh Ulama Tasawuf KH. Arsudin Pasir Bedil, Warung Gunung Lebak. Terbaca, sangat menakjubkan tanpa memperhitungkan resiko yang dapat merenggut jiwanya, berangkat ke Jakarta.

Begitu kuatnya desakan dan tuntutan dari rakyat agar Presiden Soekarno segera membubarkan PKI, sehingga berbagai poster dan spanduk bertuliskan “Cabut Gelar Uril Amri, Mahmilubkan dan lain sebagainya tersebar diseluruh negeri. Akibat Presiden Soekarno terlalu mempercayai bahkan melindungi PKI, sehingga terlambat mengeluarkan surat pembubaran PKI dan seluruh jajarannya, terdahului oleh Gubernur Jawa Barat Mashudi dan Pangdam VI Siliwangi Ibrahim Adjie yang telah membubarkan PKI di Jawa Barat, sebagai tindakan yang bijak sehingga menjadikan PKI di Jawa Barat selamat! Tidak terjadi pembubaran PKI yang parah sebagaimana di Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali dan Sumatera Selatan.

Atas berkat dan izin Allah SWT (konspirasi Ilahiyah), Presiden Soekarno berketetapan hati telah membubarkan PKI dengan onderbownya dengan mendelegasikan wewenang kepada Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto melalui Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar. Presiden Soekarno sendiri menyaksikan Marxisme dan Leninisme diterapkan oleh PKI di Indonesia melahirkan pemimpin PKI keblinger (kontroversi hati) dan mencemarkan nama baik Presiden Soekarno.

 Penutup

Semoga tulisan ini bermanfaat, menambah khasanah bacaan peristiwa sejarah pada masa itu. Bagi saya tulisan ini tidak berpretensi apapun, hanya ingin membagi kenangan serta kesaksian tulus. Tidak ingin meluruskan yang bengkok, atau membengkokkan yang lurus.

Wal Tandhur Ma Qadamat Li Ghod – Perhatikanlah sejarahmu apa yang telah diperjuangkan oleh (ulama, santri dan pemuda) pendahulumu untuk hari esokmu. (QS. 59 : 18).


[1] Satgas Kesadaran Berbangsa dan Bernegara,Koordinator Barisan Rakyat Anti Komunis (BARAK), Provinsi Banten

3 Komentar

  1. Tulisan yang sangat berharga , ditulis langsung oleh pelaku dan saksi sejarah ….. tulisan yang nampak sederhana namun padat dan benar-benar obyektif …. terimakasih Pak Onny , semoga memberikan pencerahan pada anak bangsa ini yang kini mulai diombang – ambingkan oleh informasi-informasi yang bertujuan memutar balikkan sejarah dan fakta . Semoga Allah. SWT memberkahi Bapak Onny dan kita semua … Aamiin ….

  2. Saya cuma menambahkan, bahwa situasi Internasional saat itu adalah “Terjadinya Perang Dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet beserta Sekutunya”, secara Ideologi perebutan Pengaruh antara Liberalisme berdasarkan The American Declaration of Independente dengan Komunisme berdasarkan The Communist of Manifesto.
    Disini saya menitik beratkan Indonesia yang kaya Sumber Daya Alam dengan ratusan juta penduduk.
    Indonesia pasca tahun 1945 yang dipimpin oleh Bung Karno menolak semua Koorporasi Barat beserta agen agennya. Hal ini tentunya halangan bagi Kaum Kapitalis-Imperialis Internasional untuk menerapkan Neo Kolonialisme-Imperilisme diIndonesia. Di Pasca Tahun 1959 ada 3 Kekuatan Politik Terbesar di Indonesia (Disertasi Heberth Feight ) yaitu Soekarno-TNI AD-PKI atau lebih dikenal Tri Angel. Dalam menjalankan aksinya Kaum Kapitalis-Imperialis Barat tersebut mencoba Mengadu Domba ketiganya. Puncaknya meletusnya Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Kenapa ini terjadi, karena PKI terprofokasi dengan melakukan tindakan reaksioner setelah bocornya Dokumen Gilrischt yang memuat Isu Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno. Reaksi PKI dalam hal ini membentuk tandingan Dewan Jenderal, yang bernama Dewan Revolusi. Dewan Revolusi adalah gerakan bentukan sayap PKI ditubuh TNI AD, dalam hal ini Resimen Cakrabirawa yang dipimpin oleh Letkol Untung Soetopo. Dalam analisis PKI, sebelum Dewan Jenderal melakukan kudeta maka Dewan Revolusi harus mendahului, dengan teknis menggagalkan rencana Dewan Jenderal dan melakukan aksi revolusioner lebih lanjut.
    Sejarah membuktikan bahwa Dewan Jenderal adalah sekedar isu, bukanlah fakta. Panglima TNI AD saat itu Letjend A Yani menjelaskan ke Bung Karno bahwa di Internal TNI AD tidak ada yang namanya Dewan Jenderal. Rencana Dewan Revolusi pada akhirnya juga gagal, karena target utama yaitu KASAB/Menhankam Jenderal AH Nasution berhasil lolos. Sehingga TNI AD melakukan serangan balik, termasuk melakukan pembersihan di Internal TNI AD yg terlibat G 30 S.
    Karena Peristiwa Gerakan 30 September itulah, Soekarno dan PKI berhasil disingkarkan dan TNI AD menjadi kekuatan politik tunggal di Indonesia pasca 1965 dan menjalankan penuh dengan Konsep Dwi Fungsi ABRI sebagai jalan tengah yang digagas oleh Jenderal AH Nasution. Dengan disingkirkannya Soekarno dan PKI, maka kaum Kapitalis-Imperialis Barat dengan mudah masuk ke Indonesia untuk menguasai Sumber Daya Alam dan Ekspansi Pasar serta Modal. Hal ini ditandai dengan banyaknya Perundang undangan yang Pro Kapitalis-Imperialis Barat, seperti UU PMA tahun 1967.
    Bagi Kapitalis-Imperialis Barat, Jasa Jenderal Soeharto adalah menyingkirkan Soekarno yang nasionalis, sehingga Presiden Amerika Serikat saat itu Ricard Nixon menyebut “Indonesia adalah upeti terbesar dari Asia”.

    Saya menyimpulkan bahwa segala sesuatu yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari situasi Internasional. Karena situasi seperti di Indonesia juga terjadi di Negara Negara Berkembang lainnya, dimana Rezim (Mayoritas Rezim Militer) yang berkuasa ternyata disokong oleh Kaum Kapitalis-Imperialis Barat.

Tinggalkan Balasan ke John Onto Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.